Mencari orang hilang di Indonesia itu sulit. ‘Sulit’ ini beda dengan ‘sukar’. Sulit ini benar-benar impossible (!), kalau sukar masih punya kemungkinan ditemukan jika ditekuni pencariannya. Pernah suatu kali saya membaca artikel di Inside Indonesia mengenai orang hilang. Mungkin sampai hari ini orang itu tidak pernah ditemukan. Tapi harapan harus tetap ada. Apalagi internet sudah masuk desa bahkan pedagang asongan pun punya ponsel.
Dosen mengingat mahasiswa itu biasa. Biasanya yang diingat yang pintar, yang bandel atau yang berkesan. Pernah suatu hari saya menemukan email Prof. Oetarjo Diran mengenai bekas mahasiswanya. Mahasiswa itu bernama Purboyo. Emailnya pendek, tapi cukup menyentuh. Berikut saya posting email itu, dengan keyakinan bahwa siapa saja yang membacanya, kemudian kebetulan bertemu Pak Purboyo, bisa menghubungi saya atau Prof Diran.
Mencari Purboyo
Oleh Oetarjo Diran
Ada pengalaman kecil namun tidak pernah saya lupakan.
Pada suatu senja, setelah Maghrib, di rumah ‘angker’ Jalan Dago No. 116 ada seorang mahasiswa datang dan mohon untuk diskusi [mengenai tugas akhir] dengan saya. Seperti biasa, dia langsung saya ajak makan (bukan nasi goreng, lupa apa). Setelah makan malam, saya tanyakan ada masalah dengan penulisan tugas akhir?
Dia bilang, “Tidak, ketikan sudah hampir selesai, kecuali bagian kesimpulan yang masih ada coretan pensil merah Pak Diran, dan belum saya perbaiki.”
Dia menyambung, “Namun, saya mohon ijin untuk pulang kampung malam ini, karena saya merasakan saya terpanggil untuk langsung membantu kaum saya di desa.”
Kaget saya! Apakah karena putus asa dengan ‘galaknya’ pertanyaan-pertanyaan sulit yang saya berikan, yang selalu menghasilkan coretan pensil warna merah? Saya mencoba mengerti …
Namun, atas setiap pertanyaan, nasihat atau dorongan imaji untuk terus menyelesaikan TA (yang dalam estimasi saya hanya tinggal pengetikan dan perubahan-perubahan kosmetika), saya bujuk dia agar pulang kampungnya diundur, katakan, sampai minggu depan. Dan, saya janjikan kepadanya supaya dapat melakukan sidang TA awal minggu depan.
Beliau ternyata tidak dapat dibujuk, dan bersikeras dengan sopan, bahwa “Saya terpanggil, Pak … dan saya rela untuk menjadi helai rumput hina di pematang sawah tempat kerabatku berpijak …”
Saya segera memberikan counter argument, dan menyatakan bahwa beliau akan lebih bermakna dan berguna bagi kaum kerabatnya bila menjadi pohon besar, kuat dan rindang tempat orang berlindung dan menikmati buahnya.
Pembicaraan terus berlangsung hingga menjelang tengah malam. Kira-kira pukul 00:00 malam beliau berdiri, mohon maaf dan minta ijin pergi. Saya kemudian antarkan beliau sampai di kegelapan Jalan Dago, di mana akhirnya saya lihat beliau menghilang dalam angkot yang masih tersisa saat itu.
Sampai saat ini saya kehilangan jejak beliau. Namun, keharuan saya akan kemauan yang terfokus dan tak tergoyahkannya itu tetap saya bawa dan rasakan hingga hari ini.
Apakah di antara anda yang pernah kuliah pada tahun 70-80an di ITB ada yang kenal beliau? Kalau ingatan saya yang penuh hiatus ini benar, maka namanya adalah Purboyo. Adakah teman seangkatannya yang masih kenal dan/atau berhubungan dengan beliau? Dan, dapatkah anda menghubungkan saya dengan Pak Purboyo?