Film The Social Network memenangkan Golden Globe Awards sebagai film terbaik pada 16 Januari 2011. Film ini mengangkat kisah Mark Zuckerberg, pendiri jejaring sosial Facebook. Film ini juga memenangkan penghargaan untuk Sutradara Terbaik, Skenario Terbaik dan Skor Asli Terbaik. Aspek sinematografi dan jalan ceritanya memang menarik. Dan, momentum kemunculannya pas sekali: ia hadir ketika Facebook ada di puncak popularitas.
Pada prinsipnya Facebook mirip dengan jejaring sosial lainnya: Friendster atau MySpace. Ketiganya hanya dimungkinkan jika kita mempunyai komputer yang terhubung dengan internet. Ketika Facebook dapat diakses dari telepon pintar (telpin?), misalnya Blackberry, popularitasnya semakin naik.
Dengan memiliki akun Facebook, kita bisa menampilkan identitas, foto-foto dan mengirimkan pesan. Facebook juga menyambung tali perkawanan yang telah lama ‘hilang’. Facebook juga digunakan untuk bermain game, memantau dan mengomentari status, mengikuti perkembangan informasi dan memfasilitasi curahan hati (terutama bagi mereka yang kurang artikulatif). Meski ia hanya berwarna putih dan biru, Facebook cepat menggantikan nomor HP dan alamat rumah: ia seringkali menjadi pertanyaan pertama ketika mengenal seseorang — “Punya Facebook, nggak?”
Ramai orang meninggalkan Friendster dan MySpace demi Facebook dua tahun lalu. Sebagian mungkin sudah lupa dengan kata sandinya. Menurut data Januari 2011, Facebook sudah menjaring 600 juta pengguna. Artinya, 8.7% penduduk bumi memiliki akun Facebook. Bahkan, jumlah orang yang mengakses situs http://www.facebook.com sama banyaknya dengan pengakses http://www.google.com.
Pengguna Facebook terbanyak ada di Amerika Serikat (AS), yaitu 148 juta orang. Jumlah ini disusul oleh Indonesia (34.3 juta), Inggris (27,9 juta), Turki (25.1 juta) dan Philippines (21.8 juta). Di wilayah ASEAN, selain Indonesia dan Philippines, Malaysia memiliki 9.9 juta pengguna Facebook. Singapura memiliki 2.2 juta pengguna Facebook (dari 5.1 juta penduduk). Jumlah pengguna Facebook di Singapura ternyata jauh lebih besar daripada di Jepang. Di Jepang, hanya 2 juta orang yang mengakses Facebook. Ini hanya 1.6% penduduk Jepang.
Mengapa Facebook kurang berkembang di Jepang? Padahal penduduk Jepang, baik pemuda atau warga tuanya, sangat mahir bermain ponsel atau komputer.
Sudah ada tiga jejaring sosial yang menguasai Jepang sebelum Facebook masuk, yaitu Gree (21.25 juta orang), mixi (21.02 juta) dan Mobage Town (20.48 juta). Sebelum Agustus 2010, mixi-lah yang menempati urutan teratas selama 5 tahun.
Mixi (mixi.jp)
Mixi lahir di Jepang pada Februari 2004 untuk menyaingi Friendster. Mixi diusulkan oleh Batara Kesuma (lahir di Medan, 1979) pada 2003, yang kemudian menjadi Chief Technology Officer-nya. Pada saat yang bersamaan, Facebook juga baru lahir di AS.
Mixi hidup dari iklan, seperti halnya Facebook. Mixi punya game, dan fitur seperti mixi Check dan Check-In. Di Facebook, mixi Check mirip dengan fitur ‘share’, dan Check-in serupa dengan ‘geo-tagging’.
Namun, bedanya: Mixi memakai bahasa Jepang. Facebook-pun sebenarnya menyediakan layanan bahasa Jepang, tetapi sepertinya hanya terjemahan belaka.
Di samping itu, Mixi akan membangun kerjasama dengan Renren dari Cina dan Cyworld dari Korea Selatan. Mereka akan membangun platform yang memungkinkan perusahaan lain menyumbangkan aplikasinya. Strategi ini tidak diambil oleh Facebook.
Gree (gree.jp)
Gree dibangun di atas platform telepon seluler, di mana orang mudah sekali mengaksesnya. Apalagi sekarang ini makin banyak ponsel yang sangat mudah-pakai seperti iPhone, sehingga orang dengan mudah memainkan fitur-fitur Gree. Sebaliknya, platform yang digunakan Facebook adalah komputer. Ini artinya Facebook memang lebih nyaman diakses di depan komputer, tidak di ponsel.
Gree juga menggandeng perusahaan ponsel lokal, yaitu KDDI au, untuk memasarkan produk-produknya, seperti ‘Kajuaru Gemu’ (Casual Games), game ponsel lainnya dan avatar.
Mobage Town (mbga.jp)
Strategi menggunakan game juga digunakan oleh Mobage Town. Saat ini, Mobage Town banyak penggunanya karena punya Kaitou Royal yang mirip Mafia Wars di Facebook. Mobage Town juga bergabung dengan Yahoo! untuk meningkatkan penjualannya. Mobage Town juga memasang iklan di televisi.
Mobage Town (juga Gree) hidup dari menjual barang virtual mirip App Store milik Apple. Bedanya dengan Apple, Mobage Town dan Gree tidak memotong kartu kredit penggunanya, tetapi memasukkan biayanya secara tersirat sebagai tagihan telepon. Biaya ini jadi tersamar; tidak sejelas apabila angkanya tertulis di tagihan kartu kredit.
Agaknya sulit bagi Facebook untuk menyaingi mixi, Gree dan Mobage Town karena tidak ada isi lokal Facebook yang menarik bagi orang Jepang. Kalaupun ada kawan Jepang yang punya akun Facebook, umumnya karena ia berkawan dengan pengguna Facebook non-Jepang. Jika permainan dan fitur dalam Facebook kurang ‘bergaya’ Jepang orang Jepang kurang berminat.
Agaknya buku Japan Unmasked: The Character & Culture of the Japanese (2005) memang ada benarnya. Secara implisit buku itu mengatakan bahwa sesuatu dari luar Jepang akan disukai apabila ia ‘dipoles’ sehingga nampak ‘bernuansa Jepang’.
Sama halnya dengan Facebook. Selama bentuknya masih berupa terjemahan Inggris – Jepang belaka, ia tidak akan sanggup menyaingi jejaring sosial lokal.
Namun, ada satu cara yang ampuh bagi Facebook untuk sukses di Jepang. Kolumnis Akky Akimoto pernah membuat ramalan: Facebook dapat terus hidup di Jepang jika ia membeli mixi (yang kini sedang krisis keuangan).
Akankah ini terjadi?