JIL, Ulil dan Mas Goen


JIL atau Jaringan Islam Liberal, bagi saya pribadi, adalah sebuah ikon progresivitas pemikiran yang meng-counter lajunya paham-paham fundamentalisme dan dekadensi dalam Islam. JIL sendiri baru saya kenal ketika saya di Bandung tahun 2003. Ketika itu, ketua departemen di jurusan saya bilang: “Lho kok kamu tahu Mohammed Arkoun?” Arkoun ini adalah guru besar sejarah Islam di Sorbonne Univ, Perancis, yang buku-bukunya “mencerahkan” sekaligus bikin berang pemikir-pemikir fundamentalist karena dia membahas persoalan-persoalan mendasar dalam Islam dengan metode yang tidak “Islami” — seperti halnya meminjam pisau analisis hermeuneutika, psikoanalisis, dan lainnya. Setelah diskusi singkat, ketua jurusan saya menyuruh saya join milis JIL. Apa hubungan antara Arkoun dan JIL? Dua ikon itu memiliki jukstaposisi di progresivitas pemikiran dan penghalalan pemakaian metode-metode modern untuk mendekonstruksi ayat-ayat Qur’an dan sumber-sumber Islam lainnya.

JIL selain aktif di tataran mailing-list dan website, juga aktif melakukan seminar dan diskusi di pelbagai bidang. Dua motor penggerak JIL adalah Ulil Abshar-Abdalla dan Luthfi Assyaukani. Tidak terbatas hanya itu, anggota JIL tersebar di seluruh belahan dunia dan juga non-muslim. Diskusi di mailing list biasanya berbahasa Indonesia, meski kadang beberapa artikel dalam bahasa Inggris. Terus terang, saya lebih banyak mengamati diskusi daripada memberikan komentar atau opini, mengingat “ilmu” saya jauh sekali di bawah anggota-anggota lain. Ilmu saya juga kurang kuat dalam hal filosofi, sosiologi dan agama: menjadi “peserta kuliah” di ruangan JIL jadi pilihan buat saya.

Apa yang dibahas oleh JIL? JIL seringkali membahas masalah feminisme dalam Islam (pemakaian jilbab, tentang talak, poligami/poliandri dan lainnya), buku-buku baru, isu-isu politik yang mengetengahkan perseteruan Barat-Islam, masalah fikih, interpretasi Qur’an, hingga pencabutan subsidi BBM yang kesemuanya berada dalam framework “liberal”. Liberal berarti bebas. Di sini JIL senantiasa bergerak, memberikan opini dan meloncati pemahaman awam. Saya kadang juga heran, kok bisa ya orang-orang itu berpikir out-of-the-box sedangkan box-nya itu sendiri Islam, dan ada Tuhan di sana. Seolah, yang saya rasakan, Tuhan menjadi nihil dan Islam sendiri semacam institusi yang agak despotis atau kejam. Tapi sekali lagi, JIL tetaplah JIL yang liberal dan ingin meraih kebebasan dalam kerangka logika manusia. Tujuan JIL sebenarnya mulia: secara sederhana, JIL menginginkan Islam yang selalu up-to-date dengan perkembangan jaman. Hal ini memerlukan up-to-date juga dalam proses kompromi, peningkatan pengetahuan dan wacana serta pemakaian pisau analisis yang mutakhir bidang sosial, psikologi dan agama.

JIL sendiri dibangun oleh orang-orang yang berbasis pesantren, umumnya lulusan dan simpatisan Nahdlatul Ulama, dan mereka yg menggemari pemikiran yang progresif. Barat, yang identik dengan advancement pengetahuan dan orientalisme, memberikan inspirasi sekaligus “ruang-untuk-dihajar” bagi JIL. Buku-buku Hasan Hanafi, Arkoun, Sayid Quthb, Ismail Raji Al Faruqi, Fazlurrahman, Edward Said, dan ratusan penulis lainnya jadi referensi utama dalam ber-JIL ria. Sebagian orang-orang JIL mendapatkan pendidikan Barat, seperti Harvard, McGill, Chicago dan universitas terkemuka lainnya.

Problematika yang diusung JIL sebenarnya adalah masalah yang sudah dibawa oleh Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid dan Djohan Effendy di tahun 80-an. Mereka adalah pembaharu Islam di Indonesia yang kiprahnya kadang membahayakan karena mereka bergerak dengan cara yang santun, tapi juga kadang nyeleneh. Gus Dur, orang yang selalu saya kagumi tulisan-tulisan dan humor-humornya, adalah ahli sejarah dan sosiologi Islam yang setahu saya paling komprehen. Di era-nya mereka berempat telah memberikan pandangan-pandangan progresif seperti halnya “bahwa kita berdoa itu adalah buat kita sendiri, bukan buat Tuhan — karena tuhan sudah maha besar”, pemakaian istilah “Tuhan” untuk menggantikan Allah, penghalalan filsafat dalam Islam (ini sejalan dengan pemikiran Ibnu Rusyd yang kebetulan berseberangan dengan Al-Ghazali), pluralisme yang berdasarkan pemahaman bahwa “ada kebenaran yang lain, selain kebenaran-kebenaran dalam Islam”, dan banyak lagi lainnya. Pandangan ini, ketika itu, sungguh menyesakkan. Tapi setiap orang berhak memberikan interpretasinya sendiri terhadap apa yang diyakininya. Sebagaimana halnya saya yang meyakini bahwa setiap orang memiliki “tuhan”-nya sendiri, tergantung dengan cara pandang kita terhadap Tuhan.

JIL adalah fenomena dalam bentuk organisasi cyber yang menarik sekali untuk dicermati sekaligus dikritik. Tak ada yang sempurna dalam tubuh organisasi manapun, dan cela dalam pemikiran selalu ada di mana-mana. Saya sendiri selalu memahami JIL sebagai “individu” yang mencari dan terus mencari makna-makna dalam Islam dengan interpretasinya sendiri. Pertanyaan mendasar: bolehkan mereka meng-interpretasi ajaran-ajaran Islam dengan akal dan hati mereka? Kalau kita menggunakan kerangka ajaran-ajaran Islam sendiri, tentu jawabannya: hanya ulama (atau yang berpengetahuan) saja yang boleh melakukan ijtihad, sedangkan ijtihad individu nyaris tak digubris. Jika menggunakan kerangka “liberal” maka ijtihad individu adalah keniscayaan sebagai suatu bentuk pengakuan bahwa manusia adalah khalifah di bumi. Kok seperti bentrok ya? Ya inilah menariknya memiliki sudut pandang yang berbeda, selalu ada konflik sekaligus pengertian. “Difference is a grace”, perbedaan adalah rahmat. Dan tuhanlah yang maha segala.

***

Di Black Box, Fort Canning, seusai diskusi tentang “englightenment and fundamentalism” saya berbincang-bincang dengan Mas Ulil mengenai muslim Singapore. Muslim di Singapore bertolak dari kerangka yang digariskan MUIS (Majelis Ugama Islam Singapore) dimana ada kesulitan bagi mereka untuk menerima paham dalam Islam yang terlampau progresif. Ada semacam kemandegan dalam interpretasi Qur’an, dan interpretasi individu dalam Islam adalah haram adanya, sebagaimana halnya daging babi. Tapi, mereka tidak pernah merasa dekaden dengan kemajuan Singapore dan selalu bisa menyesuaikan (selalu diberi ruang).

***

Siang besoknya, saya, Mas Ulil, Mas Goen (Goenawan Mohamad) dan dua teman lainnya makan siang di kantin NUH sehabis menjenguk Cak Nur (Nurcholish Madjid). Ada beberapa guyonan yang saya masih ingat:Seorang wartawan asing (bule) akan melewati meja pabean di suatu negara Islam dimana dia ditugaskan meliput berita. Petugas pabean bertanya: “Lho, anda beragama apa?”. Wartawan menjawab: “Saya atheis.” Petugas: “Wah, anda tidak bisa masuk negara ini kalau tidak beragama.” Wartawan: “Wah gimana dong, wong saya memang atheis kok.” Petugas: “Hmm gimana ya … gini aja deh … kamu saya tulis agama Kristen ya? Nanti kalau ada yang tanya, bilang, tanggung jawab ke saya” Wartawan: “Oke deh, yg penting bisa masuk.”

***

Di akhir acara di Fort Canning itu, saya bertanya kepada Mas Ulil: apa sebenarnya yang mendasari Mas Ulil untuk mendirikan JIL? Dia menjawab dengan tutur kata dan intonasi yang kalem: karena saya ingin berdamai dengan Islam…