Bandung adalah ibukota propinsi Jawa Barat di mana saya tinggal selama 6 tahun sejak 1997. Udara yang segar adalah satu alasan terbesar kenapa saya tinggal di kota ini; alasan lain adalah universitas dan keindahan (woman-related, deh hehe). Alasan pertama (udara segar) hilang mendadak tahun 2000 karena berton-ton mobil merangsek di jalanan (macet jadi pemandangan utama sejak saat itu). Alasan kedua (ITB), telah mengajarkan makna kebebasan berpikir, esensi kerja kerjas, kerangka berpikir yang subtil dan perkuliahan yang menarik. Untuk alasan ketiga (cewek), saya benar-benar seorang pecundang: meski kota ini menyaksikan saya berjalan dengan beberapa cewek, tapi saya tak menemukan cinta sejati di sini.
Bagi saya, Bandung mengajarkan banyak hal, kecuali bahasa Sunda. Lidah saya terlampau tebal hingga kata-kata Sunda jadi terdengar medhok. Padahal saya sudah sekian lama terekspos obrolan Sunda yang bersemangat atau percakapan yang buruk di Minggu pagi–tepat di sudut Simpang Dago. Sejumlah teman mengajari beberapa kata Sunda namun berakhir dengan frustrasi yang mengagumkan karena lidah jadi terpelintir mirip gorden yang jelek. Lidah Jawa saya terdistorsi oleh bahasa ini, begitu juga sebaliknya. Namun saya tak menyerah. Setiap kali bertemu teman Sunda, yang biasanya saya kenali dari nada bicara dan kulitnya, saya selalu meminta mereka berbahasa Sunda. Sungguh lucu sekali keadaan itu: satu orang berbicara bahasa asing, orang yang lain terlihat blo’on. Pada akhirnya, kesimpulannya sudah jelas: selama 6 tahun, saya adalah murid paling bodoh dalam bahasa Sunda. Oh, saya ingat alasan mengapa saya tidak mampu menguasai bahasa Sunda: tidak ada “motivasi kuat” dalam mempelajarinya. Anda tentu tahu: … seorang pacar Sunda.
Pada 2000, di kos-kosan — di tengah tumpukan rumah-rumah di daerah Cisitu Lama, saya membaca kisah Karl Marx. Meski agak terlambat untuk membaca kisahnya, Marx telah membuat saya terkagum-kagum dengan karya-karya yang menggoncang 10 miliar manusia.
Marx memperkenalkan teori-teori ekonomi yang dideskripsikan sebagai lawan teori ekonomi Adam Smith. Teori-teori ini dijabarkan dalam bukunya Das Kapital jilid I, II dan III.
Tulisan Marx kurang enak dibaca dan kurang tersusun baik. Seorang sahabatnya, Friedrich Engels, pengusaha sukses, mencoba “memperbaiki” bahasa Marx sehingga teorinya lebih mudah dimengerti. Das Kapital II dan Das Kapital III belum begitu lengkap dan memerlukan pembacanya menguasai ekonomi politik secara komprehensif; itu sebabnya jilid II dan III tidak begitu terkenal.
Saya membaca Das Kapital selama berhari-hari. Tapi berakhir dengan kekecewaan: itulah saatnya saya menyadari bahwa saya bukanlah “orang ekonomi”. Namun demikian, dari beberapa buku, saya merangkum hasil bacaan ke dalam esai biografi yang panjang tentang Marx. Sungguh menyenangkan untuk mencatat isi buku-buku yang telah kita baca sehingga suatu saat kita jadi ingat mengenai apa-apa yang pernah kita lakukan selama masa kuliah. Teman baik saya, Rully Darmawan (seorang yang pendiam, baik hati, lucu dan tukang gambar berbakat) menyertakan hasil gambarnya di dalam esai itu: wajah Marx terpasang di awal esai, dan saya menuliskan kutipan Marx di bawahnya.
“Yang aku tahu bahwa aku bukanlah seorang Marxist”
Karl Marx (1818 – 1883)
***
Bandung: saya akan kembali lagi ke kota ini setiap tahun, untuk sekedar santai di kafe yang bagus, menikmati wajah-wajah muda yang menyegarkan, meng-update fashion yang tengah berproses, untuk mengenang sopir-sopir angkot yang sembrono dan mencoba MAKANAN baru! Terima kasih Bandung di mana kutemukan banyak sekali teman baik, guru-guru yang mengagumkan, perempuan cantik dan menarik, ratusan buku, struktur komposit dan metode elemen hingga (untuk dua yang terakhir, lupakan saja — bukan hal yang serius he he he).