Kembalinya Ichiro Ozawa


‘Ozawa telah kembali!’ Demikian suara politik dalam negeri Jepang.

Ichiro Ozawa, 68 tahun, yang sempat ‘lenyap’ tiga bulan dari arena politik, secara resmi mencalonkan diri sebagai ketua Partai Demokratik Jepang (DPJ) minggu lalu. Posisi ketua DPJ ini masih dipegang oleh Naoto Kan, 63 tahun, Perdana Menteri Jepang sekarang.

Pemilihan ketua DPJ yang baru dijadwalkan besok, Selasa 14 September 2010.

Kandidat ketua DPJ 2010: Ichiro Ozawa (kiri) dan Naoto Kan – perdana menteri Jepang sekarang (kanan)

Walaupun pemilihan ini nampak hanyalah urusan internal partai, namun dampaknya dapat mengubah wajah politik Jepang. Artinya, seandainya Ozawa memenangkan pemilihan ini ia tidak hanya akan menjadi ketua DPJ, tetapi secara otomatis dapat menjadi Perdana Menteri Jepang yang baru! Ini karena DPJ memegang suara mayoritas di parlemen Jepang (Diet).

Siapakah Ozawa?

Ozawa dikenal sebagai arsitek politik DPJ. Strategi dan kemampuannya mencari dana membuat DPJ berhasil memenangkan pemilu tahun lalu. Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa lebih dari lima dekade pun takluk.

Kemenangan DPJ itu membuat Yukio Hatoyama diangkat sebagai Perdana Menteri pada September 2009 lalu. Ketika Hatoyama memimpin, Ozawa terus mempengaruhi kebijakan-kebijakan Hatoyama sehingga media Jepang menyebutnya ‘bayangan raja’ (the shogun shadow).

Namun, peran bayangan raja ini tidak berlanjut lagi ketika Naoto Kan menjadi Perdana Menteri sekaligus ketua DPJ bulan Juni lalu. Kan punya grup sendiri di dalam DPJ, dan kelompok ini relatif lebih bersih dibanding kelompok Ozawa.

Maka, agaknya sulit bagi Ozawa untuk mengalahkan Kan dalam perebutan kursi ketua DPJ, walaupun 160 dari 412 anggota DPJ menyatakan masih setia kepada Ozawa.

Kata ‘setia’ ini tidak berarti ketika ada kenyataan berikut:

  • Grup pendukung Ozawa tidak solid. Hanya 70% dari kelompok ini yang akan memilihnya. Delapan persen malah mendukung Kan dan 22% belum dapat memutuskan
  • Banyaknya pemilih yang tidak jelas posisinya (swing voters) di dalam DPJ. Ada sekurangnya 40% dari kelompok Yukio Hatoyama, 50% anggota DPJ yang dulunya anggota Partai Demokratik Sosialis, dan 30% yang dulunya anggota Partai Sosialis Jepang yang belum jelas mau memilih Kan atau Ozawa
  • Dukungan terhadap Kan sangat jelas, terutama dari anggota kabinet, wakil menteri senior, sekretaris parlemen, dan pendukung resmi yang mencapai 70%
  • Jajak pendapat yang dibuat koran Asahi Shimbun terhadap 2,149 responden mencatat bahwa 65% masih mendukung Naoto Kan sebagai Perdana Menteri terutama dalam isu paket stimulus dan pindahnya batalyon tentara Amerika Serikat dari pulau Okinawa

Pernyataan di atas memang hanya berdasar data statistik. Namun integritas Ozawa sendiri memang dipertanyakan oleh penduduk Jepang: kata ‘skandal keuangan’ masih melekat pada nama Ozawa. Skandal 35 juta yen dari sekjennya dulu pernah membuatnya jatuh dari posisi ketua DPJ pada Mei 2009. Skandal 400 juta yen pernah pula membuatnya turun dari posisi sekretaris jenderal pada Juni 2010.

Integritas yang tercemar ini kemudian dapat dibandingkan dengan keunggulan Ozawa:

  • Juru runding ulung dalam DPJ
  • Pandai menggalang dana dari pelbagai sumber
  • Lebih tegas dalam menguraikan gagasannya dibandingkan Naoto Kan atau Yukio Hatoyama, teman sejawatnya dalamDPJ
  • Dalam hal program, ia akan meluluskan kebijakan yang diingkari oleh Hatoyama dan Naoto Kan, yaitu pemberian subsidi anak sebesar 23.000 yen per bulan pada 2012. Selain itu, agar tidak memberatkan keuangan warga Jepang, Ozawa akan menunda kenaikan pajak konsumen sebesar 10% yang diusulkan oleh Perdana Menteri Naoto Kan

Namun apakah kelebihan dan program kerja Ozawa akan membuatnya terpilih sebagai kepala DPJ? Pemilu besoknya lah yang menentukan.

Hari Raya 2010


Sejak merantau tujuh tahun lalu, sholat Idul Fitri dilakukan di tanah seberang, kecuali tahun 2005.

2003 – Singapura (sholat Id di masjid Darussalam Clementi)

2004 – Singapura (sholat Id di masjid Pasir Panjang)

2005 – Jakarta (sholat Id di masjid At-Tin, TMII)

2006 – Singapura (sholat Id di masjid Al-Iman, Bukit Panjang)

2007 – Singapura (sholat Id di masjid KBRI Singapura)

2008 – Singapura (sholat Id di masjid KBRI Singapura)

2009 – Singapura (sholat Id di masjid At-Taqua, Bedok)

2010 – Jepang (sholat Id di Sekolah Republik Indonesia Tokyo)

Danjiki


Di Jepang, hampir semua orang heran kenapa seseorang harus berpuasa. Seseorang tidak lagi makan, minum dan merokok dari sebelum fajar hingga petang selama 30 hari.

Ketika ditanya kenapa tidak makan siang, saya selalu menjawab: ‘danjiki o shite imasu’ yang berarti ‘saya sedang berpuasa’. Namun ini rasanya kurang pas karena danjiki dikenal orang Jepang sebagai  ritual Buddha, bukan Islam. Kata Inggrisnya kemudian harus disusulkan, yaitu fasting. Kemudian sedikit menjelaskan bahwa bulan ini adalah bulan Ramadan.

Bagi orang Jepang yang rajin membaca koran, nonton TV atau sedikit mengenal Islam istilah ‘ramadan’ rasanya akrab. Tapi mereka kemudian bertanya apakah puasa ini tidak berat, dan mengapa melakukan itu? Alasan eskatologis agaknya susah ditangkap karena konsep agama yang paling akrab adalah Shinto, Buddha (atau mungkin Kristianitas).

Saya selalu menjawab: puasa memang berat karena kita tidak diperbolehkan melakukan nafsu-nafsu dasar seperti makan dan minum (untuk tumbuh dan berkembang), seks (untuk reproduksi), juga nafsu-nafsu entropis khas manusia yaitu berbuat buruk , bergosip dan lainnya. Ini aturan teoretisnya. ‘Niat berpuasa’ memegang peranan penting: kalau tidak niat memang jadi haus dan lapar karena aspek kesadaran atas konsekuensi jadi nihil. Puasa juga merupakan bentuk kepatuhan terhadap aturan agama. Dalam bulan puasa, aktivitas rohani biasanya lebih intens dari bulan-bulan biasa karena ada reward lebih dari Tuhan (misal: ibadah di bulan Ramadan = ibadah di 1000 bulan yang lain). Ada juga aktivitas sosial seperti pemberian zakat yang jumlah minimumnya telah ditentukan. Tujuan akhirnya adalah kemurnian rohani dan jasmani.

Nilai ‘kemurnian jasmani dan rohani’ inilah yang sebenarnya beririsan makna dengan kata ‘danjiki’ di Jepang, atau dalam tradisi agama Buddha. Namun, istilah danjiki mengalami pergesaran makna belakangan ini: danjiki menggantikan kata diet. Artinya, orang Jepang menyebut danjiki sebagai jalan menuju langsing. Padahal dulunya danjiki hanya dilakukan biksu untuk menjalani asketisme.

Kaori Shoji pernah mengulas danjiki dalam The Japan Journal edisi Desember 2004. Dia menulis bahwa beberapa tahun silam danjiki dojo atau perguruan puasa cukup populer di Jepun. Dojo ini melatih tiga aspek, iaitu

  • Peningkatan naluri dan kreativitas
  • Penyempurnaan sistem tubuh
  • Peningkatan produktivitas

Danjiki ini berat karena ia bukan bagian dari hidup dan keyakinan. Oleh karena itu, fasilitas dalam danjiki dojo ada yang dibuat mewah, mirip vila di pegunungan. Di sana ada kamar untuk relaksasi, pijat, aroma terapi dan pemutaran film. Tamu dojo diberi satu gelas jus sayur organik dalam satu hari. Untuk tiga hari terakhir, tamu diijinkan makan bubur beras merah.

Tak heran jika biaya masuk danjiki dojo ini dapat mencapai 350,000 yen (Rp 35 juta) untuk sepuluh hari. Karena mahal, mereka yang punya duit saja yang mampu membayar, misalnya pemusik terkenal Jepang, Ryuichi Sakamoto, dan penulis novel, Mariko Hayashi.

Ada pula danjiki dojo yang lebih sederhana, misalnya Shinshin Yojoen di wilayah Shizuoka. Shinshin Yojoen mirip dengan ryokan (hotel tradisional Jepang) yang kamarnya beralaskan tatami. Shinshin melihat danjiki sebagai terapi oriental. Di sana tamu harus membayar 48,000 yen (Rp 4.8 juta) untuk pelatihan danjiki dua malam.

Di dojo lain, seperti Seiyouin Danjiki Ryouyojyo, biayanya lebih murah. Tamu ‘hanya’ membayar 52,500 yen (Rp 5.25 juta) untuk tujuh hari. Danjiki dojo ini dikabarkan dapat menyembuhkan seorang wanita dari penyakit bulimia nervosa (memuntahkan kembali makanannya supaya kurus). Setelah mengikuti danjiki selama satu bulan, dia pun memperoleh pencerahan jiwa.

Danjiki ini memang mahal. Namun, aktivitas ini dilihat orang Jepang sebagai aktivitas penuh manfaat. Ada seorang kawan yang mengatakan bahwa puasa seperti ini cukup baik untuk tubuh. Orang belajar memilih makanannya dan mengatur jadwalnya (ada disiplin dalam ritual puasa).

Perspektif ini tentu menyadarkan kita bahwa ketika bulan puasa telah usai, aspek asketisme tidak boleh lepas lagi. Pesannya yang pragmatis (meski agak cliche): pengendalian diri dan disiplin.

*Kolom ‘Email dari Tokyo’, Berita Harian Singapore, 6 Sep 2010