Dokter Djawa


Dukun itu digdaya, powerful. Pada abad 19 di tanah Jawa, mereka adalah ahli pengobatan tradisional, ahli tumbuhan berkhasiat, (kadang) pengguna kekuatan spiritual. Tapi yang terpenting, mereka banyak menyembuhkan orang sakit, dan profesinya sangat merakyat. Orang Jawa tidak bisa hidup tanpa dukun.

Dukun itu digdaya. Profesi, ketenaran mereka, serta keinginan untuk memperkenalkan (baca: memaksakan) pengobatan Barat (western medicines) ke Hindia Belanda membuat pemerintah kolonial Belanda membuat sekolah kedokteran di tanah Jawa.

Tahun 1851, berdirilah Dokter Djawa School di Batavia. Sekolah ini diperuntukkan bagi orang Jawa yang ingin jadi dokter. Gelarnya: Dokter Djawa. Sekolahnya hanya 2 tahun. Setelah lulus, dokter djawa diharapkan kembali ke kampungnya, menjadi asisten dokter Belanda atau menjadi vaccinator (tukang vaksin). Ia mendapat gaji dari pemerintah. Tahun 1863, lama sekolahnya menjadi 3 tahun; kemudian tahun 1875, menjadi 7 tahun dan gelarnya berganti jadi Dokter Medis.

Awalnya, Dokter Djawa tidak terlalu dipercaya membawa kotak obat-obatan sendiri. Ia harus meminta obat-obatan dari dokter Belanda. Namun, hal ini lambat laun berubah. Peran profesional Dokter Djawa makin diakui. Sekurangnya, 50% dari mereka tidak hanya berperan sebagai vaccinator belaka, tapi dokter betulan.

stovia_7

(Sumber: Foto milik Depkes RI dan UI, direproduksi oleh BKusmono bulan Juni 2008 di Senayan)

Dokter Djawa sebenarnya punya status sosial dan eksistensi yang agak ambigu: ia bergaji lokal, tak seperti dokter Belanda yang bergaji besar; meski fasih berbahasa Belanda, ia tetap outsder di kalangan dokter Belanda; meski ia lebih terlihat membumi, penduduk miskin tetap memilih pergi ke dukun karena ongkosnya lebih murah.

Isu lain (dan menggegerkan) yang muncul saat pendirian Dokter Djawa School adalah payung, atau parasol, sebuah payung kecil. Pada masa itu, parasol adalah simbol status sosial. Payung model ini hanya dimiliki wedana, bupati, administrator Belanda, kepala pengairan dan eselon tinggi di pemerintahan. Payung-sebagai-simbol ini agaknya hanya berlaku di Jawa. Ia memberikan penegasan tingkat sosial, kepercayaan diri, wibawa dan kekuasaan.

Banyak Dokter Djawa yang berjuang mendapatkan parasol ketika lulus sekolah. Tetapi perjuangan ini berbenturan dengan kenyataan bahwa dokter seharusnya tak membentuk demarkasi antara pasien dengan dirinya. Ia seharusnya tak menurunkan tabir antara pasien dan dirinya. Pemerintah Belanda beralasan bahwa pasien dan Dokter Djawa seharusnya tak ada batas, tak dipisahkan oleh ‘sekedar’ parasol. Oleh sebab itu, Dokter Djawa tak kunjung mendapatkan hak mengapit parasol.

Tapi jaman lambat laun berubah, dan ia mulai berpihak pada Dokter Djawa.

Dalam risalah pendeknya The Unbearable Absence of Parasols: The Formidable Weight of A Colonial Java Status Symbol, Liesbeth Hesselink (yang kemudian menulis buku berjudul Healers on the Colonial Market – Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies, 2011) menulis bahwa pada tahun 1882, seorang Dokter Djawa bernama Mas Prawiro Atmodjo memperjuangkan kembali masalah parasol ini. Setelah melewati birokrasi yang berliku, Gubernur Jenderal Belanda akhirnya meluluskan permintaannya agar Dokter Djawa berhak mendapatkan parasol. Tapi sayangnya, momentumnya tak pas: ketika ijin mengapit parasol sudah dikeluarkan Belanda, kekuatan parasol sebagai simbol status sosial kian memudar. Parasol kurang mandraguna. Parasol kurang memberikan bobot sosial.

Buku: History of Java & Petani Silicon


#1

Akhirnya saya punya juga buku Profesor Samaun Samadikun, Sang Petani Silicon Indonesia. Saya sendiri tidak pernah ngobrol secara langsung dengan Pak Samaun, tapi barangkali pernah berpapasan waktu saya bekerja di PAU-ITB. Sebelum itu, salah seorang famili sering menyebut nama beliau. Jadi, nama beliau ini tidak asing bagi saya. Sayangnya, keingintahuan saya makin besar setelah beliau wafat. Terlambat deh.

Dua tahun setelah Pak Samaun wafat (d. 2006), buku ini diterbitkan. Awalnya buku ini ditujukan untuk memperingati 100 harinya. Tapi kemudian malah jadi buku yang diterbitkan LIPI. Bagus juga sih. Digambarkan dalam buku ini, persona Pak Samaun: cendikia, sederhana, rasional, sabar, terbuka, sopan dan pekerja keras.

samaun-bukuHobinya ngutak-ngatik radio sejak kecil, lulus dari ITB dalam 4 tahun (1951 – 1955), dapat PhD dari Standford tahun 1971. Panggilannya “Djon” atau “Djoni”. Ayahnya bekas Gubernur Jawa Timur, R. Samadikun (1949 – 1958). Seperti kebanyakan orang Jawa, namanya hanya satu: Samaun. Jadi, yang dia tulis di thesis PhD-nya ya hanya Samaun. Ini agak janggal buat orang Amerika.  Beliau adalah penggagas Bandung High-Tech Valley, sebuah area yang ekivalen dengan Silicon Valley di California: pusat bisnis berbasis teknologi dan start-up companies. Dari buku itu saya menemukan bahwa Pak Samaun ini orangnya hands-on, suka bekerja dengan tangan, bereksperimen, suka hal yang detil. Ini sosok profesor yang langka, di mana umumnya, profesor itu teori thok, ngomong thok, dan jarang masuk ke ranah teknikal dengan mahasiswanya. Pak Samaun sepertinya tidak. Beliau mau tahu apa dengan rinci dan terstruktur persoalan teknikal. Beliau juga “kaya” tapi duitnya tidak di account-nya, melainkan di”simpan” orang lain. Terbukti ketika beliau perlu dana operasi di Australia, dalam tempo beberapa jam, uang 250juta cepat terkumpul dari kawan dan murid-muridnya. Orang baik ternyata tidak hanya di komik, tapi di antara kita semua.

Buku ini berupa bunga rampai hasil tulisan kawan dan kerabat beliau selama di LIPI, ITB, Departemen Energi. Dr BJ Habibie juga menyumbangkan tulisan pendeknya. Dosen ITB cum blogger, Dr Budi Rahardjo, juga nulis buat beliau.

Silakan cari bukunya di Gramedia. Ada kok. Malah, katanya, bukunya kadang ditemukan di golongan pertanian, gara-gara ada “Petani”nya …

#2

Raffles adalah anak koki kapal. Ia bekerja sebagai asisten di kantor dagang British East-India Company, semacam VOC-nya Inggris. Ia kemudian ditugaskan di beberapa tempat, yaitu Sumatra, Jawa, Malaysia dan Singapura. Ia begitu mencintai Jawa dan menuliskan dengan rinci perihal Jawa. Apa saja dia tulis. Saya rasa klaim dia benar: dia adalah pemilik pengetahuan tentang Jawa [tempo dulu] yang paling rinci. Dia yang membawa gamelan pertama kali ke Inggris. Dia juga pandai berbahasa Melayu dan Jawa.

Buku History of Java telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh sebuah penerbit di Yogya. Senang sekali rasanya, bahwa kebebasan buku yang terjadi sejak 1998 tetap konsisten mengalirkan buku luar dalam bahasa Indonesia dengan harga yang terjangkau. Buku asli History of Java ada yang dijual USD1000 lho! Sedangkan di Gramedia kita bisa mendapatkannya dengan hanya Rp 180000,- atau USD16.

0010Buku History of Java adalah buku sosiologi dan geografi Jawa tahun 1800an. Isinya tentang sejarah orang Jawa, demografi, budaya, agama, etika, adat, bahasa, studi banding Jawa dengan Sunda, Madura, Melayu, Bugis, Cina dan lainnya. Ini barangkali buku orientalis pertama. Sayangnya Raffles hanya sebentar di Indonesia. Ia kemudian hijrah ke Singapura dan bertekad membangun sebuah wilayah yang lebih maju dibanding Bencoolen (Bengkulu),  Batavia (Jakarta) atau Bantam (Banten). Singapura adalah wilayah maju hasil kekecewaan Raffles terhadap Inggris dan Belanda. Sedangkan Jawa adalah entitas pusat kebudayaan dan kemajuan intelektual. Begitu banyak negeri ingin menduduki Jawa. Oleh sebab itu ia hengkang.

Buku ini menurut saya adalah magnum opus yang wajib dimiliki orang yang mengklaim dirinya Jawa. Menarik sekali …

2008 – Review


Judulnya mirip dengan postingan yang ditulis setahun lalu 2008: Ngapain?. Dari daftar “ngapain” yang ditulis waktu itu, paling hanya setengah yang tercapai, atau namanya partially achieved.

REVIEW TARGET TAHUN 2008

1) Olahraga! Beli raket badminton. Main di lapangan bawah.

Partically achieved – Yang tercapai hanya membeli raket saja. Mainnya malas … hehe (point: 0.5)

2) All about hard disk drive! Setiap hari harus ada sesuatu yang baru untuk dipelajari. Ingat pesan buku Unmask Japan: kaizen!

Achieved – Lumayan lah, pengetahuan ttg HDD makin meningkat. Makin sering experiment, ngoprek-ngoprek HDD (1.0)

3) Berkelana ke negeri yang tidak terkenal dengan keluarga kecil

Achieved – Tahun baru di Kuala Lumpur sama Tuti dan Ezra, plus morotuo. KL terkenal gak? (1.0)

4) Hubungi anak yang punya electric piano itu sebelum pulkam ke Indonesia. Jam session main lagu-lagu Antonio Carlos Jobim

Fail – Pernah sms sekali. Habis itu tidak pernah ketemu dia, tidak pernah main lagu Jobim (0.0)

5) Beli kamera yang agak pro. Belajar moto orang, jangan moto tumbuhan dan landscape aja. Soalnya bakal ada job nih!

Partially achieved – Udah beli kamera, tapi kamera digital kecil hehe. Kadang moto Ezra dan mamanya. Tapi job tidak pernah datang. (0.5)

6) Kirim Ezra ke playgroup, biar kenal ma lebih banyak teman. Biar terekspos banyak bahasa.

Achieved – Ezra masuk Gymboree, lanjut ke Tumble Tots di Jurong Kechil (1.0)

Total skor: 4/6 (0.67) – not bad, huh?