– This note is updated on 31 January 2013 –
oleh Arief Yudhanto
Dalam literatur Jawa kuno, nama Mpu Gandring muncul di dalam Serat Pararaton [1]. Pararaton berisi catatan mengenai raja-raja Jawa, khususnya kerajaan Singosari (1222 – 1292) dan Majapahit (1293-1518) yang menguasai wilayah Jawa Timur. Bagian awal Pararaton menceritakan kisah raja pertama Singosari, yaitu Ken Angrok yang memerintah hanya lima tahun (1222-1227).
Ken Angrok, atau ada pula yang menyebutnya Ken Arok, lahir di Singosari pada 1182 dan wafat pada 1227. Ken Angrok dilahirkan oleh seorang wanita bernama Ken Endog yang mempunyai pasangan bernama Brahmin Gajahpura dari Kediri [2]. Versi lain menyatakan bahwa Ken Angrok tidak mempunyai ayah karena ia adalah titisan langsung Syiwa. Karena ibunya malu jika diketahui melahirkan anak tanpa ayah, maka bayi Ken Angrok diletakkan begitu saja di kuburan atau tepi sungai. Seorang antagonis bernama Bango Samparan, dikenal juga dengan nama Lembong, tidak sengaja mendengar tangisan bayi Ken Angrok. Bango Samparan kemudian memungut bayi itu. Ketika Ken Endog mendengar bahwa Bango Samparan memungut anaknya, Ken Endog kemudian menemui Bango Samparan. Mereka berdua kemudian bersama-sama membesarkan Ken Angrok.
Ketika beranjak dewasa, Ken Angrok gemar mencuri dan berjudi. Namun pada suatu hari, ia secara kebetulan bertemu dengan seorang pendeta (brahmana) bernama Dang Hyang Lohgawe. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Angrok bekerja saja di Tumapel. Di Tumapel, Lohgawe akan memperkenalkan Angrok kepada Tunggul Ametung, dan mengusulkan agar Angrok dijadikan ajudan. Tak berapa lama, Angrok telah bekerja sebagai ajudan Tunggul Ametung.
Tunggul Ametung memiliki seorang istri yang kecantikannya sangat termasyhur di Tumapel. Namanya Ken Dedes. Ken Dedes adalah anak seorang pertapa Buddha bernama Mpu Purwa. Suatu hari, Ken Dedes yang sedang hamil mendampingi Tunggul Ametung mengunjungi suatu desa. Ketika turun dari kereta, kain yang dipakai Ken Dedes tersingkap, dan Ken Angrok yang ketika itu mendampingi mereka tidak sengaja melihat betis dan rahasianya. Seketika itu, jatuh cintalah Ken Angrok kepada Ken Dedes.
Sejak kejadian itu, niat Ken Angrok untuk mempersunting Ken Dedes kian bergejolak. Namun, ia berpikir bahwa tidak ada cara lain untuk mendapatkan Ken Dedes kecuali dengan membunuh Tunggul Ametung. Ketika menyampaikan niat ini kepada Lohgawe, Ken Angrok langsung merasa kecewa karena niatnya itu tidak mendapat restu dari Lohgawe. Karena itu, Ken Angrok kemudian pergi menemui ayah angkatnya Bango Samparan di Karuman. Bango Samparan memberi restu kepada niat Ken Angrok untuk membunuh Tunggul Ametung, dan berkatalah ia kepada Ken Angrok:
Baiklah kalau demikian: aku akan memberikan restu bahwa kau akan menusukkan keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil istrinya itu. Tetapi hanya saja, anakku Angrok, akuwu [Tunggul Ametung] itu sakti; mungkin [akuwu] tidak akan terluka jika kau menusuknya dengan keris yang kurang bertuah.
Bango Samparan kemudian memberi usul:
Aku punya seorang kawan, seorang pandai keris di Lulumbang. Namanya Mpu Gandring. Keris buatannya bertuah; tak ada orang yang tak mempan terkena keris buatannya; tak perlu dua kali ditusukkan. Hendaknyalah kau menyuruhnya membuatkan sebuah keris. Jikalau keris itu sudah selesai, dengan keris itulah kau hendaknya membunuh Tunggul Ametung secara rahasia.
Monolog di atas menyiratkan bahwa Ken Angrok belum pernah mengenal nama Mpu Gandring. Situasi ini memberikan dua arti. Pertama, bahwa reputasi Mpu Gandring sebagai pembuat keris bertuah kurang dikenal secara luas, bahkan oleh sosok Ken Angrok yang dulunya mungkin cukup sociable karena kegemarannya berjudi, dan dilanjutkan tinggal di lingkungan Tumapel, wilayah yang lebih besar dan maju. Kedua, sosok Mpu Gandring sendiri boleh jadi samar (obscured) karena ia kemungkinan sengaja menjauh dari keramaian dengan alasan yang bersifat asketisme. Dalam hal ini, Mpu Gandring sendiri kemungkinan juga adalah seorang pertapa.
Meskipun sosok Mpu Gandring kurang jelas, sebuah novel karangan Arswendo Atmowiloto berjudul Senopati Pamungkas [3] menyebutkan bahwa Mpu Gandring mempunyai nama asli Kiai Sumelang Gandring. Mpu Gandring adalah keturunan para pembuat keris yang menuntut ilmu sampai ke Jawa Barat. Diceritakan pula bahwa Mpu Gandring mempunyai 12 orang murid yang kesemuanya memakai sebutan “Gandring”.
Setelah menemui ayah angkatnya itu, Ken Angrok kemudian pergi ke Lulumbang untuk menemui Mpu Gandring. Dalam novel Gajah Mada karangan Langit Kresna Hariadi, Lulumbang dikenal pula dengan nama Sapih Lumbang:
Dari Tongas, akan terlihat ketinggian Bromo. Bromo selalu dikemuli halimun tebal sehingga sering tidak jelas, kecuali di musim kemarau. Menjelang Bromo atau lebih kurang dua tabuh waktu yang diperlukan dengan berkuda, di sanalah letak sebuah tempat yang amat indah. Tempat itu bernama Sapih atau orang juga menyebutnya Lumbang … apa Sapih Lumbang ada kaitannya dengan Lulumbang? Lulumbang tentu bukan nama sembarangan karena di sanalah seorang empu pembuat keris pernah tinggal.
Definisi ‘menjelang Bromo’ dapat diartikan sangat dekat dengan gunung Bromo meskipun frasa ini sulit diukur.ย Oleh karena itu, frasa ‘dua tabuh’ perlu didefinisikan terlebih dahulu. Jika diasumsikan bahwa kecepatan berjalannya kuda menuju ke tempat yang ‘indah’ (yang secara relatif diartikan sebagai perbukitan dengan panorama indah) adalah 2 km/jam (karena jalanan menanjak) maka jarak 25 km dapat ditempuh dalam waktu 12.5 jam. Jarak ini adalah jarak antara Tongas dengan Lumbang masa kini. Satu tabuh diartikan sebagai penanda fajar hingga tengah hari, dan tengah hari menuju senja, yang masing-masing adalah 6 jam. Perlu diingat bahwa ada dua desa Lumbang, yaitu Lumbang 1 dan Lumbang 2 di wilayah Pasuruan. Lumbang 1 inilah yang berjarak 25 km dari Tongas, berada dekat dengan Bromo dan berada di mulut pegunungan Tengger. Lokasi desa Lumbang 1 dapat dilihat pada peta di bawah ini.
Peta satelit provinsi Jawa Timur: lokasi desa Lumbang 1 (Sumber: google map)
Ken Angrok kemudian bertemu Mpu Gandring di Lulumbang. Ken Angrok berkata kepada Mpu Gandring:
Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu? Hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai dalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus hamba lakukan.
Tenggat waktu lima bulan ini dirasa terlalu cepat oleh Mpu Gandring. Ia mengatakan bahwa diperlukan waktu satu tahun untuk menyelesaikan sebilah keris bertuah. Dalam cerita rakyat yang lain, tenggat waktunya bukan lima bulan, tetapi 40 hari. Mpu Gandring mengatakan:
Jangan lima bulan itu. Kalau kamu menginginkan yang baik, kira-kira satu tahun baru selesai. Keris akan baik dan matang tempaannya.
Namun, Ken Angrok memaksa:
Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya keris itu diselesaikan dalam lima bulan.
Dari hasil perhitungan sederhana, penulis memperkirakan bahwa keris Mpu Gandring dibuat selama tujuh bulan. Berikut cara perhitungannya:
Pararaton menyebutkan bahwa Ken Dedes sedang hamil ketika Ken Angrok melihatnya untuk pertama kali. Seorang perempuan biasanya nampak jelas hamil ketika kehamilannya menginjak 3-4 bulan. Pararaton juga menyebutkan bahwa setelah Tunggul Ametung terbunuh oleh keris Mpu Gandring, anak Tunggul Ametung dari hasil perkawinannya dengan Ken Dedes itu lahir. Dengan asumsi bahwa kelahirannya normal (tidak prematur), dengan batas maksimum 10 bulan, maka lama pembuatan keris maksimum ialah 7 bulan.
y1 = masa kehamilan Ken Dedes hingga melahirkan = 10 bulan (maks)
y2 = bulan kehamilan ketika Ken Angrok melihat Ken Dedes = 3 bulan (kehamilan nampak jelas)
y1 – y2 = 7 bulan
Lima (atau tujuh) bulan berlalu dan Ken Angrok datang lagi mengunjungi Mpu Gandring untuk mengambil keris pesanannya. Mpu Gandring ternyata belum menyelesaikan kerisnya. Keris itu digambarkan punya hulu kayu cangkring yang masih berduri, belum diberi perekat, masih kasar. Karena tak sabar, Ken Angrok mengambil keris yang tengah diasah oleh Mpu Gandring, lalu menikamkannya ke tubuh Mpu Gandring. Keris itu sangat sakti menurut gambaran Pararaton berikut:
Lalu diletakkan [keris itu] pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah menjadi dua; diletakkan pada landasan penempa, juga ini berbelah menjadi dua.
Sebelum menemui ajalnya, Mpu Gandring menyumpahi Ken Angrok:
Nak Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu; anak cucumu akan mati karena keris itu juga; tujuh orang raja akan mati karena keris itu.
Keris Mpu Gandring: teknologi canggih abad ke-13
Keris Mpu Gandring kemungkinan merupakan hasil dari aplikasi teknologi laminasi logam pertama kali di Jawa Kuno. Keris tersebut mirip dengan keris nomor 3 pada gambar di bawah. Keris nomor 3 dibuat antara abad ke-13 dan 14 [5]. Keris Mpu Gandring dikatakan memiliki pamor meski kurang jelas pula gambar pamor yang seperti apa. Keris nomor 3 juga memiliki pamor gambar daun. Keris nomor 3 ini, seperti yang dijelasakan dalam Ref. [5], adalah aplikasi teknologi laminasi keris pertama kali. Ini berarti bahwa di dalam besinya terdapat inti (core) yang terbuat dari nikel. Lapisan nikel ini dijepit oleh besi dengan profil ‘U’ kemudian ditempa. Efek dari pemberian nikel ini adalah meningkatkan ketahanan terhadap korosi sekaligus menambah kelenturan. Pembaca juga dapat mempelajari lebih jauh deskripsi proses pembuatan keris pada masa modern dalam referensi [6]. Dalam buku itu disebutkan bahan-bahan membuat keris, yaitu besi (12-18 kg), baja (600 gr) dan bahan pamor, misal: nikel (125 gram).
Jenis keris yang dibuat pada jaman Jawa Kuno
Ada sebuah pendapat bahwa keris Mpu Gandring memiliki kekuatan mekanik yang baik, lebih baik dari keris-keris lainnya. Kunci dari kekuatan itu terletak pada proses pembuatan keris. Ketika keris selesai dipanaskan Mpu Gandring memasukkan keris yang masih panas itu ke sebuah wadah yang berisi racun ular. Proses pemberian racun ular kepada keris dinamakan warangan. Konon, racun ular dapat membantu proses pendinginan (quenching) dan meningkatkan kandungan karbon di dalam logam. Selain racun ular, racun lain yang biasanya digunakan untuk warangan keris berasal dari bangkai ular tanah, bangkai ular kobra, dan bangkai katak (kodok kerok). Keris jadi lebih getas dan tidak mudah berdeformasi karena adanya peningkatan kandungan karbon di dalam keris. Proses pemberian racun pada keris yang melalui proses pembakaran biasanya berlangsung di bulan Suro. Pemberian racun pada keris semata-mata hanya bertujuan untuk menambah kemampuan fisik semata. Namun demikian, fisik dari keris jika terlalu sering di-warang-i juga akan rapuh. Proses pemberian racun ular kepada keris dilakukan sebagai berikut [lihat website Ki Cancut]:
- Keris dipisahkan dari gagang dan warangka. Keris dipanaskan pada tungku api. Keris dimasukan kedalam bubuk racun pada kondisi panas dan dilakukan beberapa kali untuk menambah racun atau memperkuat racun tersebut. Pada saat keris berada dalam kondisi panas, maka jika dimasukkan pada bubuk racun, maka akan menyerap racun tersebut hingga menyatu pada batang keris.
- Konon warangan dilakukan pada senjata para pendekar dan para prajurit dalam menghadapi musuh agar pada saat bertempur dengan goresan luka yang sedikit saja keris itu mampu menimbulkan efek yang mematikan. Pada saat terjadi perang perjuangan melawan Belanda, hal ini dirasa mampu mengimbangi kekuatan musuh yang pada saat itu berupa senjata api.
- Jika terlalu banyak racun yang diberikan kepada keris maka akan menjadikan keris tersebut rapuh dan keropos. Bahkan jika kadar racun telah melewati batas kewajaran akan mengakibatkan udara sekitar tercemari oleh racun pada keris pada saat keris berada di luar kerangkannya. Dampak yang bisa terjadi adalah keracunan ringan berupa pusing atau muntah-muntah. Sehingga jika melakukan warangan, maka sang empu harus mengetahui berapa besar kadar racun yang sudah berada dalam keris dan selanjutnya menentukan akan diberikan lagi racun atau tidak.
- Biasanya keris setelah dilakukan warangan, maka warna permukaan keris akan menjadi bersih dan berwarna metalik gelap (logam putih) dan pada permukaannya akan terlihat rongga-rongga yang sangat kecil.
Keberadaan keris Mpu Gandring masih menjadi misteri hingga kini. Mitos mengenai keberadaannya menciptakan kisah yang menarik (enthralling stories), seperti yang ditulis dalam Ref. [7]. Ada beberapa versi cerita mengenai keberadaannya:
- Untuk menghindari konflik berdarah, Keris Mpu Gandring dibuang ke Laut Jawa dan berubah menjadi naga
- Keris Mpu Gandring secara misterius menghilang, atau jatuh ke tangan orang penting dalam pemerintahan
- Keris Mpu Gandring ditanam di dalam Candi Anusapati atau Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur
Bibliografi
[1] Pararaton, 1481 (http://ki-demang.com/)
[2] JF Scheltema. Monumental Java, Asian Educational Service, 1996.
[3] Arswendo Atmowiloto. Senopati Pamungkas #2, PT Gramedia Pustaka Utama,ย 2004.
[4] Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada Jilid 5.
[5] A.G. Maisey. The Origin of the Keris and its Development to the 14th Century. Link.
[6] Bambang Harsrinuksmo. Ensiklopedi Keris, PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
[7] Novita Dewi. Power, Leadership and Morality: A Reading of Ken Arok’s Images in Indonesian Literature and Popular Culture, Ph.D. Thesis, National University of Singapore,ย 2005.