Setiap orang punya tipping point. Tipping point berarti sebuah titik (waktu yang terikat tempat) dimana persepsi, kebiasaan, bahkan hidup seseorang berubah secara mendadak, dan efeknya cukup dahsyat terhadap kehidupan kita semua. Oleh sebab itu, tipping point bukan titik balik, tetapi titik perubahan. Ia merupakan titik kritis dari kondisi A ke kondisi B.
Terminologi ini kurang tahu juga berasal dari siapa. Tetapi seorang yang berjasa mempopulerkannya adalah penulis buku Amerika Malcolm Gladwell. Bukunya Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference (2000) membuat orang tersadar bahwa masing-masing dari kita hidup seperti sekarang ini karena suatu alasan yang subtil, yang halus. Dan sering tidak kita sadari. Alasan ini berbentuk materi, dan tidak bersifat spiritual atau ilahiyah. Jika spiritual ia mungkin dinamakan hidayah dalam Islam. Ada dua proposisi yang diajukan Gladwell. Yang pertama adalah “epidemik sosial sangat ditentukan oleh sekumpulan orang yang memiliki bakat sosial yang khusus dan jarang dijumpai di kumpulan lain”. Yang kedua adalah “Prinsip 80/20. 80% kerja yang diperlukan untuk menciptakan situasi tertentu ditentukan oleh 20% orang saja”. Gladwell mendasarkan proposisinya kepada statistik dan psikologi. Dua cabang ini digunakannya untuk memahami fenomena sosial yang terjadi pada abad 21. Sebagian berlaku di AS, sehingga sifatnya kontekstual, tetapi ada juga yang sifatnya universal dan menembus batas negara, budaya dan bahasa.
Buku yang terbit 13 tahun lalu ini nampaknya tidak akan usang. Alasannya, seseorang ingin memahami istilah tipping point; kemudian ingin memahami perubahan yang terjadi di dalam dirinya atau lingkungannya; kemudian ingin mengetahui sejauh mana istilah tipping point itu dapat merepresentasikan kehidupan di sekelilingnya. Intinya, tipping point adalah sebuah terma untuk merefleksikan diri.
Sayangnya, ia tidak punya kemampuan prediktif. Tipping point adalah soal after-the-fact. Ia dapat dianalisis ketika sudah terjadi. Jika belum terjadi Gladwell tidak punya alat, faktor atau parameter untuk membantu kita mengidentifikasi akankah terjadi perubahan dahsyat dalam hidup kita karena suatu titik. Contohnya ini. Apakah ketika kita minum kopi pertama kali (pada umur 7 tahun, misalnya) menyebabkan kita mencintai kopi setengah mati, dan akhirnya membuka kafe yang semasyhur Starbuck? Kita tidak tahu. Apakah ketika Musso (tokoh komunis itu) mengenal kata женщина (zhenshchina) atau femme, yang berarti wanita, di sebuah majalah Barat, kemudian membuatnya mencintai paham komunis dan berkelana ke Uni Soviet dan Perancis, kemudian melawan Belanda, dan berujung pada pembentukan Republik Soviet Indonesia? Tidak ada yang tahu.
Tipping point adalah sebuah titik yang kita ketahui setelah semuanya terjadi dan terjelaskan dengan baik. Tapi, titik ini kadang tidak hanya satu. Ia merupakan perpotongan (intersection) dari pelbagai garis kehidupan orang lain juga; yang sulit dikendalikan karena acak dan didorong motivasi yang sifatnya spiritual (agama, tuhan, pencarian makna hidup), material (uang, hubungan keluarga) dan absurd (tanpa tujuan jelas – lebih ke estetika dan sisi eksentrik).
***
Pada 1999, saya pernah diajak seorang kawan urang awak (Minang, tapi lahir di Medan) untuk makan masakan padang di sebelah Masjid Salman. Setelah makan, kami biasanya pergi ke kios buku di dekat situ. Buku-bukunya ditumpuk, rata-rata baru terbit karena 1998 merupakan tahun yang membebaskan penerbit untuk merilis buku apa saja – dari yang “kanan” sampai “kiri”. Pemahaman generasi muda ketika itu tentang Islam fundamentalis mungkin didapatkan di sana. Buku-buku terjemahan dari Timur Tengah begitu banyak. Begitu juga pemahaman anak-anak tentang istilah communist manifesto, liberalisme, dan mendadak suka dunia sophie (filsafat).
Pada saat itu, kawan saya memperlihatkan sebuah buku berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Franz Magnis-Suseno). Saya yang tidak suka membaca hanya mengenal wajah Marx yang berjanggut. Wajahnya populer, dan saya tahu nama itu dari Buku 100 Tokoh. Mengenai pemikirannya, saya tidak tahu sama sekali. Tidak tertarik. Buat apa? Komunis dulu pernah bikin onar, dan memahami pemikirannya sama artinya dengan mengembalikan potensi keonaran itu.
Tapi, akhirnya buku itu saya pinjam. Dan, saya terserap ke dalamnya. Mungkin ini disebabkan karena tulisan Romo Magnis-Suseno yang mudah dipahami, runtut dan sederhana. Mungkin pula karena pemikiran komunisme itu tidak datang tiba-tiba, tetapi dilatarbelakangi oleh kisah romantis antara Marx dan istrinya, atau persahabatan yang tak lekang antara Marx dan pengusaha Inggris, Frederich Engels. Saya sendiri tidak tahu. Tetapi yang akhirnya saya tahu dan rasakan: saya tidak berhenti membaca. Saya terus mencari buku-buku lain (Das Kapital, Mein Kampf, Thus Spake Zarathustra dan lain-lain). Membaca apa saja. Apa yang orang lain baca, saya baca juga. Bukan ingin kompetisi, tapi ingin memahami apa yang orang lain pahami; jadi kalau ngobrol bisa nyambung. Saya juga ingin menyelami semua pemikiran dan sejarah dunia. Mengapa dunia ini jadi seperti ini? Mengapa banyak sekali isme yang kemudian menjadikan Indonesia seperti ini?
Buku Marx yang diperkenalkan oleh kawan saya itu, singkatnya, adalah titik perubahan, atau tipping point. Buku itu pada akhirnya membuat saya melihat dunia dengan wajah yang berbeda. Buku itu membuat saya menyukai “menulis”. Menulis, pada akhirnya, menghasilkan keasyikan tersendiri. Tulisan yang persuasif sangat membius dan dapat membuat orang lain bergerak. Dengan tulisan, seseorang mampu mengubah persepsi dan memperkaya, atau bahkan dikritisi. Tanpa kritik, pemahaman kita akan kehidupan tidak akan berkembang.
Pada akhirnya, tipping point adalah soal manusia dan persepsi terhadap dirinya.