Jawa dan Jepang


Pada 2004, artikel Prof. Ann Kumar (Visiting Fellow di Australian National University) terbit sebagai newsletter di International Institute of Asian Studies IIAS #34 yang berbasis di Leiden. Artikelnya berjudul Japan’s Javanese Connection. Artikelnya dapat diunduh di sini >> PDF. Artikel pendek ini lahir di sela-sela tulisan yang lebih panjang. Misalnya:

Intinya, sebenarnya ada hubungan yang cukup dekat antara Jepang dan Jawa.

Hubungan tersebut bukan terbangun sejak Perang Dunia II, tapi sejak 2000 tahun silam. Antara 300 SM – 300 M, mendadak masyarakat Jepang purba (periode Yayoi) menjadi pandai bercocok tanam, pandai membuat peralatan dari logam, mempunyai struktur sosial dan punya agama yang terpusat. Kumar menyebutnya a revolutionary transformation, sebuah perubahan yang revolusioner. Kumar berpendapat bahwa perubahan ini tidak berasal dari dalam Jepang, tapi dari hasil mengimpor budaya dari luar, khususnya Jawa. Keris Jawa dan pedang Jepang pada jaman purba itu dikatakan mirip, meskipun agak meragukan juga karena artifak keris Jawa pada periode itu dapat dikatakan sulit dicari.

Tapi ada pula fakta sejarah lain yang dianalisis dengan strategi consilience of induction (induksi pertepatan). Strategi ini secara sederhana mengatakan bahwa seseorang mengumpulkan bukti-bukti dari berbagai sumber yang tidak saling berhubungan tetapi kemudian jika disatukan memberikan kesimpulan yang sama. Charles Darwin pernah menggunakan strategi kesejarahan semacam ini.

Fakta-fakta sejarah lain yang menarik adalah:

  1. Beras Jawa (javanica) punya kekerabatan paling dekat dengan beras Jepang (japonica)
  2. Mitos mengenai sosok Dewi Sri juga dikenal dalam mitologi Jepang
  3. Cerita Panji jaman Majapahit dan Genji Monogatari (Hikayat Genji) abad 17 mempunya kemiripan jalan cerita
  4. Agama Shinto di Jepang memiliki nilai-nilai yang mirip dengan Kejawen
  5. DNA mitokondria orang Jepang dan orang Jawa memiliki kesamaan dalam hal lokasi d-loop (simpul ‘d’)
  6. Bahasa Jepang kuno sebagian meminjam dari Jawa kuno. Misal: matur dalam bahasa Jawa berarti mempersembahkan atau mengatakan sesuatu kepada yang lebih dihormati; di Jepang kuno, artinya juga mirip. Selain itu, kata sosok (dituang) dan tutup yang artinya dalam Jepang kuno juga mirip.

konde-jawa

Pada 1990, buku Dr John Miksic (National University of Singapore), Marcello Tranchini berjudul Borobudur: Golden Tales of the Buddha meledak di pasaran. Buku ini muncul beberapa tahun setelah bom diledakkan di Borobudur pada 1985, dan jauh setelah Dr R. Soekmono melaporkan ke UNESCO mengenai keberhasilan pemugarannya dalam buku Chandi Borobudur (1976). Dari buku John Miksic, ada sebuah cerita yang menarik tentang catatan-catatan Yijing, seorang rahib Buddha dari Tiongkok.

Pada abad ke-7, Yijing datang ke Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan pada tahun 671, dan belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan. Ia kemudian berlayar dengan kapal kerajaan Sriwijaya ke India, dan tinggal di India selama 15 tahun. Setelah itu, ia kembali ke Sriwijaya lagi dan tinggal selama 5 tahun. Agama Buddha berkembang pesat di Kerajaan Sriwijaya, sehingga banyak rahib Tionghoa datang ke sana. Ada seorang guru Buddhisme dari India yang terkenal bernama Vajrabodhi. Vajrabodhi awalnya tinggal di Kerajaan Sriwijaya, tapi kemudian pergi ke Jawa dan mempunyai banyak murid, di antaranya Amoghavajra dari Sri Lanka. Mereka berdua (mungkin juga didampingi rahib lain) kembali ke China hingga Vajrabodhi meninggal di sana pada tahun 741. Amoghavajra kemudian pergi ke Jawa untuk mengambil beberapa kitab untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Setelah meninggal, ajaran-ajarannya di Tiongkok lalu diteruskan oleh muridnya bernama Huiguo. Huiguo mempunyai dua murid yang cukup termasyhur. Yang satu bernama Bianhung dari Jawa, yang satunya bernama Kobo Daishi dari Jepang. Dua rahib ini mempunya nilai-nilai yang sama dalam beragama. Kobo Daishi akhirnya kembali ke Jepang dan membuat suatu sekte Buddha tertua di Jepang bernama Buddhisme Shingon atau Shingon-shu. Menarik untuk dipelajari apakah berawal dari Buddhisme ini ada pula nilai-nilai/etika Jawa dan Jepang yang punya kemiripan satu sama lain?