Cerita Musik SeDikit


Bondowoso, 1986. Ayah saya membelikan sebuah organ (electone) buat anak-anaknya. Merknya Yamaha Electone FE-60 (buatan tahun 1984). Ketika itu anak-anaknya tak ada yang bisa bermain musik (asumsinya anak-anak pasti tertarik meski bakat musik barangkali tidak ada). Jadi, instrumen musik ini awalnya adalah fasilitas bermusik tanpa pengguna. Kami tinggal di pegunungan; jadi bisa dibayangkan betapa gumun-nya kami ketika melihat instrumen ini. Ndeso. Kami lihat banyak sekali tombolnya, lebih canggih dari piano. Di deretan tuts, yang mana yang “DO” juga gak ada yang tahu.

Lalu ayah saya menyuruh kami les organ. Gurunya bernama Surya Adi, yang kebetulan guru di Yamaha Jember. Pak Adi bekerja sebagai PNS di Pemda Bondowoso. Kerja sampingannya ya mengajar musik. Yang rajin les cuma saya dan kakak saya. Tapi kakak saya lebih canggih: dia duluan bisa baca not balok dan bermain lagu-lagu yang lebih rumit. Saya sukanya not angka. Jadi ketika itu tahunya ya angka saja. Simbol-simbol not balok gak ada yang ngerti. Lagu-lagu yang saya mainkan ya lagu anak-anak. Tapi ketika album Chrisye, Vina Panduwinata dan Fariz RM meledak, saya minta Pak Adi mengajarkan lagu-lagu mereka. Alhasil, karena rajin belajar musik, bermainnya lumayan lancar dan sering manggung (halah – di perpisahan kelas, di acara 17 Agustusan, pameran pembangunan dll). Ketika itu saya masih 8 tahun. Saya berhenti belajar organ ketika umur 12 tahun. Maklum, sibuk Ebtanas (halah).

Band di Bondowoso bisa dihitung jari. Mereka rata-rata bermain heavy metal, rock dan dangdut. Itu era 80an, ketika classic rock masih beken. Kini mungkin berubah. Atau tetap?

Jember, 1992. Saya pindah ke Jember ketika naik kelas 3 SMP. Seorang kawan ada yang pandai bermain gitar. Dari dia saya belajar bermain gitar. Lagu pertamanya: Don’t Cry (Guns N Roses). Yah gampang pokoknya. Chord-nya cuma 4. Mulai belajar yaitu bulan November 1992. Tahun 1993, ketika mau masuk SMA (Juli 1993), saya dibelikan sebuah gitar. Kali ini, instrumen datangnya belakangan, nunggu anaknya bisa dulu baru beli gitar. Saat itu saya mendirikan sebuah kelompok akustik. Namanya jorok: Deepshit – (alias “in trouble”). Deepshit sempat manggung di dua SMP. Bubar waktu masuk SMA.

Stop press: saya pernah ngamen semalaman di dekat kampus UNEJ bersama seorang kawan. Lumayan, malam itu kami mengantongi 3000 rupiah. Selepas ngamen, malam minggu pukul 10an itu kami panggil kawan lain untuk makan pisan goreng dan minum jahe di Jalan Jawa. Langsung ludes duitnya.

Karena masih ingin bermusik, saya membentuk band sendiri waktu SMA. Personil-personilnya tak saling mengenal. Karena saya pegang keyboard, maka saya mencari vokalis, drum, bass, gitar. Dapat 5 orang (termasuk backing vocal). Kami namakan Springfield (terilhami kota The Simpsons). Waktu itu, di SMA kami sudah ada beberapa band yang bagus, seperti Timbo Blues dan Gypsy. Kami hanya mengikuti mereka saja, dengan musik dominan rock. Manggungnya paling di acara sekolah atau ikut festival/kompetisi. Festival terakhir yang kami ikuti adalah tahun 1995 di Gedung Soetardjo kampus UNEJ. Ketika itu ada acara inaugurasi mahasiswa FISIP; mereka mengundang band-band lokal, ada sekitar 9 band, untuk tampil di sana. Seleksinya ketat. Tapi untung juga kami bisa masuk.

Pada saat SMA inilah, seorang kawan yang baik mengajak ke rumahnya setiap pagi supaya saya belajar piano di rumahnya. Dia sendiri tidak bisa main; yang bisa main adalah adik-adiknya. Nah, berkat piano pinjaman ini, saya lumayan aktif memainkan 10 jari di tuts piano. Tidak canggih banget, tapi cukup buat mengiringi paduan suara dan main band dengan lagu-lagu yang agak rumit.

Jember banyak sekali punya musisi atau seniman, dan mereka segera hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Mereka yang berhasil di antaranya, Anang, Dody (Kahitna, bass), Opick dan Sudjiwo Tedjo. Sebelumnya, Jack Lesmana (ayah Indra Lesmana) juga termasuk orang Jember yang berhasil hidup dari musik. Tapi tentu mereka semua punya bakat yang bagus, kerja keras, daya juang tinggi, tabah dan hoki. Banyak juga yang mengikuti jejak-jejak mereka, tapi sedikit yang berhasil.

Bermain musik di Indonesia ternyata susah juga. Terlalu banyak bakat, dan persaingan jadi ketat.

Bandung, 1997. Di Bandung, saya hanya ingin kuliah saja. Tidak bermusik. Ternyata keinginan ini tercapai dan bikin garing kehidupan! Tidak punya band, tidak punya kelompok yang diajak hang-out ngobrolin musik. Meski ada juga yang mengajak main, tapi tetap tidak nyambung. Padahal Bandung kan gudangnya musisi handal. Alhasil, saya belajar musik sendiri di kos-kosan. Pendengarnya paling ya kawan-kawan sendiri. Musik yang dimainkan ya yang smooth jazz seperti punya Lee Ritenour, atau musik Tohpati, Dewa Budjana, Dewa, dan The Groove. Lumayan buat hiburan waktu malam minggu.

Ketika di Bandung, seseorang yang tidak ngerti musik biasanya jadi lumayan melek musik karena atmosfer Bandung ini sangat nyeni. Konser-konser sering diadakan di Bandung. Band-band bagus asalnya di Bandung. Sekolah musik atau guru musik yang bagus juga ada di Bandung. Pokoknya kalau sudah pernah hidup di Bandung, dijamin bakat musiknya makin meningkat, dan selera musiknya tidak lagi selera pedesaan (pinjam istilah adik saya nih … hehe).

Singapura, 2003. Saya membeli gitar patungan dengan teman kuliah. Saat ini gitarnya masih di saya. Dan dia sudah pindah entah ke mana (sepertinya di AS). Jadi, saya masih berhutang. Gitar ini yang biasa dipakai menemani acara “meeting” setiap malam di Pasir Panjang. Nyanyi gak jelas, yang penting asyik! Tahun 2006, saya kecanduan musiknya Balawan. Jadi ada beberapa lagu yang saya belajar. Waduh, susah sekali karena terlalu cepat. Tapi ada juga lagu yang sudah dikuasai (meski sekarang lupa lagi! jia lat …). Di Singapura, saya berkenalan dengan seorang mantan finalis Anugerah (sebuah kontes nyanyi untuk etnis Melayu). Dia lalu mengajak main musik di kafe, lalu manggung di acara lokal. Setelah itu tidak ada job lagi. Susah kalau mau hidup dari musik di Singapura, kecuali kita pemain musik klasik dan bisa mengajar musik di institusi.

Di Singapura, musik agak susah berkembang. Pasarnya terlalu kecil. Kalau ingin punya pasar yang besar, orang Singapura nyanyi aja  dalam bahasa Indonesia, bikin lagu yang tidak bercengkok Melayu, agak jazzy, liriknya tentang cinta, dan kerja sama dengan musisi Indonesia. Dijamin meledak.

***

Musik ini memerlukan darah seni. Darah seni ini ada di setiap manusia. Tinggal digali dan diminati. Kerja keras untuk menguasai satu bidang seni. Pakai standard yang tinggi, supaya kalau jatuh, setidaknya masih tetap bagus (istilah: shoot for the moon! if you miss it, at least you will still be among the stars). Tetapi kita harus jujur terhadap diri sendiri: kalau bakatnya terbatas, sebaiknya tidak berkarir di musik. Jadilah pemain musik rumahan saja. Guru yang bagus juga menentukan keberhasilan kita. Pada akhirnya, kita harus berhasil mengalahkan teknik bermain guru kita (atau kreativitas kita lebih baik). Itu baru namanya guru (dan murid) yang berhasil 🙂

Bingung mau posting apa … jadi nulis sak enake ae …. hehe personal sekali.

Lebaran


Tahun ini sepertinya lebaran di Singapura (lagi). Setelah diingat-ingat …

  • Tahun 2003 sholat Ied di masjid Darussalam wilayah Clementi
  • Tahun 2004, sholat Ied di masjid kecil di Pasir Panjang
  • Tahun 2005, sholat Ied di masjid At-Tin, Jakarta
  • Tahun 2006, sholat Ied di masjid Al Iman, Bukit Panjang
  • Tahun 2007, juga sholat Ied di Al Iman, Bukit Panjang.

Tahun 2008?

Tetap di Singapura 🙂

Dekapitasi


Imam Samudra, Ali Ghufron (alias Mukhlas) dan smiling bomber, Amrozi, akan dipidana mati segera. Yang menarik, mereka meminta dipancung dan disiarkan secara luas di media. Dekapitasi, atau pancung ini, menurut mereka sesuai dengan ajaran Islam. Di dalam Quran? Entahlah. Tapi Ahmad Taufik dalam opininya di TEMPO Interaktif menyebut ini lucu. Alasannya ini: jika mau dihukum pancung, seharusnya mereka melakukan perbuatan itu di Arab Saudi, atau di tempat-tempat yang memberlakukan hukum pancung atas kejahatan seperti itu.

Islami = Arab Saudi? Minta dipancung untuk orang yang didakwa mati = lucu?

Saya rasa tidak ada yang lucu untuk kasus ini. Bahkan sejak awal pengeboman itu terjadi di Bali 12 Oktober 2002, dunia tidak tertawa. Lima tahun kemudian, ketika tiga serangkai itu akan dihukum mati, dunia tidak tertawa, tapi barangkali puas dengan mati-dibalas-mati.

Barangkali sudah kuno untuk menyatakan bahwa yang Islami itu yang Arab Saudi. Hari ini, Islam sudah bertransformasi dalam bentuk yang belum tentu Arab, belum tentu bergamis dan jilbab, belum tentu berbahasa Arab, belum tentu dipimpin raja, dan bahkan, Islam sendiri merupakan keseharian yang (saking keterlaluannya) jadi komoditi politik dan perbankan. Islam masa kini memang unik, jika dibandingkan abad ke-7 di Arab atau jaman Renaissance abad-12. Pemeluknya pun beragam, dari yang ortodoks hingga yang liberal. Jadi model berdoanya pun juga beragam. Doa, atau harapan, ini jadi lebih unik menjelang mati. Proses matipun, bila boleh, kita sendiri yang menentukan. Di sini ada esensi kebebasan dalam menuju mati.

Dengar-dengar (pas jaman kuliah), hukuman mati paling cepat adalah dengan cara dipancung. Orang hanya perlu kurang dari 5 detik untuk tak sadar, atau barangkali instan. Tidak ada yang tahu kecepatannya. Dokter hanya tahu gejala dari raut muka yang dipancung. Seperti halnya, Dokter Beaurieux yang meneliti proses kematian Henri Languille ketika Languille dipancung di Perancis tahun 1905:

… kelopak mata dan bibir orang yang dipancung berkontraksi dengan ritme yang berubah-ubah dalam waktu 5 – 6 detik. Hal ini juga dibenarkan oleh mereka yang pernah meneliti kematian hasil pancung, ketika kepala terlepas dari badan.

Saya menunggu beberapa detik. Gerakan spasmodik berhenti. Lalu saya berteriak lantang memanggil namanya: “Languille!”. Saya melihat kelopaknya terangkat, tanpa kontraksi spasmodik, dengan normal, seperti juga yang dialami oleh orang bangun tidur atau lepas dari lamunan.

Mata Languille menatap tajam ke dalam mataku dan pupilnya terfokus…Setelah beberapa detik, kelopaknya tertutup lagi.

Kemudian, saya berteriak memanggilnya lagi. Perlahan kelopaknya terbuka lagi, dan matanya menatap saya dengan lebih tajam. Kemudian kelopaknya setengah tertutup.

Untuk ketiga kalinya saya memanggil namanya … tidak ada gerakan – matanya kosong, seperti orang yang mati total.

Ada komentar? Saya membisu.

Lanjut. Total barangkali 10 detik orang bisa mati total dengan pancung. Cepat sekali. Tidak perlu menderita lama-lama setelah dekapitasi.

Singapura paling rajin menggantung orang, apalagi untuk yang bawa obat bius atau kokain. Banyak aktivis pro-kehidupan yang protes, tapi ya tidak digubris karena keputusan itu berdasarkan analisis risiko yang kuat (mungkin), dan fakta sejarah (jaman impor candu dari Tiongkok?).

Indonesia menggunakan hukum tembak. Lima orang penembak di mana hanya satu senapan yang diisi peluru bener, lainnya peluru kosong. Jadi penembak tidak tahu apakah pelurunyalah yang mengenai pesakitan. Yang mereka tahu: hari itu mereka telah mengeksekusi seseorang. Yang tahu siapa yang sebenarnya menembak adalah yang ngisi peluru dong …

Saya cuma setuju dengan judul artikel AT di atas: “Selamat Jalan Para Mujahid”. Apa mereka masuk surga? Apa masuk neraka? Yo gusti allah sing nentukno

*Artikel di atas kok mirip kuliah Subuh yo ….