Catatan Tahun 2006: Pluralisme Sudah Mati?


Di Manhattan ataupun di Orchard Road yang dinamis, etnis yang plural adalah keniscayaan. Di sela-sela ‘yang plural’ itu tergores ‘perbedaan’. Untuk sedikit mereduksi perbedaan ini kata ‘integrasi’ diperkenalkan. Integrasi etnis memberikan pencerahan bagi sebagian orang: menjawab pertanyaan sekuensial yang positif di mana pengetahuan suatu budaya, bahasa, adat menjadi bertambah. Namun, ada prasyarat yang mahal di sela-selanya: menjadikannya diskursus yang memperkaya, bukan mempertajam stereotip.

Kadang, yang terjadi di Singapura adalah yang sebaliknya. Integrasi dipecah dan dibongkar dengan pertanyaan lumrah seperti “Termasuk etnis apakah kamu?”. Di sini, hal itu adalah keseharian yang tak mengenal strata. Di sini pertanyaan itu begitu murah sehingga pada kopi sore pun pertanyaan ini dilontarkan. Di titik ini ‘integrasi’ etnik menjadi artifisial. Tak ada formula konvensional untuk mengubahnya menjadi alamiah. Dan, massa tak pernah mudah menerima perubahan itu meski jargon ‘integrasi’ diberikan. Hasil dari integrasi artifisial ini adalah segregasi. Ada garis tegas antaretnik di sana. Bahasa, dalam hal ini, adalah salah satu faktor yang mempertebal garis ini. Akibatnya, yang mayoritas itu “menindas” dalam diam, dan yang minoritas “tertindas” dan tetap diam.

Saya barangkali terlalu naif: tak pernah sadar bahwa pertanyaan ini juga hinggap di negeri di mana dominansi suatu etnik adalah kondisi yang statik. Tapi, tetap saja, saya tak pernah menyukai segregasi. Integrasi memang utopia, tapi setidaknya segregasi tak perlu dipertajam dengan pertanyaan etnikal. Apa yang engkau impikan Singapura, jika segregasi diumbar dalam sebuah percakapan di kopi sore?

Hanya ketika bertemu dengan anak kecil saja saya tak ditanya hal semacam itu. Anak kecil, meski infantil dan lugu, memiliki keluwesan yang tak artifisial. Anak kecil tak mengenal segregasi: yang ada adalah kesenangan temporer dan melihat pluralisme bukan sebuah problematika. Oleh sebab itu, beberapa tahun belakangan saya menyukai kehidupan makhluk itu – untuk sekedar membersihkan diri dari purbasangka.

***

Bagaimana cara mahal untuk mereduksi suatu etnis dengan despotik? Tanyakan kepada Hitler: membinasakan beberapa generasi dengan proyektil dan kamar gas, seperti yang ia lakukan di Jerman, Polandia dan Rusia. Metode ini menghabiskan devisa ketika peralatan militer yang masif adalah piranti wajib.

Bagaimana cara murah untuk mereduksi suatu etnis tanpa bersikap (terang-terangan) despotik? Tanyakan kepada otoritas imigrasi Singapura: meski menurut hukum yang berlaku seseorang berhak menjadi warga negaranya, dengan sengaja, kewarganegaraan seseorang diubah menjadi non-Singapura ketika lahir. Ada paradoks di sini: di sebuah negeri di mana hukum sangat ditaati dengan mudah dilanggar oleh pengusung hukumnya sendiri.

Ketika kasus tersebut dipersengketakan, bayi kawan saya selamat: dia kemudian memperoleh haknya kembali ketika pihak imigrasi mengetik ulang status kewarganegaraannya. Yang membuat saya kagum adalah: strategi murah untuk mereduksi itu ternyata dapat diselesaikan secara efisien dalam hitungan jam. Tetapi saya diam, kawan saya pun diam. Tak ada yang lucu dari percobaan “pembunuhan” kewarganegaraan itu.

Pertumbuhan etnis minoritas yang direduksi dengan diversi status kewarganegaraan adalah preseden buruk bagi negeri yang menyatakan dirinya multi-etnis dan (katanya) tak-rasis. Di negeri yang (katanya) tak-rasis ini, etnis minoritas ternyata masih jadi mainan.