International Book Week


Ada yang menulis status di Facebook: “It’s the International Book week. The rules are: grab the book closest to you, turn to page 52 and find the 5th sentence and post it here. Don’t mention the title. Copy the rules as part of your status.”

Saya tergerak untuk melakukannya juga. Mengambil buku yang ada di dekat kita, membuka halaman 52, mencari kalimat ke-5 di halaman itu, dan menuliskannya di sini. Jangan menuliskan judul. Karena, seperti kebanyakan orang, saya juga menyukai buku (meskipun kesempatan membaca buku kesukaan jadi sangat terbatas akhir-akhir ini). Harusnya ini diposting di Facebook, tapi sepertinya lebih cocok diposting di blog aja. Karena saya mau break the rules 🙂

Ini yang saya dapat dari buku terdekat di meja:

Out of the three primary techniques of liquid moulding, two of the processes (RFI and SCRIMP) do not require specialised injection equipment to introduce the resin into the preform.

Fariz RM


Waktu SD tahun 80an, hanya ada satu stasiun TV di Indonesia, yaitu TVRI. Satu program yang sering saya tunggu di hari Minggu adalah Album Minggu. Program ini sudah tidak ada lagi sekarang. Isinya videoklip lagu-lagu yang baru dirilis di Indonesia.

Satu lagu yang muncul di Album Minggu pada 1988, dan masih saya ingat sampai hari ini, adalah Barcelona. Lagu ini diciptakan dan dinyanyikan oleh musisi yang populer saat itu, Fariz RM (l. 1961). Album Living in the Western World yang berisi lagu itu menjadi populer, bahkan di kalangan teman-teman SD saya. Saat itu saya pinjam kaset dari seorang teman (namanya Dwi Setyarini); dan terus-menerus mengulang Barcelona (rewind – fast forward) sampai pitanya nggak karuan. Beruntunglah kita yang sekarang bisa dengar musik lewat MP3.

Link Barcelona di Youtube

Videoklip Barcelona bagus sekali. Ada sosok perempuan Spanyol di sana. (jadi ingat seorang pelaut di Bondowoso yang bilang kalau dia sudah mengunjungi hampir seluruh negara di dunia, dan membawa satu kesimpulan: wanita-wanita tercantik di dunia ada di Spanyol!). Lagu Barcelona juga unik, berbeda dengan lagu-lagu melankolis jaman itu (Obbie Mesakh, Pance Pondaag, Betharia Sonata). Liriknya lebih optimis, ada bahasa Spanyol di dalamnya, rimanya juga pas. Musiknya sendiri rasanya dibuat dengan campuran band dan synthesizer. Beat drum-nya cukup rumit untuk ukuran jaman itu di Indonesia. Permainan bass-nya sangat khas. Ada petikan gitar Spanyol di tengah-tengahnya untuk mengisi interlude. Ada permainan keyboard dengan harmonisasi campuran jazz dan Mediterranian. Singkatnya, lagu ini menjadi hit karena berbeda.

Setelah lagu itu keluar, saya suka sekali Fariz RM. Kalau ada album baru muncul, selalu beli. Ketika mau lulus SD, Fariz RM mengeluarkan album baru. Saya langsung mengambil uang tabungan yang saya tabung sejak kelas 3 di sekolah, dan membeli album itu. Tabungannya Rp 6000, harga album 3000. Jadi hampir setengahnya habis. Selain itu, saya juga berburu album-album Fariz RM bersama grup dan artis lain (Symphony 82, Tujuh Bintang). Poster saya pasang di kamar. Berpura-pura jadi Fariz RM. Memalukan dan nggilani lah pokoknya (haha).

Tapi sejak 1992 lagu Fariz RM tidak sepopuler dulu. Irama musik yang lima tahun sebelumnya dianggap bagus jadi agak ketinggalan jaman. Mungkin orang ingin sesuatu yang back-to-basic, tidak terlalu advanced seperti musik Fariz RM yang diolah dengan sistem digital. Musik Fariz RM jadi lebih robotik, dan tidak punya jiwa. Romantisme-nya hilang; sebagian tergantikan dengan tema fenomena sosial yang serius. Fenomena serius seharusnya tidak dikatakan dalam lirik, tapi disisipkan secara implisit (seperti lagu-lagunya Sting – La belle dame sans regret – tentang reaktor nuklir). Kemudian, Fariz RM terlibat penggunaan obat bius dan pecandu minuman keras sehingga harus rehabilitasi. Masalah pribadi dan karya musik yang tidak kompetitif membuatnya kehilangan popularitas. Barangkali dia tidak jatuh miskin, tapi untuk meraih kembali kesuksesan yang lama, memerlukan waktu yang panjang pula. Sayang sekali memang karena Fariz RM punya bakat musik yang luar biasa. Dia mahir memainkan piano, drum, bass, gitar, perkusi, memiliki suara khas, dan pandai menciptakan lagu. Dia juga punya visi menggabungkan jenis-jenis musik menjadi fusion yang kemudian menjadi populer, dan diikuti beberapa grup seperti Krakatau, Karimata, Halmahera dan lainnya.

Fariz RM mungkin satu-satunya musisi 80an yang berhasil memperkenalkan dan menyisipkan jazz dalam lagu-lagu yang mudah diterima di Indonesia. Harus diakui bahwa jazz di Indonesia berkembang karena stimulasi dari karya-karyanya juga.