Jazz, Jakarta dan Trisum


Pada 1997, dalam sebuah mobil yang stasioner di tepi parkiran, saya mendengarkan jazz mainstream. Telinga saya tak bisa menelannya karena terbiasa dengan jazz fusion yang mudah dan enak dicerna. Lalu di belakang setir, seorang kawan yang seniman bilang: “Jazz berasal dari suatu yang papa. Yang melarat dan kumuh. Di New Orleans. Di tengah orang-orang hitam. Jazz pada mulanya adalah representasi kemiskinan.” Sejenak saya berpikir: kini, jazz dengan evolusi dan asimilasi musikal berakhir di sebuah klub yang nyaman dan telinga yang elit. Jazz tak lagi papa, tak lagi miskin, dan jazz memilih pendengar.

Ketika kecil, saya selalu memimpikan pergi ke Jakarta: untuk menyaksikan Monas, bermain di Dunia Fantasi dan melihat hiruk pikuk ibukota yang gemerlap. Tahun 1999 saya jadi akrab dengan Jakarta. Impian saya larut dalam acaknya lalu lintas, tebalnya karbon monoksida, budaya desa dalam sebuah kota, mozaik miskin dan kaya, ketidakteraturan dalam pola yang rutin. Tapi saya mulai bisa menikmati jazz mainstream ketika itu. Mungkin jazz adalah representasi Jakarta: chaos dalam ritme yang konstan. Saya tak membenci Jakarta meski impian masa kecil tinggal utopia belaka.

Tahun 1999 itu saya juga menyaksikan 7 pendekar gitar (jazz) bermain bersama. Dua di antaranya masih muda: Dewa Budjana dan Tohpati. Lalu saya jadi pesimis: lima senior mungkin bakal gantung gitar segera, dan gitaris jazz yang masih muda “dituntut” meramaikan negeri ini. Agak lama saya menunggu “keramaian” jazz muncul kembali. Penantian saya terjawab: ada TRISUM, yang terdiri dari Dewa Budjana, Tohpati dan Balawan. Saya tak lagi pesimis.

Dengan gaya kalem, Budjana mengidap dualisme: komersial dan idealis. Isme yang pertama adalah masalah popularitas dan cashflow, sedang isme kedua adalah masalah integritas. Budjana bagi saya adalah gitaris jazz yang mampu menciptakan komposisi harmonis, etnikal, dan kerap menyuguhkan suasana magis dalam instrumentalnya. Tohpati bagi saya adalah gitaris jazz dengan nada unik yang terdengar out of tune namun berhasil membentuk komposisi a la Mike Stern dan Pat Metheny. Balawan bagi saya adalah seorang rendah hati yang keterampilan tappingnya sulit ditandingi gitaris jazz lainnya: Balawan berhasil memainkan komposisi jazz dan blues dalam tepukan jari yang lincah dan cepat, lalu mengentaskan musik Bali dari ekslusivitas budaya. Jazz dihidupkan oleh mereka bertiga, dalam atraksi gitar yang mengagumkan. Kemudian, dari Jakarta dan Bali, jazz segera mengalir ke pelbagai pelosok Indonesia.

Jazz kini mengakrabi pendengar, melintasi batas mozaik budaya yang ulet dan getas, kemudian menyelinap di iPod, televisi dan radio. Jazz, pada akhirnya, mungkin tak lagi representasi Jakarta, melainkan lokus hidup yang universal, di Indonesia …