Ekonomi Jepang (1)


Ditulis 22 Feb 2011

Selama lebih dari empat dekade, Jepang menjadi runner-up Produk Domestik Bruto (GDP) terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat. Tapi tidak untuk tahun 2010. China kini menggantikan Jepang dengan GDP sebesar $5.88 bilyun. Pada 2009, GDP China mencapai $4.98 bilyun. Ini berarti kenaikan GDP China mencapai Sebenarnya GDP Jepang juga naik, namun kenaikannya hanya 8% (dari $5.09 bilyun pada 2009 menjadi $5.47 bilyun pada 2010). China menang tipis.

‘Kemenangan’ China dalam GDP ini lebih khususnya disebabkan kenaikan ekonominya pada kwartal kedua (Maret – Juni). Ditambah lagi, ekonomi Jepang yang menciut 1.1% antara bulan Oktober dan Desember 2010. Dua sebab inilah yang agaknya mendongkrak GDP China pada 2010, dan membuat ranking Jepang merosot menjadi nomor 3.

Merosotnya ekonomi Jepang ini sebenarnya sudah dirasakan sejak pertengahan 80an. Namun, meskipun begitu, Jepang masih terus bertahan di posisi dua setelah Amerika. Kemerosotan tahun lalu benar-benar membuat Jepang harus berhati-hati.

Apakah yang terjadi di Jepang tahun lalu?

GDP dapat dihitung dari beberapa aspek, yaitu kemampuan belanja penduduk, investasi, kemampuan belanja pemerintah dan perbedaan (net) ekspor dan impor.

Tahun lalu Jepang mengalami tantangan dalam banyak aspek itu. Tantangan ini juga diperburuk dengan masalah politik dalam negeri yang kurang stabil.

Ketika Yukio Hatoyama yang berasal dari Partai Demokratik Jepang (DPJ) menjadi Perdana Menteri Jepang pada September 2009, penduduk Jepang memiliki harapan besar. Budaya buruk dari rezim sebelumnya, yaitu di bawah Partai Liberal Demokratik (LDP), diharapkan hilang. Harapan rakyat Jepang ini wajar karena Hatoyama memberikan janji politik yang pro-rakyat selama kampanye.

Janji-janji itu, di antaranya, adalah pemindahan pangkalan militer Amerika dari Okinawa. Selain itu pemerintah akan berinvestasi dalam dunia penelitian dan pendidikan. Subsidi anak akan dinaikkan jadi lima kali lipat (dari 5,000 yen menjadi 26,000 yen; 1 yen = Rp 106).  Jepang juga akan mempersiapkan diri menghadapi globalisasi. Bantuan lebih banyak akan diberikan kepada penduduk miskin.

Memang, beberapa janji sudah ditepati Hatoyama, yaitu kenaikan subsidi anak. Namun kenaikannya hanya mencapai 13,000 yen, karena Jepang sendiri sedang krisis. Sedangkan janji-janji lain belumlah terlaksana.

Hatoyama juga pernah terlibat skandal keuangan, yaitu terlambat melaporkan pajak pribadi yang besarnya hampir 500 juta yen. Yang paling kritis: Hatoyama sebenarnya tidak memiliki rencana apapun tentang pangkalan militer di Okinawa! Isu pangkalan militer Amerika ini memang masalah pelik karena Jepang akan mengalami dilema politik. Jepang dihadapkan pada dua pilihan: jika AS hengkang dari Okinawa maka Korea Utara boleh jadi menyerang jepang; tapi jika AS tetap di Okinawa, penduduk setempat merasa terganggu dengan pangkalan-pangkalan itu & Jepang belum ‘merdeka’. Oleh karena itu, pangkalan Amerika masih tetap berada di Okinawa hingga hari ini.

Catatan: di Asia Tenggara, pangkalan militer AS ada di Singapura, Filipina dan lainnya. Indonesia tidak bersedia ditempati AS.

Masalah politik ini agaknya membuat penduduk Jepang putus asa dengan masa depannya sendiri.

Tak lama kemudian, pergantian perdana menteri pun terjadi. Pada 2 Juni 2010, Hatoyama mengundurkan diri. Ia digantikan Naoto Kan yang ketika itu menjabat Menteri Keuangan.

Kan melihat bahwa ekonomi Jepang memang ‘sakit’: kebijakan ekonomi yang pro-rakyat di era Hatoyama membuat utang Jepang mencapai paras 137% dari GDP. Kan berencana memotong anggaran yang tidak perlu agar utang Jepang menurun. Misalnya, kenaikan subsidi anak menjadi 26,000 yen dibatalkannya. Di satu sisi, ini memang menguntungkan ekonomi. Namun, ia membuat penduduk Jepang kecewa. Hari ini, subsidi anak hanya akan diberikan hingga bulan Oktober saja, dan besarnya 13,000 yen per bulan untuk satu anak. Alasannya: membantu korban tsunami dan krisis nuklir di Fukushima.

Subsidi pemerintah Jepang untuk pembelian mobil tidak akan dilanjutkan pada 2010. Ini membuat penduduk Jepang tidak menukar mobil butut mereka dengan mobil yang terbaru. Secara nasional, kemampuan belanja masyarakat Jepang untuk barang mewah juga menurun.

Selain itu, pada 1 Oktober 2010, pemerintah Jepang menaikkan harga rokok hingga 140 yen. Akibatnya jelas: pembelian rokok menurun drastis dan pendapatan pajak rokok juga turun.

Perusahaan mobil terbesar Jepang (bahkan dunia), yaitu Toyota, mengalami kerugian jutaan yen karena harus me-recall mobil-mobilnya dari Amerika tahun lalu. Kondisi ini membuat Toyota tidak mampu menyerap tenaga kerja sebanyak dulu.

Kondisi ekonomi dalam negeri ini juga diperburuk dengan menguatnya nilai yen terhadap dolar Amerika. Satu dolar Amerika mencapai 82.98 yen pada 15 September 2010. Akibatnya pendapatan perusahaan Jepang dari ekspor menurun dengan banyaknya. Bahkan pada 5 Mei lalu, $1 berada di bawah 80 yen.

Untuk masalah tenaga kerja, karena pabrik Jepang sebagian dipindah ke negara-negara yang ongkos buruhnya rendah maka  perusahaan Jepang tidak dapat menyerap tenaga kerja lagi. Sedikitnya 20% lulusan universitas Jepang tidak mendapat pekerjaan tahun ini. Ini pula yang membuat kemampuan belanja di dalam negeri juga turun.

Kembali ke masalah GDP, memang GDP tidak mencerminkan kesejahteraan penduduk. GDP per kapita penduduk Jepang masih 10 kali lebih tinggi dari China. Perbedaan pendapatan di Jepang juga kecil sehingga secara sosial orang Jepang tidak bergejolak. Agaknya, ini juga alasan mengapa Sekretaris Kabinet Yukio Edano menyatakan bahwa Jepang menyambut pertumbuhan China yang sudah mengalahkan Jepang.

Di balik itu, Jepang masih percaya diri bahwa penduduknya masih lebih sejahtera, dan kesejahteraan ini relatif merata. Jepang juga tengah menyiapkan beberapa langkah untuk membantu ekonominya, yaitu dengan menjalin perdagangan bebas dengan India. Pada September 2011, kerjasama Jepang-India akan diresmikan.

Agaknya Jepang memang masih ingin kembali menjadi nomor dua. Untuk menjadi nomor satu agaknya sulit dan mungkin memerlukan waktu beberapa dekade: GDP Amerika masih tiga kali lipat dari Jepang dan China.

One thought on “Ekonomi Jepang (1)

  1. Pingback: Ekonomi Jepang (2) « random notes

Leave a comment