Sufiah, Hothousing dan Matematika


Sufiah Yusof

Bagi orang ramai, Sufiah Yusof di masa mendatang barangkali dibayangkan sebagai pemenang Fields Medal (mirip dengan “Nobel Prize” bidang matematika), gelar profesor dari universitas terkemuka, atau bahkan filosof atau penulis besar seperti halnya alumni St Hilda’s College lainnya. Namun, harapan itu seperti kandas di usianya yang 23 tahun ini. Di sekolah itu, Sufiah dikenal sebagai independent escort.

Metamorfosis dari jenius matematika ke seorang pelacur mungkin adalah ekses pemberontakan batin. Setidaknya inilah yang dialami Sufiah, perempuan blasteran Melayu – Pakistan, yang masuk St Hilda’s College, Universitas Oxford, bidang matematika pada usia 13 tahun. Pemberontakan ini agaknya tidak disebabkan oleh matematika, tetapi oleh isolasi yang ditimbulkan oleh keluarganya [?].

Sufiah (tengah) bersama ayah dan adiknya di Oxford 1997 (gambar atas)

Sufiah berpose untuk website escort (gambar bawah)

Hothousing

Ayahnya Farooq dan ibunya Halimaton menerapkan sebuah metode bernama “hothousing” di mana seorang anak dilatih untuk berkonsentrasi dalam satu pelajaran – biasanya matematika – hingga menguasai pelbagai subjek lebih awal dari kawan sebaya [?]. Dibarengi dengan kecerdasan Sufiah, mereka mendapatkan hasil memuaskan dalam waktu singkat, yaitu diterimanya Sufiah di Oxford. Di sana pun, Sufiah tetap mendapatkan akselerasi dalam penyerapan pelajaran. Orangtuanya secara bergantian menemaninya, sehingga ia pun mengeluh tak mempunyai banyak teman. Implikasi dari isolasi ini sangat serius: seorang anak cenderung mencari kebebasan, meninggalkan apa yang dulu ditekuninya, mencoba hal-hal baru, menguji moralitas umum, mencicipi kebahagiaan yang diraih “manusia biasa”.

Di satu sisi, orangtua Sufiah mempunyai kekhawatiran yang umum dimiliki orangtua lainnya. Orangtua berupaya mengamankan masa depan anak yang serba tak tentu dan yang makin kompetitif dewasa ini. Dengan bekal kejeniusan anaknya ini, orangtua Sufiah cenderung mengarahkannya menjadi apa yang mereka inginkan, bukan apa yang Sufiah inginkan. Namun, hal ini malah menyebabkan seorang anak tak memiliki waktu untuk menerapkan apa yang dia pelajari di kehidupan nyata, karena waktunya habis untuk belajar, menempuh ujian dan mengerjakan pekerjaan rumah. Anak tak memiliki kepercayaan diri karena cenderung diarahkan dalam jangka waktu lama. Ia kemudian biasanya memberontak, dan mencari apa yang hilang di masa kecilnya.

Tentang Matematika

Penulis mengakui bahwa matematika adalah subjek yang paling tidak diminatinya ketika kecil. Hal ini lambat laun berubah karena ternyata matematika memiliki banyak kegunaan. Ekonom, jurutera, fisikawan, akuntan, pilot, dokter semua memerlukan perhitungan matematika meski dalam frekuensi penggunaan yang berbeda-beda. Sebagian profesi memerlukan matematika lebih intensif dibanding profesi lainnya. Namun, intinya: matematika akan selalu bermanfaat di manapun dan kapanpun.

Matematika yang diperkenalkan di sekolah umumnya latihan mengoperasikan persamaan dan bilangan. Hal ini penting, namun yang jauh lebih penting adalah seorang anak perlu dilatih memahami penggunaannya, dan menerapkannya di kehidupan nyata. Di sekolah dasar (primary school), seorang anak perlu dilatih mengkonversikan satuan panjang (misal: dari meter ke centimeter) dengan mengambil penggaris (ruler) dan mengukur panjang sisi meja. Di sekolah menengah pertama (secondary school), seorang anak perlu mengetahui bahwa pertumbuhan tinggi badan seseorang itu bisa didekati dengan fungsi kuadratik. Di sekolah menengah atas (junior college), seorang anak bisa menghitung volume mangkuk dengan integral. Dan, perkenalan terhadap aplikasi matematika ini perlu disampaikan tanpa tekanan. Dengan cara ini, matematika malah menimbulkan afeksi, kecintaan, karena di sana ada kemudahan jika kita memahaminya.

Di bidang aeronautical engineering, matematika digunakan dalam menghitung kekuatan struktur sayap, gaya angkat pesawat, rute pesawat, performance terbang pesawat dan lainnya. Jika anda duduk di jendela dekat sayap pesawat, dan memperhatikan ujung sayap yang terdefleksi ke atas namun tidak patah, maka struktur sayap ini dihitung dengan baik oleh engineer dan mereka menggunakan aplikasi matematika dalam menghitungnya (dikenal dengan operasi matriks dalam metode elemen hingga).

Penutup

Pemahaman mengenai matematika tidak memerlukan akselerasi. Yang diperlukan adalah pengenalan matematika lewat contoh nyata, berlatih belajar mandiri dan rutinitas belajar.

Sufiah sepertinya sudah mendapatkan itu semua; yang tidak ia dapatkan adalah kebebasan dalam mempelajarinya. Seandainya ada keseimbangan antara harapan orangtua dan keinginan anak maka Sufia bisa menjadi selayaknya ia.

Hari ini, setiap orang mengharapkan Sufiah menjadi orang yang baik, kembali ke jalan yang lurus. Namun, Sufiah yang punya paradigma realistik dan logik tentu bertanya: aku harus jadi apa? Bermetamorfosis menjadi “yang baik” barangkali mengidap ketidakpastian. Dan, sulit diformulasikan dalam matematika. Jadi, tak ada solusi.

Ternyata “metamorfosis” itu lebih susah daripada integral lipat tiga.

***

Diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu di Berita Harian Singapura, 24 April 2008, dengan judul “Mencintai Matematik tanpa Keperihan”

Orang Bawean di Singapura


Disclaimer: This article contains a summary of various references on Bawean or Baweanese people in Singapore. Its content, in itself, needs an extensive verification, and the verification should be based on modern literature, field work (by visiting Bawean), take note of what’s old and what’s new, and some other stuff. I understand that some of the Baweanese people would see this article as stub; but this is what I can do to leverage the knowledge of Baweanese in Singapore to Indonesian people, or to larger extent, to the world. I’ve received two comments on this article when somebody posted it in Media Bawean. I put the comments at the bottom (as you would see from what language the wrote, and how they made comment). Finally, feel free to leave a constructive comment, in an elegant way if you wish, especially from the Baweanese themselves as it would make the knowledge about Bawean perfect.

***

Apakah itu “Boyan”?

Pada bulan Desember 2005, seorang kawan menawarkan roti “boyan” kepada saya. Alih-alih menikmatinya, saya jadi bertanya: apakah “Boyan” itu? Dijelaskannya bahwa “Boyan” adalah nama lain Bawean, sebuah pulau di dekat Surabaya. Bagaimana “Bawean” bisa menjadi “Boyan”? Hal ini mungkin disebabkan oleh absorbsi bahasa yang menyebabkan ketidakaslian bentuk kata yang umum terjadi pada jaman dulu (sebagian orang menyebutnya ‘korupsi kata’). Nama “bawean” sendiri diberikan oleh orang-orang Majapahit (kerajaan Hindu terbesar di Jawa) pada abad ke 13 yang berarti “matahari terbit”. Karena orang Bawean (atau Madura) mengganti huruf “w” menjadi “b” maka kadangkala Bawean ini disebut Bebien (“e” dibaca seperti ‘benar’).

Matahari terbenam di pulau Bawean

Ketika kecil, sewaktu saya masih tinggal di Probolinggo, sebuah kota 100 km di timur Surabaya, nenek saya kadang bercerita mengenai pulau-pulau di utara Jawa, seperti pulau Gili, kepulauan Karimun Jawa, pulau Bawean dan lainnya. Baginya, beberapa pulau ini adalah tempat ziarah ke makam-makam kyai (seorang pemuka muslim yang biasanya memiliki pesantren atau perguruan agama). Kyai yang terkenal di Bawean adalah almarhum Kyai Maulana Umar Mas’ud. Pada awal 80an itu, pulau-pulau kecil ini masih tak memiliki listrik yang memadai. Listrik hanya dinyalakan pada jam-jam tertentu dan di tempat tertentu, karena listrik dibangkitkan oleh mesin diesel.

Pulau Bawean masuk ke dalam kabupaten Gresik tahun 1974; sebelumnya, pulau Bawean masih bagian dari Surabaya. Letaknya 120 km di utara Gresik. Pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan kapal express (ferry) selama 3 – 6 jam. Pulau Bawean sedikit lebih luas daripada pulau Singapura. Namun, penduduknya hanya berjumlah 65000. Pulau ini dibagi menjadi dua kecamatan (district), yaitu Sangkapura dan Tambak. Sangkapura terdiri dari 17 desa, yaitu Desa Sawahmulya, Kota Kusuma, Sungaiteluk, Patarselamat, Gunungteguh, Sungairujing, Baliktetus, Daun, Kebunteluk Dalam, Sidogedung Batu, Lebak, Pudakittimur, Pudakitbarat, Komalasa, Suwari dan Deka-Tagung. Sedangkan, Kecamatan Tambak meliputi 14 desa, yaitu Desa Tambak, Telukjati, Dedawang (Dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk, Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuhteluk dan Kepuhlegundi.

Bahasa Bawean

Seorang kawan dekat di Singapura kebetulan keturunan Bawean, dan ayahnya pernah memiliki band yang tersohor di tahun 1950-60an, namanya “La Obe”. Suatu hari saya ingin tahu apakah bahasa Bawean ini lebih mirip bahasa Jawa, bahasa Madura, atau campuran keduanya. Saya bertanya dalam bahasa Madura, dan ayahnya membalas dalam bahasa Bawean. Ternyata bahasa Bawean ini mirip sekali dengan bahasa Madura! Tingkat kemiripannya barangkali lebih tinggi dibanding Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Diceritakannya bahwa orang-orang Bawean yang datang ke Singapura dulunya berpencaharian sebagai ahli agama, guru silat dan pedagang “ilmu”. Menurut sejarah, memang benar bahwa kesenian yang paling menonjol di Bawean adalah kesenian pencak silat. Hingga kini, kesenian ini masih dilestarikan.

Merantau

Secara historis, mayoritas masyarakat Bawean adalah nelayan. Dari pekerjaan ini, jiwa mereka secara praktis adalah perantau, yang berhari-hari berlayar, kemudian pulang sambil membawa uang hasil penjualan ikan. Jiwa merantau dan berdagang ini menjadi turun-temurun dan menentukan garis hidup keturunan mereka juga. Setiap lelaki di pulau Bawean dirasa “wajib” untuk merantau, meski mereka telah menikah.

Orang Bawean di Singapura

Dalam artikel yang cukup komprehensif, The Baweanese (Boyanese), yang ditulis oleh Nor Afidah Abd Rahman dan Marsita Omar, sensus penduduk pertama kali mencatat adanya orang Bawean tahun 1849. Antara tahun 1901 – 1911, populasi orang Bawean di Singapura makin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pajak yang terlampau tinggi yang dikenakan Belanda kepada inlander (penduduk asli) di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Di tahun-tahun itu, dicatat bahwa ada dua perusahaan transportasi yang melayani migrasi penduduk dari Bawean ke Singapura, yaitu Dutch Koninklijke Paketvaart Maatschappij (Belanda) dan Heap Eng Moh Shipping Company (Singapura). Populasi orang Bawean makin meningkat ketika pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945 karena penjajahan ini menyebabkan kelaparan dan kemiskinan yang parah. Setelah 1945, arus masuk imigran diperketat di Singapura dan Malaysia. Sebagian orang Bawean berbelok ke Tanjung Pinang dan Riau.

Ketika Inggris membangun pacuan kuda tahun 1842, mereka menyewa orang-orang Bawean sebagai pekerja konstruksi untuk membangun Race Course lama, atau Turf City masa kini. Karena berbakat melatih kuda, orang Bawean akhirnya dipekerjakan sebagai pelatih kuda pacuan. Sebagian dari mereka tetap bekerja sebagai pelayar (seamen). Namun ada pula yang bekerja sebagai sopir untuk tuans dan mems, perawat kebun, pegawai pelabuhan dan sopir bullock-cart.

Antara tahun 1840an hingga 1950an, orang Bawean banyak yang bermukim di Kampong Boyan (kini bernama Kampong Kapor). Mereka membangun pondok (ponthuk, dalam bahasa Bawean) sebuah rumah yang digunakan untuk bersosialisasi dan tempat menampung pendatang Bawean yang baru. Komunitas ini dipimpin oleh Pak Lurah. Secara literal, Pak Lurah berarti kepala kampung atau kepala desa (the chief of the village). Istilah ini sekarang masih dipakai secara luas di Indonesia.

Banyak dari masyarakat Bawean di Singapura akhirnya menikah dengan etnis lain seperti Melayu, Jawa, Bugis dan lainnya. Peleburan ini menyebabkan identitas keturunan mereka secara praktis disebut “Melayu”. Namun, ada juga yang masih menggunakan garis etnis ayah, sehingga tetap beretnis “Boyan”. Seperti halnya keturunan Jawa di Singapura, sedikit sekali generasi muda Boyan yang menguasai bahasa Bawean, atau Madura. Sebagian dari mereka cukup mengenal beberapa kata, atau mengerti sedikit beberapa kalimat. Hal ini cukup wajar, mengingat bahasa Bawean tidak dipakai sehari-hari di sini.

Generasi tua keturunan Bawean di Singapura kadang masih mengunjungi sanak saudara di pulau Bawean. Namun, beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah artikel pribadi yang ditulis oleh generasi muda keturunan Bawean. Ia ingin sekali ke Bawean, meski hanya sekali seumur hidupnya. Sama halnya dengan bahasa, jika kultur Bawean ini mirip dengan Madura, maka setiap saudara itu adalah saudara dekat. Sehingga perlakuan mereka terhadap saudaranya (meski hubungannya jauh sekalipun) sangat-sangat akrab. Ini ciri khas orang Madura yang juga saya amati di pulau Jawa.

***

Bibliografi:

[1] http://www.bawean.info

[2] http://pulaubawean.blogspot.com/

[3] http://media-bawean.blogspot.com/

[4] http://www.thingsasian.com/stories-photos/1280

[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Bawean

[6] http://infopedia.nl.sg/articles/SIP_1069_2007-06-20.html

***

Link baru:

Endah – The Baweanese Corner

Pesawat Terbang


Umumnya, orang mengenal pesawat sebagai “burung besi” yang mampu terbang 10000 meter di atas permukaan laut, mengangkut ratusan penumpang, mampu menjelajahi beberapa benua dalam sehari dan dibangun menggunakan teknologi canggih. Lebih jauh lagi, pesawat udara adalah hasil kompromi dari pelbagai ilmu pengetahuan yang tiada henti. Ilmu yang digunakan untuk membangun pesawat adalah aerodinamika, struktur ringan dan bahan (lightweight structures & materials), panduan terbang (flight guidance), kendali terbang (flight control), sistem transportasi, sistem avionik, sistem propulsi, manufaktur, manajemen, keuangan hingga pemasaran.

Mendesain pesawat

Seorang pakar aerodinamika menginginkan pesawat dengan gaya hambat (drag) minimum dan gaya angkat (lift) besar. Pakar struktur menginginkan pesawat yang ringan, namun kuat dan tahan terhadap berbagai macam pembebanan. Pakar sistem avionik menginginkan pesawat yang memiliki instrumen lengkap dan menyediakan status terbang secara waktu nyata (real-time). Pakar transportasi udara berusaha mengoptimalkan penggunaan seat pesawat dan menentukan strategi pemasaran. Pakar kendali terbang menginginkan pesawat yang lincah (agile) namun stabil dan mudah dikendalikan. Pakar sistem propulsi menginginkan pesawat yang punya efisiensi mesin tinggi, hemat bahan bakar dan mampu memberikan gaya dorong (thrust) dalam jangka waktu lama. Pakar manufaktur menginginkan pesawat yang mudah dibuat namun juga memenuhi kaidah desain yang ditentukan oleh pakar struktur. Masih banyak lagi keinginan pakar lain, dan hal-hal itu akan saling “dibenturkan” dan dioptimalkan guna membuat sebuah pesawat yang diinginkan.

Pesawat Turbo Prop N250 buatan PT Dirgantara Indonesia

Umumnya, mendesain pesawat memerlukan kerja keras lebih dari empat tahun untuk memperoleh desain konseptual (conceptual design) dan desain awal (preliminary design); kemudian ditambah beberapa tahun untuk membuat desain rinci (detailed design), perencanaan proses manufaktur, pengujian (testing) dan sertifikasi dari dinas penerbangan setempat maupun internasional seperti FAA (Federal Aviation Authority). Singkatnya kita memerlukan kurang lebih 10 tahun untuk membuat pesawat udara. Namun, dengan kemajuan teknologi software dan manufaktur, kini proses desain ini jauh lebih cepat beberapa tahun, dan memungkinkan pabrik me-release pesawat dengan lebih cepat ke customer. Kemudian, pesawat akan dapat diterbangkan kurang lebih 30 tahun setelah masa pembuatan. Hal ini dimungkinkan jika proses perawatannya mengikuti petunjuk yang diberikan pabrik pesawat.

Bagaimana pesawat bisa terbang

Pesawat mematuhi hukum Newton untuk prinsip terbangnya. Kemampuan terbang pesawat ditentukan oleh sayap yang memberikan gaya angkat dan engine yang memberikan gaya dorong. Pesawat haruslah ringan sehingga gaya beratnya kecil, dan ini membuat lift menjadi semakin efektif. Untuk ini, seorang engineer biasanya memilih paduan aluminum atau komposit serat karbon. Pesawat juga harus memiliki gaya hambat yang kecil sehingga thrust juga efektif. Untuk ini, seorang engineer membuat profil pesawat agak lancip dan sayapnya setipis mungkin.

Sebelum take off, pesawat harus mencapai kecepatan tertentu sehingga tekanan di bagian bawah sayap lebih tinggi dari atas sayap. Perbedaan tekanan ini dibantu oleh penampang sayap yang dinamakan airfoil. Jika beda tekanan makin besar maka gaya angkat yang ditimbulkan akan cukup untuk mengangkat pesawat. Penjelasan ini didasarkan pada persamaan Bernoulli (fisikawan Switzerland yang hidup pada 1700 – 1782).

Prinsip terbang pesawat yang lebih akurat biasanya dijelaskan lewat ilmu mekanika fluida yang membahas mengenai vortisitas atau aliran yang berputar.

Pesawat udara berbeda dengan pesawat ulang alik (space shuttle). Untuk take off, space shuttle memakai roket booster raksasa untuk melesatkannya ke luar atmosfer, lalu setelah melepaskan roket booster raksasa itu, ia akan mewahana di luar atmosfer dengan tiga roket kecilnya.

Kecelakaan pesawat

Hal yang paling banyak disorot akhir-akhir ini adalah kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat adalah hal yang kritis mengingat jumlah survivor-nya sangat kecil dibanding kecelakaan moda transportasi lain, seperti kereta api, mobil, sepeda motor atau bus. Namun frekuensi kecelakaan pesawat sangatlah kecil dibanding kecelakaan transportasi lain itu. Data tahun 2000an menunjukkan bahwa kecelakaan pesawat disebabkan oleh kesalahan pilot yang berhubungan dengan kemampuan pilot itu sendiri, cuaca dan kegagalan mekanik pesawat (total 52%); kegagalan mekanik (25%), kesalahan lain manusia (9%), cuaca (8%) dan sabotase (6%). Kecelakan pesawat dapat dihindari dengan melatih pilot supaya lebih desicive, bijak dan secara teknik mumpuni; disiplin melakukan proses perawatan (maintenance) dengan kualitas baik; menentukan rute penerbangan yang aman; teliti dalam melakukan review desain struktur pesawat dan lainnya.

Jazz di Indonesia


Dalam tulisan pendeknya, Jazz in Indonesia: A Capsule History, Paul W. Blair menulis bahwa musik jazz masuk Indonesia pertama kali pada akhir 30an. Jazz dibawa oleh musisi-musisi Filipina yang mencari peruntungan di Jakarta dengan bermain musik. Tidak hanya mentransfer jazz saja, mereka juga memperkenalkan instrumen angin, seperti trumpet, saksofon, kepada penikmat musik Jakarta. Mereka memainkan jazz ritme Latin, seperti boleros, rhumba, samba dan lainnya. Nama-nama musisi yang masih diingat adalah Soleano, Garcia, Pablo, Baial, Torio, Barnarto dan Samboyan. Selain bermain di Jakarta, seperti di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin Plaza) dan Hotel Der Nederlander (jadi kantor pemerintahan), mereka juga bermain di kota lain, seperti di Hotel Savoy Homann – Bandung dan di Hotel Oranje (Yamato) – Surabaya.

Pada tahun 1948, sekitar 60 musisi Belanda datang ke Indonesia untuk membentuk orkestra simfoni yang berisi musisi lokal. Salah satu musisi Belanda yang terkenal adalah Jose Cleber. Studio Orkestra Jakarta milik Cleber mengakomodasi permainan musik California. Band-band baru bermunculan seperti The Progressive Trio, Iskandar’s Sextet dan Octet yang memainkan jazz dan The Old Timers yang memainkan repertoir Dixieland.

Pada tahun 1955, Bill Saragih membentuk kelompok Jazz Riders. Ia memainkan piano, vibes dan flute. Anggota lainnya adalah Didi Chia (piano), Paul Hutabarat (vokal), Herman Tobing (bass) dan Yuse (drum). Edisi selanjutnya beranggotakan Hanny Joseph (drum), Sutrisno (saksofon tenor), Thys Lopis (bass) dan Bob Tutupoly (vokal).

Band jazz yang terkenal tahun 1945 – 1950 di Surabaya beranggotakan Jack Lemmers (dikenal sebagai Jack Lesmana, ayah Indra Lesmana) pada bass/gitar, Bubi Chen (piano), Teddy Chen, Jopy Chen (bass), Maryono (saksofon), Berges (piano), Oei Boen Leng (gitar), Didi Pattirane (gitar), Mario Diaz (drum) dan Benny Hainem (clarinet).

Nama-nama musisi jazz di Bandung tahun 50 – 60an adalah Eddy Karamoy (gitar), Joop Talahahu (saksofon tenor), Leo Massenggani, Benny Pablo, Dolf (saksofon), John Lepel (bass), Iskandar (gitar dan piano) dan Sadikin Zuchra (gitar dan piano).

Musisi-musisi muda di Jakarta bermunculan tahun 70 – 80an. Di antaranya Ireng Maulana (gitar), Perry Pattiselano (bass), Embong Raharjo (saksofon), Luluk Purwanto (biola), Oele Pattiselano (gitar), Jackie Pattiselano (drum), Benny Likumahuwa (trombon dan bass), Bambang Nugroho (piano), Elfa Secioria (piano). Beberapa musisi muda lainnya mempelajari rock dan fusion, tapi masih dalam kerangka jazz. Mereka adalah Yopie Item (gitar), Karim Suweileh (drum), WImpy Tanasale (bass), Abadi Soesman (keyboard), Candra Darusman (keyboard), Joko WH (gitar) dan lainnya.

Pertengahan tahun 80an, nama Fariz RM muncul. Ia lebih mengkategorikan musiknya sebagai new age. Namun, beberapa komposisinya bernafaskan pop jazz, bahkan latin. Indra Lesmana, Donny Suhendra, Pra B. Dharma, Dwiki Darmawan, Gilang Ramadan membentuk Krakatau, dan akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi Java Jazz, dengan mengganti beberapa personil.

Tahun 90an hingga sekarang, banyak sekali musisi dan kelompok jazz yang terbentuk. Musik jazz yang dibawakan tidak lagi mainstream, namun hasil distilasi berbagai musik seperti fusion, acid, pop, rock dan lainnya. Sebut saja SimakDialog, Dewa Budjana, Balawan dan Batuan Ethnic Fusion, Bali Lounge, Andien, Syaharani, Tompi, Bertha, Maliq & D’essentials dan masih banyak lagi lainnya.

Musisi jazz biasanya banyak bermunculan di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali. Hal ini disebabkan arus musik jazz lebih banyak mengalir di sana lewat pertunjukan jazz (JakJazz, Java Jazz Festival, Bali Jazz Festival), sekolah musik jazz, studio rekaman dan kafe yang menampilkan jazz. Seorang yang juga berjasa “mengalirkan” arus jazz ke Indonesia adalah Peter F. Gontha, seorang pemilik JAMZ dan pendiri pemrakarsa Java Jazz Festival.

Berita mengenai jazz Indonesia bisa dibaca juga di wartajazz.com.

 

AAN


Clementi – 2003

Sebelum ke Singapura tanggal 19 Juli 2003, saya kenalan dengan seorang kawan (baru) lewat email. Sebut saja inisialnya AAN. Dia katanya baru pulang dari mondok di Australia, dan mampir ke Singapura, tepatnya di padepokan NUS, untuk studi Master yang ke-2 (master²). Ketika itu kami mencari kos-kosan bersama dekat kampus (sebenarnya yang nyariin dia sih, karena dia sudah di Singapura duluan). Saya lagi di Bandung, dan sibuk mindahin barang-barang dari kos-kosan di Cisitu ke rumah kakak & pacar di Jakarta. Akhirnya, dengan bantuan housing agent, yang namanya masih kami ingat yaitu Tan Man Lee, kami diantar ke Blok 335 di Clementi. Di sana, kami viewing rumah baru.

Kami memutuskan untuk menyewa master bedroom yang ada kamar mandi dalam. Rumahnya ada di lantai 6; dan lift hanya berhenti di lantai 1, 6 dan 11. Jadi, kami lumayan beruntung tidak perlu naik turun tangga. Flat ini estate lama; lokasinya dekat dengan MRT station Clementi (6 menit jalan kaki), jendela belakang terhalang pohon jadi agak sungup, dan ada seorang lelaki yang tidur di kamar lain, pacar pemilik rumah, namanya Bob (meski aslinya bernama Arab, yaitu Arba’a). Ada dua tempat tidur di kamar itu, ada 1 lemari pakaian, 1 meja belajar. Satu tempat tidur yang saya gunakan hanyalah matras setebal (awalnya) 15 cm. Tapi setelah 6 bulan, bagian tengah matras jadi 5 cm; jadi punggung agak dingin ketika malam tiba.

Malam hari sepulang dari kampus, kami biasanya nonton TV, ngobrol, minum coke atau kopi, ngrokok Gudang Garam. Dia sebenarnya bukan perokok; tapi karena saya rajin membeli GG di Clementi, maka dia ikutan ngrokok (di Jember ini disebut perokok pasif – artinya “njaluk rokok” hehe). Kini GG yang Internasional tidak ada lagi di Singapura; dilarang beredar sejak 2004. Extinct. Di depan rokok, TV dan kadang gitar, kami ngobrol soal macam-macam, terutama soal budaya, agama, politik, kehidupan dan topik favoritnya, “Australia”.

Pasir Panjang – 2004

Setelah 6 bulan di sana, kami pindah ke sebuah landed house di Pasir Panjang, namanya The Village. Di sana kami tinggal sekamar lagi. Tapi kali ini sekamar diisi 3 orang. Seorang lagi adalah anak Lumajang (alumni ITB) yang kuliah di NUS juga. Jadilah, tiga bujangan di pinggir galangan kapal, West Coast. Tiap malam, seperti ritual sebelumnya, kami mengadakan “meeting”. Meeting adalah ngobrol di beranda depan, dekat kolam renang, sambil ngopi, ngrokok dan main gitar. Obrolannya lebih bervariasi, tergantung partisipan dan ada beberapa housemate cewek yang ikut nimbrung.

Setelah 6 bulan, AAN pulang ke Bandung untuk kembali mengajar di almamaternya, UIN Bandung. Dia yang asli kuningan ini adalah dosen muda yang lebih banyak menghabiskan waktu belajar daripada mengajar. Ya gimana mau ngajar, kan selalu di LN untuk menuntut ilmu. Tapi dia tidak pernah lepas kontak dengan kawan-kawan dosen di sana. Dia juga bilang banyak adik kelasnya yang nyalip dia gara-gara lama gak balik ke kampus. Tapi tak apa. Jalan hidup kadang memang tak bisa diduga. Dia sendiri tidak punya impian ke LN sebelum lulus dari UIN, begitu katanya. Tapi menjelang lulus, keinginan ke LN itu muncul. Jadilah ia ke Australia sebelum ke Singapura.

Bukit Panjang – 2006 & 2008

AAN kembali ke Singapura tahun 2006. Kali ini ia mengambil PhD di bidang politik. Dan, ia membawa serta keluarganya. Dia menyewa flat di Bukit Panjang, beberapa blok dari tempat saya menyewa kamar. Setelah 1-1.5 tahun mereka sekeluarga pulang ke Kuningan. Setelah field work dan cuti hingga 9 bulan, ia kembali ke Singapura. Kebetulan akhirnya saya menyewa flat sendiri di Bukit Panjang, maka ia tinggal sebentar di sini. Setelah 7 bulan, ia pulang kampung ke Kuningan pagi tadi pukul 5.30. Ia tinggal menulis conclusion saja untuk thesisnya.

Remarks

Seperti halnya Gus Dur, Ulil, mereka yang dididik secara tradisional di pesantren kemudian terekspos risalah ilmiah dari Barat, biasanya memiliki pemikiran agama yang progresif, tidak jumud, fleksibel dan liberal. Demikian juga AAN. Maka, berdiskusi dengannya mengenai Islam progresif selalu membuahkan pandangan atau pengetahuan baru.

Saya sendiri tidak pernah dididik di pesantren. Dan, dulu agak ngeri kalau diancam akan dimasukkan pesantren waktu kecil. Tapi di pertengahan kuliah di Bandung, saya membaca banyak sekali buku-buku pemikiran Barat yang mudah didapat di toko-toko kecil dekat kampus. Buku-buku ini tentu saja tidak berguna untuk kuliah saya. Dan, saya sendiri selalu bingung kalau ditanya kenapa membaca buku-buku seperti itu (seperti Fyodor Dostoevsky, Gogol, Sartre, Foucoult, Nietzsche, Marx, Arkoun, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Geertz, Anne-Marie Schimmel, M Iqbal dll). Tidak ada tujuan kecuali ingin tahu ranah lain di bumi ini. Mereka tentu tidak berbicara non-sense, itu saja yang saya percaya. Kalau non-sense, kenapa buku-buku itu dibahas di universitas besar di dunia? Jadi, agak eklektik dan self-enrichment.

Belakangan, terasa sekali manfaatnya. Tanpa membaca buku-buku itu, barangkali saya tidak bisa nyambung dengan AAN. Buku-buku itu secara tidak langsung memberikan hal-hal berikut: (1) kecenderungan untuk terbuka kepada pemikiran baru; (2) memahami dengan lebih cepat fenomena yang non-mekanistik; (3) memahami mengapa komunitas bertindak ini itu; (4) kesempatan untuk menguji metode ilmiah di bidang sains ke bidang sosial; (5) lebih bisa masuk ke banyak kalangan yang non-teknik karena ada hal yang diobrolkan.

AAN dulunya studi hadits, lalu berekspansi ke jalur pemikiran politik dan Islam liberal. AAN adalah seseorang yang produktif dalam dunia jurnalistik. Tulisannya menghiasi koran-koran di Indonesia dan Singapura; dan lewat kenalan dia ini, saya bisa memasukkan artikel di koran Singapura. AAN Ia juga menunggu satu bukunya diterbitkan di Thailand, dan ini mengenai Islam. juga orang yang sederhana dan tidak ambisius. Ambisinya hanya dituangkan lewat jalur akademis dan pemikiran saja; meski ada juga profesor yang mengatakan tulisannya konservatif. AAN sangat ingin kembali ke Australia, entah untuk belajar lagi atau mengajar. Negeri ini sangat berkesan baginya. AAN sedang menantikan anak keduanya (yang katanya Made in Singapore – hehe and born elsewhere, probably). AAN adalah orang yang sering dipermudah jalannya oleh Tuhan meski dihadapkan pada berbagai masalah pelik.

Selamat jalan kawan … keep on writing.

Big Bro Congrats


Kata Cincai “Big Bro Congrat” (Mas Selamat maksudnya) feng shui-nya bagus: karena ada “selamat” nya, makanya ia gak ketemu-ketemu. Sudah lebih dari 40 hari pemerintah Singapura berlagak bingung. Padahal, Ketua Jamaah Islamiyah (JI) capem Singapura ini dingklang, ditambah lagi negara ini kan sak ipet, kecil banget. Mana mungkin orang bisa susah ditemukan. Kalau di Indonesia barangkali memang sulit ditemukan.

Foto MS ada di mana-mana, termasuk tembok pintu masuk kantor. Di pintu keluar bus kota pun ada tempelan wajah MS. Persis jaman Wild Wild West dengan foto kartun bandit, tinggal ditulisin “WANTED” dan sekian ratus dollar buat hadiahnya. Fotonya seperti ini:

MS kini jadi seleb tanpa sinetron, tanpa nyanyi, tanpa jadi MP (member of parliament). Ia tak membuat policy, tapi ia membuat orang Singapura jadi bertanya: pemerintah kok kesulitan sih cari-cari dia? Dan, di koran tidak ada rekonstruksi proses lepasnya MS dari sel di daerah Whitley. Kalau di Indonesia, TEMPO biasanya langsung membuat denah ruangan, plus proses lepasnya buronan. Yah, semua kan disensor di Singapura. Lalu, Guru Menteri langsung bilang bahwa kita ini terlalu berpuas hati (complacent). Sudah puas dengan fasilitas Singapura, lalu teledor dan maling bisa lolos. Lho, kok jadi “kita”? Polisi yang jaga gimana? Barangkali udah dipecat kali ya … trus JI cabang Singapura ini gimana kelanjutannya tanpa MS? Pasti ada penggantinya dong … ditangkap juga? Entahlah.

Eh ada juga yang bilang kalau MS sudah diserahkan ke AS dan aksi-bingung-bingung-cari-dia di dalam negeri ini cuma nutup-nutupi bahwa ia sengaja dilenyapkan. Lama-lama kan orang juga lupa. Sudah lebih dari 40 hari lho. Sampai berapa lama lagi kita di ambang amnesia MS? Dan lagi, emang hidup cuma MS doang? Apalagi sekarang harga makanan naik, harga minyak goreng naik. Semua naik. Yang gak naik cuma gaji kayaknya.

MS … In any way, congrat … ! Kamu tak perlu membayar CPF lagi …

Don’t Panic with Mechanics


Pelajaran di tahun kedua kuliah yang paling berkesan bagi saya adalah Statika. Alasannya: pernah tidak lulus (ha ha). Statika pada dasarnya versi canggih dan dalam dari pelajaran mekanika statis SMA. Yah, berhubung waktu SMA malas baca buku pelajaran, kadang bolos, membenci guru fisika (meski penjurusannya fisika juga), maka tidak ada satupun subjek yang nyantol. Statika ini bagian dari Mekanika Teknik, alias MekTek. Sepertinya, hampir 40% kesulitan dengan statika. Entah kenapa. Apakah kurang pintar? Apakah malas membaca buku? Apakah jarang mengerjakan soal-soal? Apakah sering bolos kuliah? Apakah ketika ujian tiba-tiba mules dan keringat dingin? Apakah dosen menggunakan terlalu banyak rumus, ngomongnya canggih dan sulit dimengerti mahasiswa?? Mungkin semuanya. Yang jelas dulu saya tidak mengerti prinsip-prinsip dalam Statika, kebanyakan mata kuliah yang diambil dan sakit pas menjelang ujian akhir (halah alasan thok! ha ha).

Dosen kadang begini: tidak mampu menjelaskan teorema matematika dengan bahasa yang sederhana, yang mudah ditangkap oleh mahasiswa. Ibu itu bilang: Kenapa kamu tidak mengatakan kepada anak itu bahwa kamu sedang ngomongin angka rata-rata (mean value)?!

Fast forward. Akhirnya saya lulus kuliah itu setelah ngulang di tahun ke-3. Tahun ke-4 saya jadi mbantuin dosen untuk kuliah Beban Pesawat. Nah, kuliah ini menggunakan prinsip-prinsip dalam statika dan mekanika teknik juga. Setelah lulus, saya kebagian ngoreksi ujian komprehensif bidang struktur yang soal-soalnya statika dan mektek. Mereka yang beres TA harus lulus ujian komprehensif untuk bisa maju sidang. Saat itu juga saya mbantuin dosen buat ngasih responsi statika. Lumayan jadi makin ngerti. Apalagi, kadang ada teman -teman yang minta ajarin Statika. Jadi tambah mancep. Intinya: ngerti prinsipnya dulu (dengan matematika yang sederhana), prosedur pengerjaan, kemudian berlatih mengerjakan soal.

Dulu, sepertinya, bahasa yang dipakai dosen terlalu canggih, jadi kadang tidak mengerti sama sekali. Jadi, bagi kawan-kawan yang sering menjelaskan di depan mahasiswa, saran saya: hindari penjelasan yang canggih dan gunakan analogi sehari-hari. Ini supaya lawan bicara cepat ngerti dan waktu kita tidak terbuang.

Barusan saya menemukan buku mengenai MekTek, berisi statika, mekanika bahan dan dinamika. Isinya lengkap, tidak terlalu banyak rumus, banyak kartunnya. Buku ini ditulis dua ilmuwan Jerman, Romberg dan Heinrichs. Judulnya menarik: “Don’t Panic with Mechanics”. Bukunya masih fase eksperimental, mereka bilang. Dalam pengantarnya (yang relaks dan lucu), Dr Heinrichs mengatakan bahwa rekannya Dr Romberg adalah seorang yang mudah akrab (sociable), lucu namun pendek. Dr Romberg tak mampu membalas “pujian” itu jadi ia hanya mengatakan bahwa Dr Heinrichs adalah ilmuwan yang membosankan unggul.

Bagi yang berprofesi sebagai dosen, bisa membaca buku ini dan memasukkan kartun-kartunnya ke dalam slide yang dipakai. Bagi mereka yang sedang mengambil kuliah Statika atau MekTek coba baca buku ini. Ada banyak contoh soal di bagian akhir; supaya lebih mancep prinsip-prinsipnya.