Jazz Do It!


I always have this belief: whoever loves freedom, he would love jazz. Of course I know that freedom and jazz are not as simple as my belief.

Jazz was born in the suffering era of African-Americans in New Orleans, USA. It was initially performed by Afro-American talents, and later, it was genially improved by many musicians of various mainstreams. The root of jazz could be blues, but the tunes of jazz are much more complicated since it is quite flexible to be “tailored”. The process of inventing jazz was nothing but an attempt to find ways to express ingenuity of music, feeling, skill, rhythm and vocal exploration in one piece. It is indeed true that several jazz mainstreams are complicated skill-wise. But once we catch the tunes of jazz, an enormous feeling would flow as if the tunes are perceivable music.

Jazz spans from a very smooth stream to a delicate composition. Jazz can be original like what John Coltrain, Wes Montgomery, Duke Ellington and others had developed; jazz could also be found in a modified pattern like what Lee Ritenour, Antonio Carlos Jobim, Eric Marienthal, Norman Brown and Stanley Jordan have performed. Jazz musicians, like Mike Stern and Pat Metheny, may stick to the original one (plus some blues and ballads, respectively), but other modern jazz musicians develop jazz to become an up-to-date fashion like what Fourplay, Incognito, Brand New Heavies and others have done. It doesn’t really matter how jazz has been forged with varied faces as long as the “jazz” itself is still intact.

Indonesia has plenty of jazz musicians. Jazz blooms in campus, cafe or even in clumsy studio. Pioneers of jazz in Indonesia are Jack Lesmana, Ireng Maulana, Bubi Chen, etc. The best part of them was the ability to educate young musicians to play a better jazz. Musicians like Indra Lesmana, Dewa Budjana, Tohpati, and groups like Krakatau, Java Jazz, Simak Dialog, and others represent the modern Indonesian jazz. Modern jazz musicians have been benefited from Indonesian democracy since 1998. Many jazz events are all over the place. Jazz is extensively promoted in Indonesia to reach unlimited classes. Jazz in Indonesia serves many ears and many levels. Musicians have no easy job in Indonesia. But they know that Indonesians love jazz for some reason. Jazz is currently evolving into acceptable format in Indonesia. We got to be proud of it anyway.

Lee Ritenour has always been my guru in Jazz. Though I’m not comparable with the scale of his fingertip, but I really enjoy playing his music and pieces. In his website his pieces can be enjoyed where he shows variations in playing jazz. Lee Ritenour is also known as “captain finger” where the speed and skill in playing guitar are state of the art in jazz. From the attempt of learning his jazz, and the process of “copycatting” his skill, consciousness of appreciating jazz emerges in the form of jazz sensible-manner.

Tohpati may perform “soft” in many events, but listening to his pieces in Simak Dialog album makes me realize that this guy is really awesome. Dewa Budjana is also a skillful player with a lot of ethnic syncretism and sound-effect modification: this fellow can be ranked in the first class of outstanding jazz musicians.

If you happen to listen or to learn about jazz, how are you going to put jazz in your music list?


Buku Kiri dan Buku Kanan


That’s right! That’s left!
Suara itu menggelitik syaraf geli ketika otak kanan dan kiri dipenuhi duri-duri simbol matematika. Dunia jadi terang. Seterang refleksi piramid pucat di Giza yang mencerminkan Aufklärung peradaban bumi. Saya mencoba mencerna kalimat itu: bermakna ganda. Satu sisi, sebuah joke belaka: that’s right (itu benar!), that’s left (itu kiri!); sisi lainnya: sebuah eksperimen etika kebahasaan. Saya tertawa! Namun, diliputi ketergugahan batin untuk lebih berhati-hati dengan “kiri”, saya bersahabat baik dengannya. Dengan “kanan”, saya pun—seperti kebanyakan orang yang saya kenal—berkawan karib pula (barangkali tanpa “tetapi”).

Saya akan bercerita mengenai buku yang ditulis penulis-penulis “kiri” dan “kanan” yang bertumpuk di rak buku di tahun-tahun terakhir saya di Bandung.

Camus dan Kawan-Kawan Lain di Eropa
Albert Camus adalah sebuah legenda. Dari ufuk Aljazair yang penuh dengan gejolak politik di tahun 40-an, Camus memberikan kegairahan literatur yang sebelumnya tak pernah mempesona: sebelum Camus ada, siapa bilang Das Kapital bukan tesis? Buku begitu kaku. Buku begitu dingin. Buku memilih pembaca. Tapi tak urung, dilemparkannya manusia-manusia “sekedar-baca” ke liang kebimbangan dan kebingungan. Buku memang sebuah hegemoni yang muncul berkat kepiawaian berlogika, berbahasa, mengamati, dan mengutip sana-sini. Camus memberikan peta kemerdekaan mengemukakan pendapat. “Peta” yang dibangun lewat buku-buku. Entah dengan santun, atau dengan vulgar. Buku dijadikan subjek untuk meraih kebebasan. Mungkin juga kemerdekaan. O, buku…semua jadi merdeka berkat Camus.Camus dianggap kiri oleh sebagian orang. Tapi bagi yang tak bosan-bosannya mengembara di alam intelektual sastra, Camus dibai’at menjadi kanan. Absurditas (dalam Mite Sisifus) menjadi slogan di pelbagai negara. Caligula dimainkan di arena teater seluruh negeri. Sang Pemberontak intelek hidup tentram di sekujur tubuh massa. Kenapa yang dulunya kiri, sekarang menjadi akrab sehari-hari? Mungkin, arus baru dan revolusi yang meledak di tiap sudut kota, membiarkan asimilasi “kanan-kiri” terjadi, dan melahirkan peluruhan celah yang sebelumnya pucat—seperti wajah Stalin.

Karl Marx mungkin tak habis mengerti. Berangkat dari mentahnya kepedulian sosial di Berlin, Marx menjelajahi semua pemikiran. Kita tahu, cerita-cerita Yunani bakal mempengaruhi kalangan akademik Barat yang keranjingan filsafat dan sastra. Kita juga tahu, Georg Wilhelm Friedrich Hegel begitu mempengaruhi Marx. Siapakah Hegel? Di abad 19 itu, namanya jelas tak identik dengan “kiri”. Dialah seorang pemikir yang begitu berpengaruh di Jerman dengan segala teori-teori yang melandasi “bagaimana kita mengupas sejarah”. Kala itu, kiri belum jadi masalah. Yang jadi masalah adalah bahwa orang tak boleh sekedar berada di tengah—dan berdiam di tempat yang aman—bila ingin berbuat sesuatu untuk dunia (atau dikenang selama berabad-abad). Jadi, di manapun berdiri, usahakan selalu mengambil sisi.

Jürgen Habermas melebur semua dan mengikuti jejak pendahulunya (seperti Horkheimer, Adorno, dan Marcuse) yang tergabung dalam madzhab Frankfurt, dia melanjutkan sumbangannya buat demokrasi di Asia. Seorang Jerman itu tak semasyhur Marx yang berpengikut 10 milyar. Dia betul-betul intelek sejati yang kritis dengan pemikiran Marxis-ortodok sekaligus memberikan solusi atas kemacetan pemikiran kiri di Barat. Sebuah Teori Diskursus lahir. Demokrasi deliberatif muncul. Mündigkeit atau kedewasaan menjadi basis.Tapi, di mana dia berpijak kini? Di kiri-kah? Di kanan-kah? Mungkin dia tengah bekeliaran di perimeter gagasan untuk melebur segala bentuk pluralisme, sosial-politik, ekonomi, atau filsafat, di mana peleburan itu malas untuk mengindahkan dikotomi kanan dan kiri.

Di Orientalisme Asia dan Timur Tengah
Hassan Hanafi mungkin seorang penulis yang hati-hati. Di Mesir, buku Madza Ya’ni al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam) bukanlah serangan untuk kanan. Tapi sebuah perubahan. Mungkin revolusioner dan memerlukan kaum muda. Tapi juga bisa berbahaya untuk despotisme Barat yang doyan perluasan wilayah berkedok perdagangan. Tapi juga bisa meresahkan bagi kalangan Islam yang berbeda pemikiran. Hassan Hanafi tahu: ini bukan jalan bagi pembentukan sekte baru. Tapi lebih merupakan pemandu orientasi ideologi populistik yang bersumber dari analisis kelas yang bertumpu pada modified Marxisme-Leninisme; atau barangkali ini adalah gerakan untuk melawan orientalisme Barat yang memasuki tahap tercanggihnya. Kenapa “kiri”, O Hanafi? Hanafi pun tahu: pertanyaan mudah itu akan muncul. Dia tak memihak. Dia tak membela diri. Kitab itu mungkin sebuah “pemutihan” bagi kiri. “Kiri” tak lagi di-anak-tiri-kan. “Kanan”… kini mulai ekstrim di telinga.Mohamed Arkoun mungkin menghebohkan kita. Arkoun—intelektual dari Universitas Sorbonne—tak ragu-ragu membedah dan mendekonstruksi Al-Qur’an dengan pisau analisis Barat yang dianggapnya ampuh. Dia mempelajari Jacques Derrida, dia terinspirasi Saussure, dia membaca Ricouer, dia mengahayati Lacan, dan dia begitu terpesona dengan Michel Foucault. Dia seperti berada di tengah perkawinan dua tema yang sepertinya tak harmoni. Yang satu, mewakili Tuhan di bumi (dan bersifat perennial), yang satu mewakili kemegahan metodologi yang (barangkali) akan menjadi dekaden lima abad mendatang (walau tetap akan dikenang). Di manakah ke-lain-an Arkoun akan dimaklumi oleh tiap-tiap orang? Yang terus-menerus memperjuangkan konteks daripada teks? Yang berada di sisi kiri ketika semua orang berlabuh di kanan? Yang berada di kanan ketika semua orang berpaling ke kiri?

Di sini, kita—yang lahir di arena kebebasan buku yang unik—mengalami asimilasi yang kadang-kadang rumit dan begitu membingungkan. Buku kanan dan buku kiri jadi seragam. Di mana ada buku kanan, di situ terpampang buku kiri. Mana yang kanan dan mana yang kiri jadi sulit dipilah-pilah. Semua jadi bacaan yang mudah dibeli atau difotokopi. Tapi sayangnya: kita tak mendapatkan jawaban dari membaca, tapi malah mendapatkan banyak pertanyaan dan tugas yang bikin kita lupa akan “kanan dan kiri” tadi.