Bantuan untuk Korban Bencana di Jepang


Berita Harian 29 Maret 2011

Dapatkah Jepang pulih dengan transparan, teratur dan lebih yakin? Persoalan besar ini menyelubungi pascabencana di Jepang. Kota-kota di pesisir timur wilayah Miyagi, Iwate dan Fukushima luluh lantak disebabkan gempa dahsyat magnitude 9. Dunia kemudian menyaksikan betapa gempa ini memicu gelombang besar tsunami setinggi hingga delapan meter. Kota-kota yang tersapu tsunami bak dijatuhi bom atom.

Keadaan Jepang semakin parah setelah dua reaktor di Fukushima Dai-ichi (Fukushima I) meledak. Udara, tanah dan air di sekitar reaktor terkena radiasi. Zona bebas radiasi yang sebelumnya hanya 10 kilometer dinaikkan hingga 30 kilometer dari reaktor.

Minggu lalu, air di pusat pemurnian tercemar yodium-131. Zat ini mencapai 210 Becquerel dalam 1 liter air. Jepang menetapkan angka 100 Becquerel/liter air untuk aman diminum. Orang dewasa dapat minum air langsung dari kran jika kandungan yodium berada di bawah 300 Becquerel/liter.

Multi-bencana ini akhirnya membuat Jepang rugi sekitar 25 triliun yen. Perusahaan, sekolah, rumah sakit, jalan raya dan prasarana lain lumpuh. Kerugian ini dihitung dari tujuh area yang mengalami kerusakan berat, yaitu Miyagi, Fukushima, Iwate, Chiba, Aomori, Ibaraki dan Hokkaido. Angka ini sama dengan 27% cadangan anggaran Jepang (92 triliun yen), atau dua setengah kali lipat kerugian yang dialami Jepang pada 1995 karena gempa Hanshin di Kobe (9.6 triliun yen). Dibandingkan kerugian yang dialami Amerika Serikat karena taufan Katrina, maka kerugian Jepang adalah empat kali lipat.

Kerugian ini jelas menyebabkan ekonomi Jepang (yang seharusnya naik Maret 2011) mendadak turun. Bisnis Jepang dengan negara-negara lain terpengaruh. Bencana ini juga mengganggu rencana bantuan kepada negara-negara lain di masa depan (berawal sejak 1 April 2011).

Namun, banyak negara menawarkan bantuan kepada Jepang agar penduduknya cepat tertolong. Bantuan dari negara-negara ini dapat mempercepat pemulihan ekonomi Jepang.

Lebih 70 negara membantu Jepang. Selain negara-negara besar seperti Amerika dan Uni Eropa (EU) yang membantu, negara-negara Asean juga membantu Jepang.

Singapura membuat sebuah halaman di situs www. gov.sg. Halaman ini berisi informasi tentang kondisi terakhir Jepang dan aktivitas Singapura dalam membantu Jepang. Pemerintah Singapura memberi bantuan sebanyak $500.000 ke Jepang melalui Palang Merah Singapura.

Sekitar 69 masjid di Singapura juga turut membantu Jepang. Masjid-masjid ini membuka kontribusi yang dimulai pada 18 Maret dan ditutup pada 24 Maret 2011. Secara pribadi, saya yakin kontribusi yang diberikan masjid-masjid ini pasti akan berguna untuk pemulihan Jepang. Dan sebagai minoritas di sini, sebenarnya ada efek unik yang akan menyusulinya.

Jepang yang memiliki sekitar 100,000 Muslim (kurang 1 persen dari 127 juta penduduknya) akan melihat Islam dengan pandangan berbeda: Orang Islam tidak hanya memiliki rasa solidaritas pada sesama Muslim, bahkan ke penduduk lainnya yang bukan Muslim. Di sini Jepang melihat bahwa kepedulian umat Islam bernilai universal. Bantuan ini sudah melewati perbedaan kultur dan agama.

Dari negara-negara penyumbang, Korea Utara juga turut membantu Jepang. Korea Utara yang pernah menyerang Korea Selatan memang membuat Jepang terus-menerus waspada akan serangannya. Asia Timur cukup terganggu oleh bahaya laten Korea Utara . Namun, karena bencana di Jepang itu, Korea Utara ternyata peduli kepada Jepang.

Gerakan Internasional Palang Merah Korea Utara menyumbangkan 8.1 juta yen ($126,000) kepada Jepang. Bahkan, pemimpin Korea Utara Kim Jong Il juga memberi uang kepada Jepang, yaitu sebesar 500 ribu yen ($7,800). Kontribusi ini disalurkan kepada pendatang Korea Utara yang tinggal di Jepang.

Dari sekian banyak kontribusi ke Jepang, ada kalangan yang curiga apakah uang kontribusi itu bisa sampai ke korban bencana. Kecurigaan ini selalu muncul di beberapa blog. Dari blog-blog ini, ada beberapa alasan mengapa sikap curiga ini muncul.

Ketika Jepang terkena gempa bumi besar Hanshin di Kobe pada 1995, pemerintah Kobe mengambil sebagian uang sumbangan dan menyimpannya di sebuah bank. Mereka menyatakan uang ini akan dimanfaatkan di masa depan bila Kobe terkena bencana lagi. Aktivitas ini mendapat kritikan dari penduduk karena masih banyak orang yang belum mendapatkan bantuan.

Selain itu, beberapa hari lalu perwakilan Jepang dalam UNICEF diduga memakai 25% uang sumbangan untuk biaya operasi komite. Namun, hal ini dibantah oleh Hiromasa Nakai, juru bicara Komite Jepang. Nakai menyatakan bahwa semua uang sumbangan akan diberikan kepada korban bencana. Komite Jepang untuk UNICEF dan Palang Merah Jepang terus melaporkan petunjuk uang sumbangan itu dalam lamannya http://www.jrc.or.jp. Cara seperti ini dapat menghindarkan orang dari pandangan curiga terhadap suatu organisasi sosial.

Gempa Tohoku (1)


Di Jepang, orang sudah terbiasa dengan gempa. Gempa kecil kurang dari kekuatan 3.0 terjadi setiap hari. Namun, pada Jumat lalu (11 Maret 2011) semua orang panik. Tepat pada 14:46 gempa dengan kekuatan 9.0 mengguncang Jepang. Gempa ini adalah gempa terbesar di Jepang sejak 1900.

Pusat gempa berada 181 kilometer timur laut Tokyo. Jarak ini membuat kekuatan gempa yang saya rasakan ‘hanya’ sekuat 5.0. Namun, ini sudah menimbulkan kepanikan hebat karena kotak buku di ruangan saya berguncang-guncang dan buku-buku pun berjatuhan. Monitor komputer pun mulai bergoyang dan tergeser. Cangkir dan alat-alat makan di dapur pun berjatuhan.

Ruangan saya di lantai satu. Jadi, tindakan yang seharusnya saya lakukan ketika gempa adalah bersembunyi di bawah meja agar terlindung dari reruntuhan bangunan. Namun, saya panik. Saya cepat-cepat lari menuju ke pintu keluar yang hanya berjarak enam meter. Dua teman lain juga mengikuti saya.

Ketika gempa terjadi, bila memungkinkan, seseorang memang harus segera menuju ke tempat luas atau tempat yang jauh dari bangunan. Ini demi menghindari cedera karena kejatuhan reruntuhan bangunan. Saat itu, saya lari ke jalanan dan menjauhi bangunan. Di sana, saya mencoba menelepon istri saya. Banyak orang berkumpul juga di sana. Mereka nampak sibuk menelepon.

Sayangnya, ponsel tidak berfungsi! Jaringan telepon lumpuh karena hampir semua orang memakai telepon seluler.

Di tengah kepanikan itu, saya cepat pulang ke rumah yang hanya sejauh dua kilometer.

Sepanjang jalan saya melihat banyak orang keluar dari perusahaan, dan saya bertemu dengan teman yang menggendong anaknya keluar dari rumah. Mereka bergegas ke taman bermain.

Sesampainya di rumah, saya tidak melihat istri dan anak saya. Lemas rasanya.

Di manakah mereka?

Saya segera keluar rumah dan mencari mereka.

Mereka tidak ada di taman. Setahu saya, mereka memang pergi ke klinik pada pagi hari, tetapi mereka seharusnya sudah pulang.

Saya pun kembali masuk ke rumah dan hanya bisa berdoa agar istri dan anak saya diberi keamanan.

Alhamdulillah, belum 10 menit berlalu, terdengar langkah kaki. Anak dan istri saya selamat!

Mereka bercerita bahwa ketika gempa terjadi, mereka sedang makan siang. Namun, mendadak rumah makan ditutup karena gempa besar itu. Mereka pun naik bis yang ketika itu masih beroperasi.

Saat itu, jaringan kereta api dihentikan. Japan Railway (JR) dan perusahaan kereta api lain, misalnya Keio, menghentikan operasinya. Ini membuat mereka yang tengah bekerja di kawasan pusat Tokyo tidak bisa pulang ke rumah masing-masing.

Seorang teman memberitahu bahwa ia harus tidur di kantor karena untuk berjalan kaki ke rumah membutuhkan delapan jam. Akhirnya, ia pulang ke rumah keesokan harinya.

Pascagempa

Gempa tidak hanya terjadi pada 14:46 petang. Gempa lanjutan terus terjadi setiap lima menit. Ini disebut after-shock (pascagempa). Menurut Badan Meteorologi Jepang (JMA), kemungkinan gempa lanjutan berkekuatan lebih dari 7.0 akan terjadi lagi satu saat antara Jumat dan besok.

Kami tetap siaga karena dalam kondisi darurat ini, apa pun dapat terjadi. Kami terus mengaktifkan televisi dan mengikuti berita. Semua stasiun televisi Jepang menghentikan acaranya dan menggantinya dengan berita gempa.

Menara darurat setinggi 30 meter yang berada dekat rumah kami juga tidak henti-hentinya menyampaikan peringatan.

Untuk berkomunikasi, karena jaringan telepon terputus, saya menggunakan Internet untuk menghubungi teman-teman lain di Tokyo.

Saya juga menyampaikan kabar kepada saudara di tanah air melalui email.

Tsunami

Gempa besar yang terjadi di pantai Tohoku itu punya efek yang mengerikan: gelombang raksasa atau tsunami. Tiga menit setelah gempa terjadi (14:49), JMA mengeluarkan peringatan bahwa tsunami besar akan terjadi di tiga prefektur, yaitu Miyagi, Iwate dan Fukushima. Dari televisi kami menyaksikan seluruh tanah pertanian tersapu gelombang tsunami. Bandara Sendai juga terbenam air laut. Tinggi gelombang tsunami mencapai tujuh meter. Ribuan orang di tiga wilayah itu kehilangan tempat tinggal. Saat ini lebih 2.000 orang meninggal dunia. Menurut polisi wilayah Iwate, angkanya bisa mencapai 10.000.

Untungnya, wilayah Tokyo dilindungi oleh Teluk Tokyo dan wilayah Chiba. Tempat tinggal kami juga terletak 45 kilometer dari garis pantai. Jadi dampak tsunami tidak terasa. Lebih 50 negara mengirim bantuan ke Jepang. Saya juga mendapat kabar bahwa kedutaan negara-negara ASEAN mengirimkan sejumlah bus untuk menyelamatkan warganya yang terjebak di Sendai.

Reaktor Nuklir Meledak

Sekitar 34.5% energi listrik di Jepang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Ada sekurangnya 15 reaktor nuklir di seluruh Jepang. Di Fukushima, ada dua reaktor bernama Fukushima I dan II. Fukushima I memiliki enam unit reaktor, sedangkan Fukushima II memiliki empat reaktor.

Pada 15:36 petang kemarin, Fukushima I Unit nomor 1 meledak. Penduduk yang berada di radius 20 kilometer dari Fukushima I dan II harus segera menjauhi reaktor. Kebocoran terjadi di reaktor itu, dan radiasinya sangat berbahaya. Menurut data, radiasi di dalam reaktor bisa mencapai 1.000 lipat.

Reaktor ini berada 250 kilometer di timur laut Tokyo. Namun, meledaknya reaktor Fukushima ini membuat banyak orang di Tokyo panik karena Tokyo Electric Power Company (Tepco) akan memberikan cadangan listriknya ke wilayah-wilayah yang kehabisan listrik, seperti Iwate, Miyagi dan area pantai timur Jepang yang lain. Ada 540,000 rumah yang tidak dialiri listrik.

Kemarin, listrik rumah kami dipadamkan. Ini berarti bahwa kami tidak dapat menyalakan pemanas ruangan. Suhu di siang hari cukup hangat, yaitu 19 derajat Celsius. Namun, pada malam hari, suhu bisa turun hingga 5 derajat Celsius.

Pemadaman listrik ini berjalan beberapa hari, atau pada waktu tidak tentu. Perusahaan besar Jepang menghentikan produksinya karena prioritas listrik diberikan ke perumahan penduduk. Toko-toko 24 jam tutup lebih awal untuk memberikan elektriknya.

Oleh sebab itu, kami telah menyiapkan dua kantong ‘darurat’ yang berisi makanan kaleng, air minum, senter, pakaian hangat, selimut, korek, lilin, obat-obatan, radio, dokumen dan alat-alat survival lainnya. Hampir semua penduduk Tokyo menyiapkan kantong semacam ini. Pada Sabtu lalu, persediaan bahan makanan di toko 24 jam (konbini),  misalnya 7-11, habis. Bahkan, persediaan makanan di beberapa pasar swalayan sekitar tempat saya sudah semakin menipis.

Kami sadar bahwa kondisi kami mungkin jauh lebih baik dari penduduk di area Iwate, Miyagi dan Fukushima. Mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal, bahkan kehilangan saudara yang dicintai. Setiap hari kami,  hanya berdoa agar bencana nasional ini cepat berlalu.