Okuribito


Film cepat diterima siapa saja. Dalam film kita tak hanya menikmati seni peran, kisah dramatik atau special effect, tapi juga isu-isu kontemporer. Setiap film pasti dibuat untuk menyampaikan pesan atau makna dari isu-isu itu.

Sebelum berangkat ke Jepang pada September 2009, saya meminjam beberapa buku tentang Jepang. Di samping itu, saya juga melanjutkan kegemaran menonton episode Japan Hours di Channel News Asia. Japan Hours menampilkan tempat wisata, makanan dan hot spring di Jepang. Saya juga meminjam sebuah film Jepang. Judulnya Departures (2008). Di Jepang, film ini dikenal dengan tajuk Okuribito (おくりびと) yang artinya harfiahnya ‘mengantar orang’. Tapi orang Jepang umumnya mengenal okuribito sebagai judul film belaka karena kata ini jarang dipakai.

okuribito

Film Okuribito berhasil memenangkan Academy Awards untuk kategori Best Foreign Movie tahun 2008. Ia dibintangi oleh Masahiro Motoki, Ryoko Hirosue dan Tsutomu Yamazaki.

Daigo Kobayashi (diperankan Masahiro Motoki) bekerja sebagai penggesek cello dalam sebuah kelompok orkestra. Karena order pertunjukan sepi, orkestra pun ditutup oleh pemiliknya. Daigo tidak lagi punya pekerjaan, dan ia pun kembali ke desanya. Di sana, Daigo hidup bersama istrinya (diperankan Ryoko Hirosue) di rumah peninggalan ibunya. Di desa itu, orang tak dapat berkarir di bidang musik. Oleh sebab itu, Daigo mesti mencari pekerjaan lain.

Suatu hari Daigo menemukan satu lembar iklan pekerjaan. Kerana tertarik, ia mencari firma yang memasang iklan itu. Sesampainya di firma itu, ia hanya mendapati sebuah ruang yang berisi dua orang: pemilik dan sekretaris wanita. Kepada sang pemilik (pria tua yang diperankan Tsutomu Yamazaki) Daigo menanyakan perihal pekerjaannya. Deskripsi pekerjaannya kurang jelas. Sang pemilik hanya mengatakan: memasukkan jenazah ke peti mati. Awalnya ia merasa aneh, tetapi Daigo terpaksa mengiyakan karena pemiliknya langsung memberi panjer 500 ribu yen sebagai gaji di muka. Senang bukan kepalang, Daigo buru-buru membeli makanan dan hadiah untuk istrinya. Ia pun pulang dengan wajah berseri. Istrinya pun menyambutnya dengan bahagia.

Hari pertama kerja sungguh mengesankan: Daigo disuruh melepas semua pakaiannya, dan mengenakan pampers saja. Ia harus tidur, dibungkus baju jenazah, di-make up dan berbagai macam perlakuan aneh. Tapi dia tetap harus tenang dan menuruti instruksi majikannya. Karena peragaan menjadi mayat itu ternyata sangat serius, dan ditonton beberapa orang.

Setelah hari pertama itu lah, barulah Daigo mengetahui bahwa firma itu bergerak di bidang jasa penguburan. Ia konflik batin, tetapi ia merasa perlu bekerja dan mencari uang. Jika ia tak bekerja darimana ia mendapatkan uang. Apalagi gaji yang diberikan oleh firma itu cukup besar untuk ukuran desa atau kota kecil itu.

Tugas Daigo selanjutnya ternyata lebih berat. Ia harus belajar sebagai nokanshi atau perias jenazah. Pekerjaan nokanshi ternyata lebih dari sekedar perisa: ia juga harus dapat memandu doa, memasukkan jenazah ke peti mati, dan melakukan kremasi. Dalam tradisi Jepang, proses kematian dilakukan dengan rapi dan khidmat. Untuk menjadi nokanshi, seseorang memerlukan latihan bertahun-tahun agar mencapai kesempurnaan bekerja. Singkat kata, menjadi nokanshi bukan pekerjaan mudah!

Meskipun mulanya merasa aneh, Daigo akhirnya menikmati pekerjaan itu. Ia juga kagum dengan bosnya. Meskipun sedikit berbicara, atau bahkan tersenyum, bosnya melakukan pekerjaannya dengan tenang, dan sabar melatih Daigo hingga mahir sebagai nokanshi.

Menikmati pekerjaan adalah satu hal. Namun, yang paling susah adalah menceritakan jenis pekerjaannya kepada istrinya, apalagi keluarganya. Kerja mengurusi mayat bukan profesi yang dihargai di Jepang.

Tapi lambat laun, istrinya pun tahu. Semua keluarganya pun tahu. Semua berpendapat bahwa profesi nokanshi adalah aneh, dan tidak wajar. Barangkali, mereka melihat pekerjaan itu hina meskipun gajinya besar. Sebaliknya, Daigo semakin mencintai pekerjaannya. Ia merasa bahawa menjadi ‘perantara’ antara dunia dan akhirat adalah pekerjaan mulia. Ia merasa bahwa ritual mengantarkan orang mati punya keindahan tersendiri, dan ritual itu sudah merupakan bagian dari hidupnya.

Konflik keluarga pun bermula di sana. Istrinya meninggalkannya. Abangnya mengancamnya agar ia keluar dari pekerjaan itu. Keadaan juga diperburuk dengan kenangan-kenangan Daigo terhadap ayahnya. Ayahnya meninggalkannya ketika kecil, dan Daigo tidak tahu di mana ayahnya berada. Tapi dia juga tak ingin mencarinya; ia tak pernah memaafkan ayahnya yang menerlantarkannya dan ibunya begitu saja. Daigo sangat benci dan dendam dengan sang ayah.

Cerita semakin menarik ketika Daigo menerima sepucuk surat, yang mengabarkan bahwa ayahnya sakit keras di sebuah rumah. Daigo akhirnya menemui ayahnya. Ketika sampai rumah itu, ayahnya terbaring tak bernyawa. Hidupnya seorang diri. Daigo menangis sejadi-jadinya.

Kemudian, semua keluarga berkumpul di sana. Mereka menyaksikan bagaimana Daigo melakukan prosesi kematian untuk ayahnya sendiri.

***

Film ini layak tonton.

Beberapa pesan kehidupan dari Jepang dapat ditarik dari film itu.

Pertama, tentang citra suatu profesi. Citra suatu profesi sangat penting di Jepang (atau juga negara Asia lainnya). Di Jepang, lelaki lah yang bekerja, sedangkan perempuan tinggal di rumah. Lelaki bekerja dengan pakaian yang nyaris seragam. Media menyebutnya sarariman (dari kata salaryman yang artinya pekerja gajian yang berpakaian jas, kemeja putih, membawa tas). Pekerjaan sarariman harus wajar dan tidak aneh-aneh. Jika aneh,  seberapa besar pun gajinya, maka istri atau keluarga jadi malu.

Kedua, setiap orang dapat dilatih dengan baik tanpa melihat latar belakangnya. Tidak ada itu pintar atau bodoh di Jepang. Yang ada: mau berusaha, mau berlatih, serius dan disipling terhadap suatu pekerjaan. Di Jepang, sudah umum bahwa perusahaan dapat menerima calon pekerja yang latar pendidikannya berbeda dengan profesi yang ditawarkan. Ada semacam keniscayaan dalam firma-firma Jepang bahwa apabila seseorang dilatih dengan baik maka orang itu menjadi sangat mahir dan sempurna dalam menjalankan pekerjaan.

Ketiga, tentang keluarga. Ketika orangtua bercerai, ada semacam kebiasaan bahawa seorang yang mengasuh anak tidak mengharapkan bekas suami/istrinya menemui anaknya. Caranya mungkin dengan merahasiakan keberadaannya, plus menanamkan bibit kebencian kepada bekas suami/istrinya di dalam diri anaknya. Ini membuat psikologi anak-anak terganggu.

Tapi satu hal lagi yang keren dari film adalah soundtracknya yang indah!

LINK FULL MOVIE