Jean Taylor dari Universitas Cornell menerjemahkan tulisan Raden Ajeng Kartini yang termasyhur, Didiklah Orang Jawa!. Judul aslinya adalah Geef den Javaan Opvoeding!. Tulisan itu adalah sambutan yang disampaikan RA Kartini kepada pemerintah Belanda pada Januari 1903. Tulisan Kartini memang bernafas primordialistik atau punya semangat kesukuan yang kuat. Hal ini dimaklumi karena Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang memicu lahirnya persatuan Indonesia belum lahir. Tapi tulisan ini berangkat dari domain yang paling sederhana: suku sendiri. Pesannya boleh jadi epidemik karena suku lain akan teragitasi untuk meminta pembaharuan yang sama. Misalnya, Didiklah Orang Minang! Didiklah Orang Irian! Dan, lainnya. Hari ini, konteksnya berubah. Kita tidak lagi punya Belanda sebagai tempat ‘mengemis’ pendidikan. Kita tidak hanya punya Jawa yang perlu pendidikan.
Indonesia masuk G20, atau Group of Twenty. Kelompok ini merupakan jawaban atas krisis ekonomi Asia pada 1997. G20 berisi 20 negara-negara maju dan berkembang yang ekonominya mampu menstabilkan dunia. Di Asia Tenggara, hanya Indonesia yang masuk G20. Ekonomi Indonesia boleh dikatakan yang terbesar di kawasan regional, tapi ini semata karena populasi dan kekayaan alam yang berlimpah. Orang hanya berhitung, tapi tidak melihat kenyataan bahwa rata-rata orang Indonesia masih bertahan hidup, belum menikmati dan meningkatkan kualitas hidup. Masuknya Indonesia ke dalam G20 boleh menjadi kebanggaan, tapi ini semu karena Indonesia hanya diperas oleh negara maju lainnya. Indonesia merupakan studi kasus demokrasi yang unik: Indonesia menjadi parameter berhasil atau gagalnya demokrasi di sebuah negara yang mayoritas Muslim, yang wilayahnya sporadik, yang menjadikan televisi tempat belajar. Jika Kartini hidup di jaman sekarang, ia barangkali mengatakan: Didiklah Negara Maju! Atau, jika Bung Karno masih hidup, ia akan berkata: Persetan G20! Karena yang terpenting adalah bangsa Indonesia sendiri, bukan bangsa lain.
Salah satu kekayaan Indonesia adalah sejarah dan budaya. Tapi dokumentasi yang baik mengenai sejarah Indonesia biasanya dilakukan di luar negeri. Di Universitas Cornell, misalnya. Jane Taylor menerjemahkan tulisan itu dan mempublikasikannya secara gratis lewat website Cornell (www.cip.cornell.edu/Indonesia). Di sana kita dapat menemukan sejarah Indonesia yang lengkap. Mulai dari tulisan Kartini, Soekarno, Pramudya Ananta Toer, dan artikel-artikel etnografi yang menarik tentang Indonesia. Bahkan, ada artikel yang menuliskan mengapa Musso pulang ke Indonesia setelah berpuluh tahun hidup di Rusia.
Mengapa Barat rajin menuliskan Indonesia? Mengutip Benjamin Disraeli: karena “Dunia timur menjanjikan karir”. Karena “Mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka harus diwakili (oleh Barat)”.
Selamat membaca Didiklah Orang Jawa! (PDF).