Kamprad


“Aku telah mengatakan semua yang aku bisa. Bisakah seseorang memaafkan kebodohan itu?” Ingvar Kamprad, pendiri IKEA

IKEA adalah sebuah ikon raksasa plus perusahaan home furnishing terbesar di dunia. Ada 200 outlet di 31 negara, dan dibuka di Singapura tahun 1978. Pegawainya mencapai 75000 dan Ingvar Kamprad, pendirinya, ditulis sebagai orang terkaya yang melampaui Bill Gates tahun 2004.

office1.jpg

Desain kantor a la IKEA

Kamprad mendirikan IKEA pada umur 17. Ia pengusaha sejak dini, dan menjual apa saja: korek api, hiasan pohon natal, stoking, ikan, bibit tanaman hingga mebel. Apakah IKEA? Ini adalah kependekan dari Ingvar-Kamprad-Elmtaryd-Agunaryd. Elmtaryd adalah nama tanah pertanian tempat ia dilahirkan, dan Agunaryd adalah nama desa terdekat di sana. Tahun 1953, secara resmi IKEA berdiri dan memfokuskan diri pada kebutuhan rumah. Yang menarik dari IKEA adalah pengunjung toko bisa dengan bebas mencoba dan melihat sendiri kualitasnya, kemudian bisa membawa pulang barang yang bulky dalam packing yang flat, mendapatkan harga yang miring dan bisa memasang sendiri peralatan tanpa bantuan ahli mebel. Hanya itu saja? Lebih dari itu, IKEA selalu memperkenalkan desain baru yang dibuat di beberapa negeri seperti Swedia sendiri, Cina, Vietnam dan lainnya. Yang menarik bagi saya adalah uji kelelahan (fatigue test) terhadap kursi santai bernama Poang. Sandaran kursi didorong oleh mesin pendorong beberapa puluh kilogram, maju-mundur, seolah seseorang menggoyang-goyang sandarannya berulang kali. Bebannya tak begitu besar, namun ini dilakukan berulang-ulang hingga beberapa tahun. Apa yang ingin dihitung? Tentu saja batas kemampuan kursi menahan beban siklus ini atau dengan kata lain, kekuatan lelah (fatigue strength) kursi tadi. Uji ini biasanya dilakukan juga pada struktur pesawat terbang seperti sayap.

Apa yang disesali Kamprad hingga ia meminta maaf kepada seluruh karyawannya dengan surat terbuka? Tidakkah anda tahu bahwa Kamprad adalah bekas anggota Nazi? Pembunuhkah ia? Entahlah … yang jelas, rapat a la Nazi melibatkan patriotisme yang kelewatan: menjustifikasi bahwa nyawa suatu kaum tak lebih berharga dari furniture

Gitar


Awalnya, belajar nggitar itu susahnya minta ampun. Empat jari kiri mesti menekan senar pada fret yang berbeda-beda, senar ditekan tak terlalu kuat juga tak terlalu lemah (kalau terlalu kuat bisa sengkleh drijine, sedangkan kalau terlalu lemah ya senar gak bunyi tho …), selanjutnya genjreng enam senar yang ada di depan lubang resonansi, lalu jreng… kita bisa tersenyum meski hanya bisa satu kunci. Ini pemandangan hari pertama belajar gitar. Selanjutnya … ada yang menyerah karena jari-jarinya keburu dhedhel duel nglentheki (compang-camping mengelupas), ada yang lempar gitar karena memang tidak sabar untuk cepet selihai Rhoma Irama atau Joe Satriani (eh jomplang banget yo perbandingane? hehehe), karena tidak berbakat musik alias motorik plus sense musik memang dilahirkan cacat, tapi ada juga yang gigih belajar sampai menguasai satu lagi sederhana plus nyanyi dengan suara lirih (karena ingin ngetes genjrengannya bener atau nggak).

Belajar gitar di sekolah musik biasanya lebih terstruktur. Di sana kita diajari membaca not balok, belajar ketukan, belajar bermacam-macam lagu, diawasi guru dan ada pekerjaan rumah. Belajar pada teman sendiri agak berbeda. Di sini, tidak ada baca not balok dan PR: lebih relaks dan self-discipline memegang peranan penting.

Saya belajar gitar dari seorang kawan bernama Sunu. Setelah Sunu saya “nguping” di depan kaset Tohpati, Lee Ritenour dan Earl Klugh. Mirip dengan tiga begawan itu? Yo ora la … jauh. Tapi setidaknya saya mencoba. Hasilnya? Tidak ada, hanya bisa main gitar saja. Sederhana dan personal: kepuasan diri setelah bertahun-tahun melatih jari di atas fret. Karena tidak good enough, maka keahlian main gitar tidak bisa buat cari nafkah. Lagipula, “main gitar bosen juga ya” hehe (mengutip Balawan waktu manggung bersama Trisum).

Ngomong-ngomong, pernahkah anda main gitar di bawah ini? Saya belum, dan rasanya impossible buat mainin gitar ini … tapi nggak juga lho … gitar yang namanya Pikasso I ini benar-benar ada! Gitar 42 senar ini dimiliki Pat Matheny, gitaris jazz. Dan, gitarnya sendiri dibuat khusus oleh Linda Manzer (Kanada).

pikasso_i.jpg

Pikasso I

Kok yo ono gitar aneh koyok ngene …

Aku dan Meneer Janssens


Pagi itu aku murung: ayah-ibuku mati tertabrak lori. Air mataku menetes, lalu diseka Meneer Janssens, bekas majikan orangtuaku. Pada umur 11 tahun itu, aku diasuh Meneer: ini semacam privilege yang aku bayar dengan menjadi jongosnya.

Enam tahun kemudian, Meneer mengirimku ke Amsterdam. “Pendidikan adalah bekal untuk mandiri, ” pesannya. Di sana, aku belajar ilmu hukum di sebuah universitas. Setelah lulus, aku bekerja di sebuah firma hukum. Karena inlander, upahku rendah. Namun aku betah di Belanda: sebuah negeri yang berbeda dari Jawa, di mana sistem berjalan tanpa cambuk rotan.

Suatu sore aku mendapati surat Meneer: “Tole, pulanglah segera.” Alasannya tak jelas, tapi aku tahu bahwa Meneer memerlukan aku di Jawa. Balasan suratku mungkin menyakitinya: “Meneer, aku tak ingin pulang, karena aku menyukai kehidupan Belanda, dan aku memiliki perempuan idaman di sini.”

Beberapa hari kemudian, dugaanku benar: surat balasan Meneer membuat kita saling melukai. O, Meneer, bukan aku tak ingin membalas budi, tapi bisakah engkau membebaskan aku? Tak ada balasan. Lima tahun kemudian, aku pulang ke Jawa. Dalam pelukan rindu kami, Meneer berbisik: “Komunis di mana-mana, berhati-hatilah …”

Esoknya, aku melihat tubuh Meneer tak lagi bernyawa: ia kena serangan jantung.

Dua tahun kemudian, orang komunis diberangus, dipenggal, ditembak dan dibuang ke sungai. Bau anyir mayat mengundang mual. Aku tak mual, karena aku ada di antara tumpukan mayat-mayat itu.

Ringkasan: Eksistentialisme pada kedua kaki inlander (antara Timur dan Barat) ketika Indonesia masih Hindia Belanda dan kekacauan politik pada 1960an. Bagian dari Flash Flash Flash! Kumpulan Cerita Sekilas, Penerbit Gradien, 2006

Rapapan


Entah di Singapura bagaimana, tapi di Bondowoso, SD jaman saya (80s) ada sistem yang namanya CBSA alias cara belajar siswa aktif. Intinya: setiap anak dibiasakan menyampaikan pendapat lewat forum diskusi. Bagi yang pemalu, forum diskusi ini momok: pasti kebelet pipis kalau kebagian jadi pembicara.

Waktu itu yang paling bikin saya malas adalah memilih nama kelompok. Guru biasanya menyuruh mencari nama pahlawan, atau orang besar, atau nama ilmuwan. Yah karena kurang baca jadinya saya selalu tidak punya ide kalau disuruh cari nama.

Suatu hari (kayaknya hari Senin), setiap kelompok sudah membawa plakat kertas berisi nama kelompoknya. Tapi, saya lupa! Kelompok lain ada yang bernama Alexander Agung, Enrico Fermi, dan nama orang besar lainnya. Wah saya sama sekali tak ada ide dalam kondisi darurat ini! Tapi kemudian karena sangat-sangat mendesak saya kemudian mengambil nama yang ada di sampul buku harian. Isinya sih motto “Rajin Pangkal Pandai”. Terlalu panjang kayaknya. Jadi saya singkat: Rapapan.

Rapapan wafat setelah dua hari. Alasannya: jeneng kok ngisin-ngisini...

Yang ketawa ngakak kalau ingat “legenda” Rapapan ini cuma dua: papaku dan Tuti.

Rachid dan Humor


Tentang Rachid. Seperti biasa, saya makan siang dengan kawan baru bernama Rachid. Tubuhnya menjulang 185 cm, berwajah Arab, olahragawan plus programmer, muslim by birth dan berbahasa Inggris dengan logat Perancis. Hidupnya menarik meski bukan seorang eksil: ayahnya imigran dari Maroko yang kemudian hidup di pinggiran Perancis, membenci kehidupan riset di Perancis karena elitist, menyelesaikan S1 di Perancis dan S2 di Singapore (gak kesasar ta?), juara triathlon di NUS dan suka Laksa. Rachid adalah orang yang ramah namun senyap; ia menikmati kesendirian tanpa mengeluh dan gundah. O ya, ia akan menikahi seorang gadis China yang bilingual: Mandarin + French.

Tentang Humor. Turun dari shuttle bus sehabis makan siang, Rachid cerita humor. Humornya dalam bahasa Perancis. Judulnya Pirate alias bajak laut. Kami ketawa-tawa dan di lingkungan English-Malay-Chinese ini, Perancis adalah bahasa alien. Kemudian saya bercerita pada istri saya. “Hah, iso boso Perancis ta awakmu??” tanyanya (yang sudah saya duga). Saya senyum-senyum saja, dan bilang “Hehe … pokoke mau kethok pinter boso Perancis!” Lumayanlah … tumben-tumben saya bisa mengerti humor yang benar-benar kocak dalam bahasa asing, terutama bahasa Perancis yang (katanya) seksi dan njlimet.

Mau tahu rahasianya …?

Mudah saja. Pertama saya ceritakan satu humor kepada Rachid. Ini sungguh bikin pusing karena humor ini aslinya dalam bahasa Jawa (Suroboyoan). Dalam kepala, proses translasi mulai bekerja Jawa -> English. Dengan bantuan peragaan akhirnya kelucuan dari humor ini tersampaikan semua. Rachid terpingkal-pingkal karena tiga alasan: (1) kok ya ada orang gendheng jadi peneliti?, (2) kok ya ada humor khayal kayak gini!, (3) benar-benar kocak. Kedua, saya minta Rachid mengulang humor itu dalam bahasa Perancis. Cerita lucu biasanya mudah diingat, jadi dia dengan mudah menerjemahkannya. Dia juga minta dikoreksi jika ada kesalahan detil cerita. Mudah kan?

By the way, pasti anda penasaran dengan humornya! Bagi non-pembahasa Jawa mohon minta kawan Suroboyo atau Jatim-nya untuk menerjemahkan. Ini saya paste di sini:

Muntiyadi pethuk ambek Gempil koncone sing dines ndhik angkatan darat. Tibake Gempil iku saiki sikile sing kiwo yo dingklang pisan, ambek tangane sing tengen tibake yo tughel digenti cathoke bakul beras. Sing luwih nemen maneh, motone gempil kari sing kiwo. Moto sing tengen wis cumplung ditutupi kain ireng malih koyok bajak laut.

“Lho Mun, sikilmu opoko?” takok Gempil.
Mari ngono Muntiyadi cerito pengalamane kijolan sikile wong wedhok.
“Lha awakmu opoko kok mreteli pisan?” Muntiyadi genti takok nang Gempil .
“Pas aku patroli nang Aceh, sikilku ngincak granat, langsung puthul. Pas iku onoke sikile sapi, berhubung aku gak gelem, akhire yo ngene sikilku dhadhi mek sithok”.
“Waduh cik apese nasipmu, lha tanganmu opoko kok digenti cathoke beras?” takok Muntiyadi maneh.

“Mari sikilku tughel iku mau, aku dirawat ndhik barak. Moro-moro barakku dibom ambek mungsuh, kenek tanganku, langsung tughel. Pas iku onoke cathoke beras, timbangane gak onok blas, akhire aku gelem.” jarene Gempil maneh.
“Wah kayal thok kon iku, lha motomu opoko kok cumplung pisan? Kelilipengranat tah?” takok Muntiyadi maneh.

“Oo iku seje ceritone. Enak-enak cangkruk nyeritakno pengalamanku iku mau, moro-moro onok manuk nembeleki mripatku,” jare Gempil.
“Wah kon iku tambah ngawur thok ae, lha mosok ditembeleki manuk isok motone cumplung,” Muntiyadi mulai gak percoyo.

“Lho iku dhudhuk mergo tembelek manuk,” jare Gempil.
“Lho opoko?” takok Muntiyadi.
“Iku pas dino pertama aku nggawe cathok beras.”

Ide


ide. cari di mana?

otak kanan yang biasanya dipakai cari ide. jadi kalau stroke, orang kreatif yang kebanyakan ide badan bagian kanannya yang lumpuh (ini kalau lebih dari 6 jam baru dibawa ke rumah sakit lho). otak kanan juga yang diakses waktu orang mau ngibul. jadi mata nglirik-nglirik ke kanan-atas. gak percaya? coba bilang ini di depan kaca: sampeyan cakep!

bos SONY corp datang ke kantor. dia ngasih ceramah. namanya “ray” kubota. selain dikenal sebagai penemu piringan (disk) pertama di jepang, ia juga pemain gitar. jadi sehabis ngasih seminar, ia main gitar. sudah agak tua, jadi jari-jarinya kaku. pesannya yang selalu saya ingat adalah …

“if something is impossible, then do it!”

penemuan diawali dari cari ide. idenya berasal dari lihat sana-sini, dari mimpi, dari nglamun di wc, dari ngobrol dengan kawan, dari lamunan saat pulang kerja. ide datangnya cepat, hilangnya lebih cepat. jadi segeralah dicatat. ide yang biasa itu banyak. “yang biasa” artinya begitu cek hak paten, walah sudah dipatenkan semua ide-idenya. makanya, kadang-kadang mikir sesuatu yang “gak mungkin” itu penting.

pikiran capek juga kena tekanan supaya cari ide. tapi gimana lagi … sandang, pangan, papan semua bersumber dari ada tidaknya ide. kalau tidak punya ide sebenarnya bisa aja bilang: “mmmh i’m running out of ideas.” tapi kalau terlalu rajin bilang ini jadi orang yang tak punya integritas (iyo ta? hehe).

sebelum buka buku, googling, tanya sana-sini: think! think something impossible!

Paguyuban


Setidaknya seseorang pasti pernah ikut “gank”. Meski terdiri dari dua orang, ini sudah gank. Ada juga yang kemudian membentuk sekian puluh orang dan memberi nama. Ada yang lebih kolosal: membentuk suatu paguyuban yang akhirnya berjumlah ribuan orang, memberi nama (kadang kocak, kadang nggilani), merancang aktivitas (kadang menyedot biaya, kadang nirguna), saling mengenal (enam bulan kemudian ingat wajah, lupa nama) dan at the end of the day menjadi kenangan; misal: Eh dulu ikut paguyuban GB alias Gendheng Bareng, gak? Eh, si Tuyul carik paguyuban Waras Dhewe di mana ya sekarang?

Fenomena kenapa membentuk paguyuban bisa dilihat dari perspektif psikologi sosial. Tapi saya ini buta psikologi sosial meski ada yang bilang “Lho, pengetahuan psikologi itu kan inheren, jadi kita hanya perlu menggali sendiri atau beli buku psikologi populer di toko buku”. Siapa bilang? Kalau begitu bisa-bisa Fakultas [waktu kecil saya ngiranya Bakul Tas] Psikologi bisa tutup ket jaman mbah buyute Sigmund Freud. Salah satu sebab orang mendirikan paguyuban atau kelompok adalah menungso kuwi sejatine ora pengen dhewean! Manusia tak ingin hidup sendiri.

Eh bentar-bentar … kok aku inget terjemahan “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam bahasa Jawa ya?? Tahu nggak? Sila siji: “Gusti Allah ora ono koncone”

Lanjut. Manusia perlu orang lain; terutama yang sehati, punya sejarah sama, latar belakang sama, bahasa sama, pokoknya serba sama (meski sulit akhirnya disama-samain gak papa). Sebab lain: menungso kuwi sejatine pengen ndue posisi dalam komunitas. Kalau punya posisi ia bisa punya ruang lebih besar untuk beraktivitas. Dalam ruang besar ini, ia memiliki kekuasaan. Walah, melip sekali sampai ke “kekuasaan”! Manusia itu unik. Salah satu aspek non-material yang selalu ia ingkari tapi terus dikejar-kejar tanpa sadar (tanpo bondho, kecuali peserta Pilkada) adalah kekuasaan. Ora percoyo? Nietzsche bilang Der Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa). Tapi jangan sampai terjebak: intinya adalah Macht atau berkuasa. Kalau dipisah antara Wille dan Macht, bisa jadi Hitler sampeyan (hehe).

Lho nglantur sampe Nietzsche!

Alasan lain kenapa orang membentuk paguyuban: cari pacar, bisa menceritakan kesuksesan (oleh sebab itu mereka yang merasa gagal kadang malas ikut paguyuban), bisa mencari pelanggan dan membangun jaringan (gaya kapitalis yang tak perlu dicemooh dan tak perlu dikuatirkan karena kita sudah terjebak di dalamnya) dan mengerjakan PR. Maksudnya mengerjakan PR? Lha iya … paguyuban kan punya cita-cita. Yang dulu tak tercapai, barangkali saat ini bersama-sama teman yang lebih banyak bisa mewujudkan cita-cita itu. Agak telat mikir? Bukan. Tapi telat bertindak karena keterbatasan resources.

Mengenai paguyuban, orang Singapura harus belajar dari orang Indonesia. Secara alami tanpa dioyak-oyak, orang Indonesia otomatis gatel bikin paguyuban di manapun mereka. Useful? Tentu to a certain extent. Jika tidak ngapain bikin? Paguyuban berarti membuat sistem. Di atas sistem ada kekuasaan. Penggerak kekuasaan hanya satu: aku.

Menungso … menungso …  guyubo!