Kartini: Educate the Javanese


Ditulis pertama kali tahun 2006

Saya menulis tentang “perempuan” di sebuah buletin kampus tahun 2001. Tulisan berjudul “Perempuan di Timur, Perempuan di Barat” itu berkisah tentang Kartini yang saya ambil dari buku Sarinah (karya Bung Karno), dan pemikiran perempuan muslim-Amerika, Lois Lamya Al-Faruqi. Tulisan itu menghadirkan dua pemikiran yang berbeda: Kartini (yang hidup di aristokrasi Jawa, awal abad 20) sangat menginginkan pendidikan Barat dan feminisme, sedangkan Lois (yang hidup di liberalisme Amerika, akhir abad 20) mengecam feminisme yang kerap kali menimbulkan ketidakseimbangan sosial di Amerika. Hari ini saya menulis lagi tentang Kartini, tanpa Lois.

Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Rentang hidupnya pendek: dia meninggal ketika usianya 25 tahun. Hidup di lingkungan aristokrat, Kartini memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan Belanda hingga umur 12 tahun. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang bagus, Kartini belajar banyak hal dari “Barat”: buku-buku sastra dan majalah dibacanya untuk memberikan diskursus mengenai arti modernisme, feminisme dan kebebasan berpikir.

Kartini memiliki dua sahabat korespondensi: JH Abendanon dan istrinya Rosa Abendanon. Abendanon, yang ketika itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, menyusun dan menyunting surat-surat Kartini. Tahun 1911, Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini itu dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Sosok Kartini mengundang kontroversi: (1) Kartini mengalami dilematis secara etnologis: satu sisi, ia mengecam budaya Jawa yang terlampau formal, yang menghalalkan poligami (karena didukung aturan Islam), yang menghambat kemajuan perempuan; namun di sisi lain, setelah menikah (dan menjadi istri ke-4), ia berangsur-angsur toleran terhadap adat Jawa-nya, menerima keberadaannya dimadu; (2) Kartini tak pernah berjuang sambil membopong senjata: alasan ini yang digunakan untuk mereduksi sosok Kartini (dan penetapan 21 April sebagai Hari Kartini); perjuangan pemikiran seolah-olah lebih dihargai ketimbang perjuangan fisik; (3) surat-surat Kartini kehilangan nafas liberalnya karena telah di-edit oleh pemerintah Belanda (naskah aslinya pun, konon, tak pernah ditemukan lagi); (4) Kartini berbicara untuk ruang lingkup orang Jawa saja, bukan Indonesia. Ide-idenya di-nasionalisasikan karena mengandung sesuatu yang universal.

Terlepas dari kontroversi itu, saya sendiri kagum terhadap terjemahan tulisan Kartini berjudul Educate the Javanese (judul asli: Geef den Javaan Opvoeding). Educate the Javanese adalah satu bab dalam buku Door Duisternis tot Licht. Penerjemahnya, Jean Taylor, menilai bahwa (1) tulisan Kartini tidak radikal, namun mencerahkan dan sangat tak lumrah untuk jaman itu, (2) baru tahun 1904, Kartini mulai bisa memprediksi mengenai sosok perempuan jaman sekarang yang mampu berkarir, berumah tangga dan bermanfaat bagi masyarakat sekaligus, (3) tulisan Educate the Javanese memberikan pengetahuan mengenai kehidupan masyarakat Hindia Belanda di pergantian abad, dan representasi Kartini sebagai perempuan pertama yang berpendidikan Barat. Dalam tulisan itu, Kartini termasuk penulis yang tak bertele-tele, metodis dan rasional. Inti dari tulisan itu: Kartini ingin perempuan Jawa dididik lebih tinggi supaya cerdas, Kartini ingin pendidikan tinggi itu diberikan dalam bahasa Belanda, Kartini ingin buku-buku Belanda diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa juga, dan banyak lagi lainnya. Sangat menggugah!