Thailand (1)


Sebenarnya tidak pernah merasa dekat, atau pun merasa jauh, dengan Thailand. Waktu kecil, teman-teman SD menyebut Thailand sebagai “negeri gajah putih”. Kita tidak tahu persis artinya apa – asalnya dari mulut ke mulut. Padahal, bendera Thailand dari 1855 – 1917 ada gambar gajah putihnya. Padahal juga, bendera itu pernah dikibarkan di Hindia Belanda: berjajar di sepanjang jalan dari stasiun kereta hingga hotel di sela-sela bendera Belanda, untuk menyambut kedatangan Raja Thailand bernama Chulalongkorn di tanah Jawa, atau Hindia Belanda (abad 18-19). Saya juga tidak pernah berinteraksi dengan warga Thailand, kecuali pada 2003 saya harus mengurus dokumen yang dikirim ke Bangkok, dan berkirim email dengan seorang penulis Thailand.

Pada 1999, film Anna and the King muncul. Film yang meledak di Indonesia ini dibintangi Jodie Foster dan Chou Yun-Fat. Ia bercerita tentang kisah seorang guru wanita bernama Anna Leonowens asal Inggris yang disewa Raja Mongkut (ayah dari Raja Chulalongkorn) untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada istri-istri dan anak-anaknya di kerajaan Siam. Film ini bercerita tentang bagaimana Siam menguasai modernitas dengan memahami bahasa Inggris. Ia ditulis mungkin berdasarkan memoar Anna Leonowens berjudul The English Governess at the Siamese Court (1870) dan Romance of the Harem (1873). Sebenarnya ada tiga film lain tentang Raja Mongkut, tapi mungkin tidak masuk Indonesia, yaitu Anna and The King of Siam (1946), The King and I (1956) dan film kartun Anna and The King (1999).

29 Januari 2002, saya disediakan sebuah ruangan dengan komputer canggih (waktu itu). Tujuannya supaya menyelesaikan tugas akhir dalam 6 bulan. Di ruangan itu juga ada banyak buku, paper dan dokumen-dokumen milik dosen. Saya hanya mengambil paper atau buku yang saya perlukan saja. Tidak menyentuh yang lain. Tapi ketika duduk termenung (jenuh melanda – sekarang ini namanya “galau”), mata tiba-tiba terpaku pada satu buku baru di tumpukan dokumen. Buku itu berwarna coklat muda, dengan gambar siluet jajaran orang berfoto. Judulnya adalah “Journeys to Java by Siamese King”. Pikiran saya: perjalanan raja kembar siam? Saya ambil buku itu (diam-diam, karena ruangan itu sebenarnya ruangan dosen). Buku berbahasa Inggris itu kemudian saya baca, dan menemukan bahwa isinya tentang tiga kunjungan Raja Siam (Thailand) ke Jawa. Isinya semacam buku harian yang aslinya ditulis dalam bahasa Thai dan diterjemahkan ke bahasa Inggris. Penulisnya adalah Imtip Pattajoti Suharto. Beliau adalah istri Pak Djoko Suharto, guru besar Teknik Mesin ITB. Dosen pembimbing saya adalah teman Prof. Djoko. Saya kemudian meminjam buku itu, dan melanjutkan membaca di rumah. Buku itu menarik karena membuat saya jadi memahami apa yang terjadi di Jawa pada akhir 1800an hingga awal 1900an. Kesan saya: Indonesia maju sekali saat itu. Bahkan Raja Thailand saja sampai berkunjung ke Jawa. Buku itu tidak komprehensif dan minim catatan kaki. Sifatnya seperti itinerary, urutan jadwal perjalanan (berisi tanggal, waktu, tempat, bertemu siapa-siapa, dan sedikit komentar). Buku itu diterbitkan oleh Penerbit ITB pada 2001. Saya kemudian pergi ke Penerbit ITB dan mendapatkan email penulisnya. Kemudian kami bertukar email, dengan tujuan, saya membantu menerjemahkan buku itu ke bahasa Indonesia. Tapi 2003 saya harus pergi ke Singapura. Jadi, proses menerjemahkan buku itu tidak dilanjutkan.

Tahun 2005 saya mendapatkan bingkisan dari staf AUN/SEED-Net Thailand. Bingkisan itu berupa CD musik jazz. Nampaknya biasa. Tapi yang membuat istimewa adalah lagu-lagunya dimainkan oleh Raja Bhumibol Adulyadej (dibaca: Phu-mi-pon A-du-nya-det). Raja Bhumibol bergelar Rama IX. Sedangkan, buku yang sebelumnya saya baca bercerita tentang Rama V atau Raja Chulalongkorn (yang namanya diabadikan sebagai nama universitas ternama di Thailand).

Bulan Januari 2007 saya bersama keluarga (anak waktu itu masih berumur 7 bulan) pergi ke Bangkok untuk berlibur. Kami berlibur lima hari di sana. Menyenangkan sekali, orangnya ramah, makanannya enak dan murah. Bisa naik tuk-tuk, berbelanja di Pasar Chatucak, menyusuri Sungai Chao Phraya, melihat Emerald Buddha, makan di tepi sungai bersama teman lama. Saya sebenarnya masih tidak mengenal sejarah Thailand. Jadi, misi jalan-jalan ke sana adalah hal kontemporer: belanja.

Buku Journeys to Java by Siamese King sebenarnya ingin saya beli. Tapi setelah kirim email ke Pak Djoko, bulan Maret 2013 saya mendapatkan kiriman buku tersebut. Gratis! Wah baik sekali Pak dan Bu Djoko. Misi saya, yang tertunda lama, kemudian dimantapkan: menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia. Buku yang baru dikirim itu adalah edisi yang sudah direvisi (revised edition) dari edisi tahun 2001, dan dicetak tahun 2012. Buku tahun 2001 itu hak ciptanya dimiliki Departemen Luar Negeri Thailand, sedangkan yang 2012 ini dimiliki oleh Ibu Imtip sendiri (setelah perjuangan panjang nampaknya). Buku itu agaknya mirip dengan buku sebelumnya, kecuali mulai banyak catatan kaki, komentar penulisnya, foto-foto.

Chulalongkorn in SoloRaja Chulalongkorn (berdiri di depan berpakaian putih membawa tongkat) di samping Paku Buwono X Susuhunan dari Solo tahun 1896 (koleksi Tropenmuseum)

Setelah diskusi via email, nampaknya usaha menerjemahkan saja tidaklah cukup. Alasannya, orang Indonesia hanya mau membaca buku jika isinya berkenaan dengan dirinya. Pembaca Indonesia, mungkin, juga impulsif dan latah. Artinya, jika ada buku baru dengan judul yang bombastis dan semua orang baca, maka seseorang akan membacanya (kemudian lupa). Tapi pembaca yang kritis semakin lama semakin banyak. Pembaca kritis adalah pembaca yang mencari jati diri, mencari tahu dunia luar, meresapi (internalisasi) makna tulisan dan terstimulasi untuk terus mengenali dirinya (ingin apa aku ini; apa yang ingin aku capai; mengapa fenomena A atau B terjadi dan seterusnya). Oleh sebab itu, jika hanya menerjemahkan maka pembaca mungkin kehilangan selera. Menulis buku di Indonesia (yang collectible tapi juga dapat dinikmati karena manfaatnya banyak) sebenarnya agak sukar. Tapi bentuk buku tentang Raja Siam ke Jawa itu tengah dipikirkan. Saat ini inti pekerjaan adalah menerjemahkan bukunya Bu Imtip itu, dan mencari sumber-sumber bacaan lain. Bu Imtip itu sebenarnya adalah campuran sumber sekunder dan tersier karena berisi narasi yang ditulis dari berbagai sumber primer dan sekunder. Kalau bacaan pendukung, sudah ada beberapa yang didapat. Proses penerjemahannya sendiri tengah berjalan (lambat). Dari 163 halaman, 138 sudah dalam bahasa Indonesia (yang berantakan).

Buku tentang Raja Chulalongkorn mengunjungi Jawa atau Malaya yang berbahasa Inggris setidaknya ada empat:

  1. Journeys to Java by Siamese King, Imtip Pattajoti Suharto, Penerbit ITB, 2001
  2. Journeys to Java by Siamese King, Imtip Pattajoti Suharto, Penerbit ITB, 2012 (revised edition)
  3. A true hero : King Chulalongkorn of Siam’s visit to Singapore and Java in 1871, Kannikar Sartraproong, University of Leiden, 2004
  4. Through the Eyes of the King: The Travels of King Chulalongkorn to Malaya, Patricia Lim Pui Huen, ISEAS Publisher, 2009

Buku ke-3 belum pernah saya baca. Ingin sekali membacanya karena mungkin itu adalah PhD thesis yang diterbitkan di Universitas Leiden. Penulisnya juga orang Thailand (jadi: view from within), fasih berbahasa Melayu/Indonesia, Belanda dan Inggris.

BukuThai

Buku tentang Raja Chulalongkorn

Buku ke-4 sebagian sudah saya baca. Buku ini sebelumnya disarankan oleh Prof. Merle Ricklefs (penulis A History of Modern Indonesia Since ca. 1200) yang saya hubungi untuk memberi saran. Nampaknya, bukunya Patricia Lim itu berisi selected trips (kunjungan pilihan) yang didesain dengan indah. Beberapa bab isinya mirip sekali (!) dengan bukunya Bu Imtip, khususnya  kisah Raja Chulongkorn yang transit di Singapura. Tapi bahasa Inggrisnya mungkin lebih well-composed, dan sebenarnya lebih merupakan parafrase dari kalimat-kalimatnya Bu Imtip. Bahkan, sebagian kesimpulannya merupakan penekanan ulang dari kesimpulan Bu Imtip. Originalitasnya mungkin kurang, meskipun Patricia nampaknya berburu buku-buku referensi lain yang melengkapi (annotate) bukunya Bu Imtip. Buku itu juga kelebihannya adalah desain dan foto, selain juga menambahkan kisah-kisah perjalanan ke Malaya dan Singapura. Fokusnya memang di Malaya sih.

Dr Sartaproong dalam reviewnya di Journal of the Siam Society (Vol 99, 2011) bahwa buku itu adalah “… a fine picture book“. Buku itu, menurut Dr Sartraproong, punya beberapa kelemahan: cerita dengan foto kadang tidak nyambung; fotonya tidak merepresentasikan apa yang dilihat Raja Siam; fotonya berisi orang-orang berpose tanpa ekspresi, bukan foto-foto yang punya cerita; fotonya kadang di-crop kemudian diulang di halaman lain; hubungan Malaysia dan Siam tidak dijelaskan dengan baik.

Kembali ke Thailand. Thailand ini unik, karena menjadi satu-satunya (mungkin) negara Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Kemampuan negosiasi dan diplomatik raja-raja terdahulunya sangat hebat, terutama Chulalongkorn yang rajin mengunjungi negara-negara Eropa supaya nampak sejajar dengan mereka. Tapi sebagian wilayah Thailand masa itu dikorbankan atau diberikan kepada penjajah Perancis dan Inggris. Misalnya, Laos, Kamboja, bagian utara Malaysia, seperti Kelantan, Kedah, Perlis dan lainnya. Tapi seorang kawan Thailand menyebutkan bahwa Thailand tidak pernah dijajah karena kedekatannya dengan Raja Rusia sehingga terus mendapatkan back-up militer yang kuat dan membuat segan negara-negara Eropa untuk menjajahnya.

chulalongkorn2

Raja Chulalongkorn (kiri) bersama Raja Nicholas II dari Rusia tahun 1897

Mengenai sosok Chulalongkorn: ia adalah raja yang memberikan contoh, berhati mulia, suka belajar hal-hal baru dari setiap wilayah yang dikunjunginya, suka bercanda (good sense of humor), teliti dan analitis. Pada 1996, pengkultusan Raja Chulalongkorn mencapai puncaknya di Bangkok (wilayah urban), tapi tidak terlalu kuat di pedesaan (rural). Orang-orang melakukan upacara penghormatan dan persembahan di patung berkuda Raja Chulalongkorn (ekuestrian). Pengkultusan ini kemudian dibahas dalam buku terbaru Irene Stengs berjudul: Worshipping the Great Moderniser: King Chulalongkorn, Patron Saint of the Thai Middle Class (2009).

Sebenarnya, apakah yang dipelajari oleh Raja Chulalongkorn di Jawa? Perjalanannya dilakukan tiga kali: 1871, 1896 dan 1901. Apa yang dia pikirkan mengenai Candi Borobudur dan Prambanan, galangan kapal dan peleburan logam di Surabaya? Sistem administrasi model apa yang diadopsi dari Jawa? Apa yang dia lihat dari kehidupan orang Islam di Jawa masa lalu? Bagaimana kehidupan orang-orang Belanda, orang Tionghoa, orang pribumi antara 1871 – 1901? Bagaimana keadaan Batavia (Jakarta), Sukabumi, Buitenzorg (Bogor), Bandung, Semarang, Yogyakarta, Pasuruan, Malang? Sistem apa yang berubah di Thailand setelah kepulangannya dari Jawa? Bagaimana hubungan Jawa dan Thailand?

Barangkali tidak ada satupun raja di dunia yang merekam kehidupan Jawa masa silam kecuali Chulalongkorn. Perjalanannya sendiri adalah perjalanan bersejarah yang kental dengan nafas nasionalisme: Chulalongkorn hendak melakukan perubahan besar-besaran terhadap sistem administrasi negaranya, sekaligus mengadopsi apa saja yang baik dan cocok bagi Thailand. Pandangannya ketika melakukan perjalanan itu unik karena berangkat dari keingintahuan yang mendalam; keinginan untuk mengadopsi hal-hal baru dari modernitas Barat; keinginan memilih apa yang cocok dari luar negeri untuk Thailand; ia ingin berpetualang, bertamasya bersama keluarga mengapresiasi peninggalan Buddha dan Hindu; beristirahat dari kesibukan Bangkok, menyepi di pulau Jawa yang bervariasi; lebih penting lagi, ingin menunjukkan kepada Belanda dan negeri Eropa lainnya bahwa raja Thailand juga bisa mengeksplorasi negeri lain, tapi tidak menjajahnya (ada pula dugaan bahwa perjalanannya memang bersifat politis yang sebenarnya sah-sah saja karena posisi Siam yang rawan ketika itu).

Herannya, mengapa raja-raja Jawa yang dia kunjungi tidak ketularan untuk melakukan hal yang serupa? Mengunjungi wilayah Jawa yang lain; bersatu, memenangkan Perang Jawa (1825-1830) dan meneruskan perjuangan itu. Indonesia mungkin dijajah karena sejak dulu memang terpecah belah; mudah disuap; terlalu kagum dengan modernitas Barat tapi tidak berminat belajar; kurang mencintai negerinya (bilang “cinta” dan “nasionalis” di mulut, tapi tindakannya seperti penjarah yang menghisap).

Mungkin hingga kini?

Perjalanan Raja Chulalongkorn ke luar Thailand adalah sebuah titik awal perjalanan panjang yang bersejarah menuju Thailand yang ter-Barat-kan. Dan, titik awal itu dimulai di Jawa. Orang Indonesia perlu belajar dari perjalanan Raja Chulalongkorn ini, khususnya anggota DPR yang sering melakukan kunjungan luar negeri untuk studi banding.

Candi


Candi adalah bangunan yang terbuat dari batu yang disusun dengan berbagai bentuk, ukiran dan fungsi. Sebagian besar candi di Indonesia yang dibangun pada abad 9 sampai 14 diperuntukkan untuk menyembah para dewa, pengajaran agama, persemayaman abu para raja, tempat tinggal dewa-dewa di bumi, pemandian raja dan ratu, atau gerbang suci menuju nirwana. Candi ini dibangun ketika agama Buddha dan Hinduisme masuk ke Indonesia dari India dan dataran China. Ia mengalami evolusi dan menyesuaikan dengan keadaan setempat.

Jawa Timur itu adalah provinsi di Indonesia yang paling banyak menyimpan situs candi. Di Sumatera ada 2 situs, di Jawa Barat ada 5 situs, di Jawa Tengah ada 12 situs, di Yogyakarta ada 5 situs, di Bali ada 4 situs. Di Jawa Timur? Ada 19 situs candi!

Nama-nama candi di Jawa Timur: Badhut, Bajangratu, Brahu, Cetha, Gununggangsir, Jago, Jawi, Kidal, Kolam Segaran, Panataran, Plumbangan, Rimbi, Sadon, Sawentar, Singasari, Surawana, Tegawangi, Tikus dan Wringin Lawang.

petacandi

komplek-candi-penataran

Kompleks Candi Penataran (oediku.wordpress.com)

Candi-candi itu adalah peninggalan berharga. Sayangnya tidak semuanya terawat dengan baik. Mengapa? Karena museum, berbeda dengan di negara-negara maju, bukan bisnis yang punya laba besar. Museum masih identik dengan ruang penyimpan benda usang, kuno dan tak berharga. Benda-benda bersejarah itu kehilangan makna, karena memang tidak ada usaha untuk memaknai. Museum bukan industri yang besar. Kurator dan barang-barang peninggalan yang ditelitinya biasanya bukan pekerjaan dan hal yang menarik. Arkeologi adalah ilmu usang juga. Padahal ini salah besar. Ketika kita memahami artifak dan peninggalan sejarah, kita dapat mengukur peradaban kita sendiri. Kita dapat memahami asal muasal kita. Kita dapat mengerti mengapa kita menjadi seperti sekarang. Sejarah, terlepas dari kontroversi teori-teori di dalamnya, membuka cakrawala bahwa kita dibentuk oleh masa lalu.

Sebuah buku bagus saya beli di Amazon. Buku lama sebenarnya. Ketika saya beli, bukunya bekas, tapi kondisinya bener-bener seperti baru! Alasan membelinya: karena ia adalah satu-satunya buku di muka bumi ini (mungkin lho ya!) yang merekam dengan indah candi-candi yang ada di Jawa Timur. Khusus Jawa Timur! Orang Jatim mungkin ada yang belum tahu buku itu malahan 🙂

Buku itu berjudul Worshiping Siva and Buddha – The Temple Art of East Java (University of Hawaii, 2003). Ditulis oleh Ann Rasmussen Kinney, dulu adalah istri konsulat Amerika di Surabaya, jamannya Gubernur M Noer. Kemudian, Kinney dibantu oleh ilmuwan Eropa Dr Marijke J. Klokke  dan Dr Lydia Kieven. Foto-fotonya diambil dengan indah oleh fotografer Indonesia, Rio Helmi. Buku itu menyimpan catatan seni yang dikandung oleh setiap candi. Detil sekali. Foto-fotonya bagus, ada pula tips bagaimana membidik candi dengan baik. Maklum cuaca di Jatim kadang mendung terus terutama akhir dan awal tahun. Buku-buku berbahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman dijadikan rujukan. Yang unik dari buku itu: peninggalan patung-patung yang disimpan di museum Belanda kenapa jauh lebih terawat dengan yang disimpan di Indonesia ya?  Ya itu tadi alasannya mungkin: museum bukan bisnis, apresiasi sejarah belum membudaya.

worship

Setelah dikirimi email oleh Amazon berulang-ulang supaya memberi review, akhirnya saya tulis juga. Five Stars!! Ini review-nya:

I’ve been recently fascinated by the fact that Eastern Java, my home-province, stores the highest number of candis in Indonesia. Candi arguably represents the most important artifact from Ancient Java. Candis were the symbols of the golden age era of Java empires. They also represent modern technological advancement in their time. They may uncover early religious rites and transcendental values. They show the hegemony and domain of each kingdom. Although candis were mostly built between 8th to 13th century, the stories sculpted on their walls are still subject to research till today. I bought this book because it summarizes research findings of the art of Ancient Java, which are based on references available in Dutch, English, German and Indonesian. The references are by no means academic, but the authors have done a wonderful job in writing them up for general readers (I am not historian, so the book perfectly fits my limited nomenclatures). The book also contains a large number of photos with excellent quality. The book provides stories, chronicles and meaning of each candi under study. Anybody wants to study the art and history of candis of Eastern Java should start with this book. The drawback of this book is that it may not cover ALL candis of Eastern Java: some candis are not researched or discussed. But the authors provide a list of candi names for us to explore. Last but not least, I want to personally thank the authors for writing this book and for enriching Indonesia history.

Truman


Dalam film Truman (1995), Presiden Amerika Henry S. Truman sering menyebut kata “Manhattan”. Manhattan adalah sebuah nama proyek pembuatan bom atom yang dipimpin Julius Robert Oppenheimer, seorang fisikawan AS yang juga penggemar kitab Bhagavad Gita. Bom atom yang dilahirkan dari proyek itu awalnya tidak akan digunakan untuk menghancurkan Jepang. Bom itu lahir karena ketakutan terhadap Jerman.

Tapi Truman tidak pernah lupa terhadap nyawa yang “dicabut” ratusan pesawat tempur Jepang di Pearl Harbor tahun 1941. Mungkin sudah waktunya Amerika membalas Jepang dan menghentikan Perang Dunia II.

Truman ternyata manusia biasa. Jika ia menjatuhkan bom atom di Jepang, perang mungkin belum akan usai, dan ia akan terus dibenci orang-orang Jepang. Ada keraguan. Ada perasaan takut dibenci.

Kepada seorang sahabatnya, Truman akhirnya berkata:

Jika aku tidak menjatuhkan bom itu [di Jepang], akan lebih banyak lagi tentara kita yang tewas dalam serangan Jepang. Begitu juga pasukan mereka, perempuan dan anak-anak.

Pesawat pembom Boeing B-29 Enola Gay diluncurkan. Sebuah bom yang diberi nama Little Boy dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Kepulan asap berbentuk jamur bangkit dari pusat kota Hiroshima. Kota itu tersapu bersih puluhan kilometer. Hiroshima luluh lantak. Tetapi Jepang bergeming. Jepang masih belum menyerah dan terus menduduki Asia-Pasifik.

Pada hari itu juga Truman berpidato untuk warga Amerika:

Enam belas jam yang lalu, pesawat Amerika menjatuhkan sebuah bom di Hiroshima. Bom itu adalah bom atom. Kekuatannya luar biasa. Jepang memulai perang dengan menyerang Pearl Harbor. Dan perang belum akan berakhir. Kita akan menghancurkan dok mereka, pabrik-pabrik mereka, dan jalur komunikasi mereka. Kita benar-benar akan membinasakan Jepang. Ini semua semata untuk menyelamatkan penduduk Jepang dari segala kerusakan. Pemimpin Jepang menolak ultimatum kita. Jika mereka terus menolak permintaan kita, mereka akan terus mendapat serangan udara, dan mengalami kehancuran yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya di muka bumi ini.

Jepang tidak gentar. Tak ada tanda-tanda menyerah dari mereka setelah Hiroshima rata dengan tanah.

Pada 9 Agustus, sebuah bom yang jauh lebih dahsyat dan dinamakan Fat Boy dijatuhkan di Nagasaki.

Lebih dari 200 ribu orang tewas di kedua kota, dan 400 ribu orang masuk dalam daftar hibakusha (warga kedua kota yang selamat dari bom atom). Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Amerika dan sekutunya pada 14 Agustus 1945. Perang Pasifik pun berakhir. Tapi efek dari tragedi itu tak pernah berakhir hingga hari ini: para hibakusha tetap menderita kanker dan cacat tubuh.

Setiap tahun, Hiroshima dan Nagasaki memperingati pengeboman itu. Peringatan tahun ini agaknya unik karena cucu Harry Truman juga turut memperingatinya di Jepang.

Clifton Truman Daniel (55 tahun), cucu tertua Harry Truman, mengunjungi Jepang bulan ini. Ia datang didampingi Ari Beser (24 tahun), cucu Jacob Beser, pilot pesawat Enola Gay. Selain ingin ikut acara peringatan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, mereka juga ingin bertemu para hibakusha yang masih hidup.

Tapi apa sebenarnya yang mendorong mereka datang ke Jepang?

Yang mendorong Daniel untuk datang ke Jepang adalah kisah Sadako Sasaki. Empat belas tahun sebelumnya, Daniel membaca kisah Sadako Sasaki yang masih berusia dua tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Sasaki masih hidup hingga kini, dan menderita kanker.

Karena tersentuh, Daniel yang juga wartawan itu menulis tentang kisah Sadako. Tulisannya disirkulasikan ke seluruh dunia, dan seorang wartawan Jepang membaca tulisan Daniel itu. Wartawan itu pun terbang ke Amerika dan mewawancarainya. Orang Jepang ingin tahu apa efek dari kisah Sadako terhadap keturunan Truman. Setelah hasil wawancara itu disiarkan, nama Daniel Truman pun dikenal di Jepang.

Kebetulan kakak lelaki Sadako yang bernama Masahiro Sasaki membaca wawancara itu. Ia pun kemudian menghubungi Daniel dan mengundangnya ke Hiroshima. Tapi Daniel agaknya belum siap menerima kenyataan bahwa negara yang akan dikunjunginya adalah negara yang pernah dihancurkan kakeknya sendiri. Baru satu dekade kemudian Daniel dapat memenuhi undangan Masahiro untuk datang ke Jepang.

Pertemuan mereka ternyata sungguh akrab karena perang memang telah usai, dan cucu Truman itu dianggap tidak turut bertanggung jawab terhadap keputusan kakeknya. Daniel mengatakan bahwa tujuannya datang ke Jepang adalah menghormati warga Jepang yang tewas dalam pemboman itu, dan memastikan bahwa penjatuhan bom atom seperti itu tidak terjadi lagi di mana pun juga. Ia juga ingin mendengar secara langsung penderitaan para hibakusha yang lain.

Ia kemudian bertemu dengan Hiroyuki Goto yang selamat dari pemboman. Goto mengatakan bahwa ia tidak membenci Amerika. Tetapi ia masih ingat dengan jelas betapa sulitnya hidup pada masa perang seperti itu. Ia juga meyakini bahwa pemboman itu adalah takdir yang tidak dapat dihindari oleh Jepang dalam kondisi apapun. Ia pun mengharapkan bahwa pertemuannya dengan cucu Truman memberikan pesan perdamaian kepada dunia.

Namun, lebih dari itu, Goto dan juga Daniel sebenarnya punya satu tujuan yang sama: dunia yang bebas dari senjata nuklir. Ketika dunia bebas dari senjata nuklir, tidak ada lagi orang yang mengutip Bhagavad Gita seperti halnya Oppenheimer selepas melihat bom jatuh di Jepang: “Now, I am become Death, the destroyer of worlds.”

Orang Jepang di Brazil


Di Singapura, papan informasi biasanya dalam aneka bahasa. Bahasa yang digunakan adalah Inggris, Cina, Melayu dan Tamil di samping beberapa bahasa asing seperti Prancis di Bandara Changi. Di Jepang, ada juga papan informasi seperti itu. Namun, bahasanya adalah Jepang, Inggris, Cina, Korea dan Portugis.

Sebenarnya Jepang baru saja menambahkan bahasa Portugis ke papan informasi. Mungkin karena pendatang dari Brazil banyak akhir-akhir ini. Ditinjau 2.1 juta pendatang di Jepang, 250.000 berasal dari Brazil. Namun, jangan heran jika wajah Hispanik jarang ditemukan di sini. Ini karena orang Brazil yang ada di Jepang adalah generasi kedua atau ketiga Jepang yang lahir di Brazil.

Sejarah dimulai seabad lampau.

Pada 18 Juni 1908, 781 warga Jepang hijrah ke Brazil (Opening the Door, Betsy Brody, 2002). Hingga 1924, ada 31,414 orang Jepang di Brazil. Puncaknya terjadi antara 1924 dengan 1942 di mana 157,572 orang Jepang tinggal di Brazil.

Mengapa mereka hijrah ke Brazil?

Pada waktu itu Jepang memulai industrialisasi, dan penduduknya kian meningkat. Sayangnya, angka penduduk terlalu cepat naik sedangkan pekerjaan masih terbatas. Mereka yang tanpa pekerjaan terpaksa hijrah ke negara lain. Pemerintah Brazil kebetulan memberikan dukungan dana agar orang Jepang datang ke Brazil. Tujuannya untuk pembangunan infrastruktur dan pertanian. Sayangnya mereka digaji rendah.

Iklan untuk menarik warga Jepang supaya pindah ke Brazil “Ayo pergi ke Amerika Selatan bersama keluarga!”

Pada waktu itu, Amerika Serikat membatasi pendatang asal Jepang karena Perang Dunia II. Pemerintah Jepang juga mendukung emigrasi ini dengan membebaskan biaya pelayaran ke Brazil. Pemerintah Jepang juga memberikan nasihat agar mereka tidak mendirikan kuil Shinto atau Budha. Mereka diminta masuk Katolik agar sama dengan warga Brazil. Mereka juga diminta mengenakan pakaian Barat. Ini untuk memudahkan integrasi dengan warga setempat.

Beberapa dekade berlalu dan pada 1969 warga Jepang di Brazil sebanyak seperempat juta jiwa! Karir mereka pun semakin beragam. Sebanyak 80 persen memang masih petani, namun generasi ketiga sudah ada pekerjaan di bidang bisnis, kerajinan tangan, layanan dan transportasi.

Kini, Jepang termasuk warga pendatang yang dihormati di Brazil. Sepuluh persen mahasiswa universitas di Brazil adalah keturunan Jepang. Banyak dari keturunan Jepang yang menjadi artis, politisi dan olahragawan. Namun, kemampuan berbahasa Jepang mereka menurun dari generasi ke generasi. Hanya 36.5 persen dari generasi kedua dan ketiga yang bisa berbahasa Jepang. Mereka lebih nyaman berbahasa Portugis daripada berbahasa Jepang.

Menurut seorang kawan Jepang asal Brazil, ia pernah fasih berbahasa Jepang ketika kecil. Beranjak dewasa, orang tuanya tidak lagi mengajari bahasa Jepang lagi karena ia bersekolah di sekolah lokal yang berbahasa Portugis. Wajahnya Jepang tetapi tidak berbahasa Jepang. Kawan ini, jika memutuskan kembali ke Jepang, akan mengalami masa sulit. Ia dianggap orang asing di Jepang. Orang Jepang punya julukan untuknya: Nikkeijin. Pada 1990 banyak dari generasi kedua dan ketiga Jepang asal Brazil kembali ke Jepang demi menikmati kehidupan lebih baik. Sayangnya, integrasi di Jepang memang sulit. Orang Jepang mungkin bukan jenis masyarakat yang inklusif.

Karayuki-san


Dalam buku Japan and Singapore in the World Economy (1999), Shimizu Hiroshi dan Hirakawa Hitoshi menulis bahwa hubungan ekonomi Jepang dengan Singapura sudah ada sejak permulaan Restorasi Meiji (1868). Ini berarti bahwa hubungan Jepang-Singapura sudah terbina lebih dari 120 tahun. Jadi tidak heran apabila hari ini ada 3.000-an perusahaan Jepang di Singapura; sekitar 700 di antaranya bergerak di bidang manufaktur.

Pada abad 19 itu, ‘tokoh’ penting yang membangun hubungan kedua negara adalah karayuki-san.

Siapakah karayuki-san?

Karayuki-san adalah sebutan bagi anak gadis petani atau nelayan yang pergi meninggalkan Jepang untuk bekerja di luar negeri. ‘Kara’ berarti negara luar, sedangkan ‘yuki’ berarti tujuan. Kata ‘san’ ditambahkan sebagai penghormatan kepada seseorang.

Karayuki-san

Mengapa mereka meninggalkan Jepang?

Gadis-gadis ini pergi meninggalkan Jepang karena tekanan ekonomi.

Pertanian dan teknologi Jepang meningkat setelah Restorasi Meiji. Seiring dengan peningkatan itu, angka kelahiran juga naik. Pada 1873 populasi Jepang berjumlah sekitar 35.2 juta. Populasinya berlipat ganda, yaitu menjadi 69.3 juta jiwa, pada 1935. Pabrik-pabrik tak mampu menampung ledakan penduduk ini. Untuk terus bertani, agaknya sulit karena harga sewa tanah pertanian juga semakin mahal. Jepang juga masuk Perang Dunia II dan devisa negaranya dikerahkan untuk mendukung perang. Efek dari semua ini mudah diduga: pengangguran. Penduduk Jepang pun jatuh miskin.

Untuk mempertahankan hidup, sebagian dari mereka meninggalkan Jepang. Keluarga petani atau nelayan miskin merelakan anak-anak gadisnya bekerja di luar negeri. Negara-negara yang menjadi tujuan utama kala itu adalah Singapura, Hawaii, Siberia, Australia, India atau Afrika. Agen tenaga kerja menjamin bahwa gadis-gadis ini akan mendapatkan pekerjaan di sana. Namun sayangnya, agen seringkali menipu mereka: gadis-gadis ini dijadikan pekerja seks komersial.

Gadis-gadis yang berasal dari Nagasaki, Kumamoto, Yamaguchi, Fukuoka atau Saga ini tidak punya pilihan lain kecuali bekerja sesuai keinginan agen. Dari hasil kerja itu mereka mengirimkan uangnya kepada keluarganya di Jepang, atau membayar hutang kepada agen. Padahal, secara ekonomi pengiriman uang oleh karayuki-san ke Jepang sangatlah kecil.

Sekelompok comfort women yang akan diberangkatkan ke Shantou, Cina Selatan.

Karayuki-san di Singapura

Di Singapura, karayuki-san dikenal dengan nama nan-yo-yuki, atau pekerja seks. Kenyataan yang cukup menarik adalah bahwa merekalah pendatang terbesar asal Jepang di Singapura pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Di Singapura, lebih dari 633 karayuki-san beroperasi di 109 rumah bordil. Bahkan disinyalir ada lebih dari 1,000 rumah bordil yang buka tanpa ijin. Sebagian besar rumah bordil ini terletak di persimpangan antara Victoria Street dengan Rochor Road. Sebagian lainnya berada di Sago Street, Malay Street, Malabar dan Hailam. Agaknya inilah yang membuat Singapura jadi terkenal dalam hal pelacuran pada masa itu.

Namun, praktik ini sebenarnya tidak sesuai dengan rencana kolonial Inggris. Inggris mendatangkan karayuki-san dari Jepang sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan seks para pedagang besar, bukan untuk khalayak umum. 

Karayuki-san dan Geisha

Ada anggapan bahwa karayuki-san ini mirip dengan geisha. Padahal sebenarnya keduanya berbeda. Bedanya jika karayuki-san memang bekerja sebagai pekerja seks, geisha hanya menemani ngobrol, minum dan menghibur pelanggan dengan menari atau menyanyi. Namun dengan berjalannya waktu, banyak juga geisha yang melanggar aturan, atau dipaksa melayani nafsu pelanggan. Tak ayal, sebagian geisha melakukan ‘aktivitas’ yang sama dengan apa yang dilakukan karayuki-san. Karena itu, makna geisha jadi bergeser mendekati karayuki-san, yaitu pekerja seks.

Senjakala Karayuki-san

Karir karayuki-san tidak bertahan lama di Singapura. Pada 1920, tekanan negara-negara lain atas dasar moralitas membuat Konsulat Jenderal Jepang di Singapura menutup rumah bordil yang berisi karayuki-san. Pemerintah Jepang juga mewajibkan karayuki-san pulang ke Jepang. Pada masa itu sedikitnya 40% karayuki-san kembali ke Jepang. Namun sebagian dari mereka menetap di Singapura, atau lari ke Malaysia.

Karayuki-san memang kontroversial. Praktik pelacuran merupakan tindakan asusila, namun perspektif feminisme melihat karayuki-san sebagai satu simbol kegigihan. Kisahnya yang pedih dan penuh kecaman itu mendorong sutradara film Jepang, Shohei Imamura (1926 – 2006), membuat sebuah film Karayuki-san: The Making of A Prostitute (1975). Kisah pelacur Jepang ke Asia Tenggara turut diceritakan sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), dalam seri novelnya, Bumi Manusia.

Di Singapura, kuburan karayuki-san dapat ditemukan di Japanese Cemetery Park. Dan, sejarah Karayuki-san kini terkubur di bawah beton-beton department store seperti Seiyu Ltd., Parco Co, dan Bugis Junction, Singapura.

Bibliografi

  1. Hiroshi S & Hitoshi H. Japan and Singapore in the World Economy, Routledge, 1999
  2. Kajita T, Singapore’s Japanese Prostitute Era Paved Over, The Japan Times, 18 June 2005
  3. Kingston J, Japan’s ‘Comfort Women’ – Wartime Suffering that Didn’t Count, The Japan Times, 26 May 2002
  4. Schilling M, Shohei Imamura (1926 – 2006): A Lifetime in Search of Japan’s True Self, The Japan Times, 8 June 2006
  5. Christopher E, Pybus C, Rediker M (Eds). Many Middle Passages: Forced Migration and the Making of the Modern World, University of California Press, 2007
  6. Tanaka Y, Japan’s Comfort Women – Sexual Slavery and Prostitution during World War II and the US Occupation, Routledge, 2002

Orang Melayu pada Periode Meiji


Prolog

Saya menemukan artikel menarik tentang sejarah orang Melayu/Muslim pada periode Meiji di internet. Artikel ini ditulis oleh Michael Penn, direktur Shingetsu Institute (sebuah lembaga pengkajian perkembangan Islam di Jepang dan dunia). Judul artikelnya adalah Malay Muslim in Early Meiji (2008).

Setelah membaca artikel itu, pertanyaan yang mengganggu adalah bagaimana penulisnya tahu bahwa nama-nama orang “Melayu” yang disebutnya, misalnya Ketchil atau Katchung, adalah muslim? Setelah beberapa hari bersabar, akhirnya saya beranikan diri mengirim e-mail kepada penulisnya.

Dapatkah saya tahu bagaimana anda mendefinisikan Melayu atau Muslim? Definisi ini tidak saya temukan di dalam artikel. Melayu, seperti yang saya pahami, adalah penduduk asli Asia Tenggara khususnya Malaysia, Singapura dan Indonesia. Mereka berbahasa Melayu atau bahasa turunan Melayu. Tetapi sebagian dari mereka bukanlah muslim. Apakah anda mengidentifikasi Melayu Muslim dari nama? [Dalam artikel anda] Abdool Saliman adalah nama Arab; jadi, kemungkinan besar dia adalah muslim. Namun, bagaimana dengan Ketchil dan Katchung? “Ketchil” sebenarnya kecil dalam bahasa Indonesia/Melayu. Atau, Katchung berarti pembantu dalam bahasa Jawa. Sebagian orang Jawa yang hidup di masa lalu mungkin tidak memeluk suatu agama.

Penulisnya dengan cepat membalas:

Saya setuju dengan pembedaan definisi antara istilah Melayu dan Muslim. Namun, koran-koran Inggris  yang saya gunakan sebagai referensi hanya menyediakan bukti yang sepotong-sepotong. Saya percaya bahwa sebagian besar orang yang dikenali sebagai Melayu pada sumber-sumber tertulis abad 19 kemungkinan besar adalah Muslim, meskipun sulit mengatakan mereka Muslim yang taat atau tidak. Seperti yang anda sebutkan, seseorang bernama “Abdool Saliman” adalah kasus yang jelas. Dalam beberapa hal, saya mengasumsikan bahwa beberapa orang yang dikenali sebagai Melayu adalah Muslim — ini akan membuat mereka setidaknya jadi pionir. Tapi untuk menjawab pertanyaan anda, iya, saya harus membuat kesimpulan atau deduksi sendiri karena sumber-sumber tertulis yang saya gunakan tidak menyediakan keterangan biografis yang lengkap.

Terjawab sudah penasaran saya. ‘Tokoh-tokoh’ Melayu, selain Maharaja Johor, yang ditulis dalam artikel diasumsikan beragama Islam; padahal bisa jadi tidak beragama. Konsekuensinya, seorang penulis harus berani mengambil kesimpulan dari serpihan fakta, atau bahasa keren-nya “inference”. Karena beberapa tokoh tidak jelas agamanya, maka untuk artikel ini saya ganti judulnya dengan orang Melayu saja, tapi tidak Melayu/Muslim.

Terlepas dari polemik ringan itu, cerita tentang orang Melayu di Jepang pada era Meiji memang menarik.

***

Adakah orang Melayu di Jepang pada era Meiji (1868)?

Setelah Jepang membuka dirinya kepada orang asing pada tahun 1868, banyak kapal dagang berlabuh di kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, Yokohama dan Nagasaki. Pada awal periode Meiji itu, adakah orang Melayu di Jepang? Inilah pertanyaan yang ingin dijawab oleh Michael Penn dalam makalahnya yang berjudul “Malay Muslims in Early Meiji Japan” (Shingetsu Institute, Vol. 4, 2008).

Dalam mencari jawab, Penn meneliti sejumlah koran, misalnya Japan Weekly Mail, Japan Gazette, Jiji Shinpo, Choya Shinbun, Yubin Hochi Shinbun, Tokyo Nichi Nichi Shinbun dan Tokyo-Yokohama Mainichi Shinbun, yang memberitakan orang Melayu pada 1870an hingga 1880an.

Diceritakannya bahwa kapal dagang yang tiba di Yokohama sebagian berbendera Inggris dan Belanda. Kapal kedua negara inilah yang membawa penumpang Melayu dari Malaysia, Singapura dan Indonesia. Sedikitnya ada dua kelas Melayu yang singgah di Jepang pada periode Meiji ini. Yang pertama adalah kelas anak kapal. Yang kedua adalah kelas raja Melayu yang diwakili Maharaja Abu Bakar dari Johor.

Awak Kapal

Agak disayangkan memang bahwa berita tentang orang Melayu yang bekerja sebagai awak kapal Inggris atau Belanda selalu terlibat tindak kejahatan. Pemberitaan ini sebenarnya wajar karena wartawan yang meliput berita adalah wartawan Inggris yang bekerja di pengadilan Konsulat Inggris atau Belanda. Penn juga mengatakan bahwa wartawan ini agaknya kurang bersimpati kepada penduduk kelas bawah.

Kasus yang tercatat pada bulan Juni 1872 melibatkan dua orang Melayu, yaitu Abdool Saliman dan Ali Pi Pie. Mereka berkelahi menggunakan pisau. Setelah diadili, mereka dipenjara selama tujuh hari. Pada Agustus 1877, awak kapal ‘Sunda’ yang berasal dari Jawa bernama Kecil menuduh kawannya Suriman menusuknya dari belakang. Kasus penusukan ini terulang lagi pada April 1880. Nelayan kapal ‘Sunda’ bernama Mael dihukum karena menusuk Kacung yang sebelumnya bertengkar dengan Cassim. Dari catatan pengadilan, Mael dan Cassim berasal dari Singapura.

Pada Maret 1873, orang melayu bernama Amaeu dinyatakan bersalah karena menelantarkan kapalnya. Pada musim panas 1875, dua orang Melayu ditemukan bergelandang di Yokohama. Keduanya diserahkan ke pemerintah Jepang dan Belanda. Jumlah awak kapal Melayu yang berada di Jepang terus menurun sejak Desember 1894. Mereka mengundurkan diri dari pekerjaannya, dan kembali ke Asia Tenggara. Alasannya bahwa cuaca Jepang terlalu dingin.

Maharaja Johor

Pada 1883, Maharaja Abu Bakar dari Johor mengunjungi beberapa kota besar di Jepang. Ia pernah menjadi Temenggong Johor pada 1864, Kaisar pada 1868 dan menjadi Sultan pada 1885. Kunjungan Maharaja Abu Bakar ke Jepang adalah rangkaian perjalanan politik ke Jepang dan Cina untuk memantapkan posisinya di Tanah Melayu sebagai pemimpin masa depan. Bersama 17 orang dari Johor, ia mencapai Nagasaki pada 22 Mei 1883.

Koran Inggris di Jepang menyebutnya ‘Raja Malaka’. Ia juga dikisahkan berumur sekitar 40an, berkulit gelap, berbadan tegap dan berpandangan tegas. Ia juga fasih berbahasa Inggris dan berpakaian Barat, kecuali bahwa ia memakai ‘topi gaya India’. Pemerintah Jepang ketika itu memperlakukan Maharaja Abu Bakar dengan penuh hormat, seperti halnya ketika Jepang menyambut raja-raja Eropa.

Abu Bakar menuju ke Osaka dan mengunjungi area Tennoji, Kuil Sumiyoshi dan Residen Osaka. Abu Bakar lalu melanjutkan perjalanan ke Kyoto pada 24 Mei 1883, dan mengunjungi Kuil Nishi-Honganji, Kinkakuji, Kitano Jinja dan Myoshinji. Ia juga sempat berkunjung ke Nara, dan Great Buddha (Kamakura) pada 28 Mei. Setelah singgah di Tokyo dan Yokohama, Abu Bakar juga mencoba onsen (pemandian air hangat) di Hakone.

Di Yokohama, ia menghabiskan waktu selama satu mingu. Selanjutnya ia pergi ke Kawasaki, Enoshima, Kamakura dan Kanazawa. Di wilayah Kanazawa, beliau disambut oleh Gubernur Oki. Kejadian yang terpenting adalah bahwa pada 26 Juni 1883, Abu Bakar mengunjungi Imperial Palace untuk bertemu Kaisar Meiji.

Abu Bakar mengakhiri kunjungannya di wilayah Yokohama di mana ia menghabiskan lebih dari satu bulan di sana. Pada 1 Agustus 1883, beliau naik kapal surat Mitsubishi bernama Tokyo-Maru menuju Nagasaki. Setelah Nagasaki, ia pergi ke Cina untuk kunjungan politiknya.

Fakta sejarah di atas dapat mengubah pandangan orang bahwa memang ada orang Melayu yang mengunjungi Jepang pada awal periode Meiji.

Kamakura


Gara-gara tahu kalau Barack Obama mengunjungi Great Buddha (Daibutsu) di Kamakura, jadinya ke sana juga. Sebenarnya mana ya yang lebih terkenal: Obama atau Daibutsu?

Obama: Setelah mencalonkan diri sebagai Presiden AS tanggal 10 Februari 2007, dan bersaing ketat dengan Hillary Clinton, Obama akhirnya terpilih sebagai presiden ke-44 pada 20 Januari 2009. Barangkali yang membuatnya terkenal adalah ras campuran Afrika-Amerikanya, dan pidatonya yang memikat. PR-nya banyak: pengangguran di AS, campur tangan AS di Timur Tengah, dll.

Daibutsu: Patung yang terbuat dari perunggu ini dibangun tahun 1252 untuk mengganti patung Buddha yang terbuat dari kayu. Ratu Inadano-Tsubone dan biarawan Joukou dari Toutoumi mengumpulkan uang dan menggunakannya untuk mengabadikan sosok Amidha Buddha. Patung Buddha setinggi 13.35 meter yang berada sekitar 40 km selatan Tokyo ini berada di dalam kompleks kuil Kotokuin. Daibutsu Kamakura bukanlah yang tertinggi di Jepang (Daibutsu yang tertinggi ada di Ushiku, Prefektur Ibaraki, yaitu setinggi 120 meter).

Mengapa Obama ke mengunjungi Daibutsu Kamakura?

Jawabannya: nostalgia. Dalam buku Dreams from My Father (2004) Obama bercerita bahwa ia mengunjungi Daibutsu Kamakura tahun 1967. Ketika itu ia berumur 6 tahun. Dalam perjalanan menuju Indonesia dari Hawaii, ia bersama ibunya transit selama tiga hari di Tokyo. Tak banyak yang diingatnya kecuali bahwa ia sangat menikmati es krim maccha (teh hijau) yang banyak dijual di sana.

Oleh karena itu, pada akhir sidang Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) yang diadakan di Yokohama, Obama segera naik helikopter ke Kamakura (14 November 2010). Kunjungan kedua Obama ke Kamakura ini diliput secara besar-besaran di Jepang. Sampai-sampai orang menyebut patung itu: Buddha – Obama.

Di Jepang, Kamakura termasuk tempat wisata yang paling diminati. Selain tempatnya yang dekat Tokyo, banyak tempat bersejarah lain yang bisa dikunjungi seperti kuil Tsurugaoka Hachiman-Gyu. Wisatawan juga dapat melakukan selancar angin di pantai Kamakura.

Ketika melihat ‘Buddha-Obama’ itu, ternyata ada yang lebih menarik di sana. Di halaman belakang kuil ini, ada sebuah patung politisi Sri Lanka, JR Jayawardene (1906 – 1996). Jayawardene tidak lain adalah mendiang presiden Sri Lanka.

Mengapa ada patung Jayawardene di sana?

Patung kepala Jayawardene ini didirikan sebagai penghormatan bangsa Jepang kepada Jayawardene karena atas usulan nyleneh-nya Jepang akhirnya diterima kembali masuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tanggal 8 September 1951 itu barangkali bersejarah bagi Jepang. Di konferensi ‘Perjanjian Keamanan dengan Jepang’ (umum disebut Perjanjian San Francisco) di War Memorial Opera House, San Francisco, Jayawardene mengatakan bahwa negara-negara dunia harus memaafkan Jepang dan mengajak Jepang untuk bergabung kembali dengan Kelompok  Internasional yang ditinggalkannya pada 27 Maret 1933. Di hadapan delegasi 51 negara itu Jayawardene berkata:

Kami di Ceylon (Sri Lanka) merasa beruntung karena kami tidak dijajah (Jepang), namun kerusakan karena serangan udara oleh tentara Jepang yang ada di bawah komando Asia Tenggara, dan diputusnya ekspor hasil bumi utama kami, yaitu karet, ke negara-negara Sekutu, membuat kami berhak menuntut Jepang untuk memperbaiki kerusakan itu. Namun, kami tidak berniat melakukannya karena kami percaya kepada kata-kata Guru Agung yang pesannya memuliakan jutaan manusia di Asia, bahwa “kebencian jadi hilang bukan karena dibalas dengan kebencian, tapi dengan cinta”.

Meskipun mengutip Buddha, pernyataan Jayawardene tetap menimbulkan kontroversi karena enam tahun sebelumnya Jepang menghancurkan Pearl Harbor di Hawaii, AS. Lagipula, luka-luka masih tersisa karena penjajahan Jepang di Korea, Cina, Filipina, Myanmar, Vietnam, Indonesia, Malaysia dan negara-negara lainnya.

Tidak berapa lama, 48 negara menandatangani perjanjian itu, kecuali Chekoslovakia, Polandia, Uni Soviet, Korea Selatan dan Korea Utara. Jepang akhirnya bergabung kembali dengan PBB tanggal 18 Desember 1958.

Di bawah patung Jayawardene itu terdapat ukiran:

Hatred ceases not by hatred, but by love.