Mendaki Gunung Fuji


Prolog. Saya suka naik gunung sejak SD. Gunung pertama yang didaki adalah gunung Purnama, Bondowoso, yang kala itu cukup terkenal di kalangan anak SD. Katanya ada makam Dewi Sri di sana. Memang benar ada makam, tapi kurang tahu siapa yang bersemayam di sana. Selanjutnya, masih jaman SD, saya naik Kawah Ijen (2,799 m) di perbatasan Bondowoso/Banyuwangi, Jawa Timur. Ijen lebih tepat disebut gunung wisata karena dapat didaki dalam waktu relatif singkat (4 jam) dan pendaki tidak memerlukan peralatan lengkap, kecuali air minum dan makanan kecil. Hobi trekking ke gunung berlanjut di SMA. Saya ikut pecinta alam (SISPENA) dan berkenalan dengan senior-senior yang hobi naik gunung. Cerita-cerita mereka tentu menginspirasi dan memotivasi untuk melakukan pendakian juga. Ada semacam dorongan untuk membuktikan diri bahwa kita mampu menempuh perjalanan berhari-hari tanpa fasilitas memadai. Pendakian gunung juga mematuhi kaidah absurditas Albert Camus: setelah naik gunung, kita pasti turun lagi; seolah tidak ada yang didapat; begitu terus berulang. Naik gunung, turun gunung. Tanpa makna. Tapi naik gunung, setidaknya yang saya rasakan, malah membuat kita mengenali diri kita sendiri. Kita jadi tahu keterbatasan fisik atau psikis kita; kita jadi tahu kapan kita harus berhenti.

Sebenarnya tidak banyak gunung yang saya daki jika dibandingkan dengan teman-teman pecinta alam. Alasannya: pada umumnya, mendaki gunung itu menelan biaya yang cukup besar. Ada juga pendakian kere yang minim fasilitas; tapi ini tidak disarankan karena menyangkut keselamatan diri selama pendakian. Daftar gunung: Lamongan (1,651 m), Raung (3,332 m), Semeru (3,676), Gede (2,958 m), Ciremai (3,078 m). Dulu hampir sempat mau naik gunung Merbabu di Jawa Tengah, atau gunung Merapi Banyuwangi. Yang pertama itu gagal karena persiapan kurang matang; yang kedua gagal karena adik saya keburu pulang duluan (setelah hilang seminggu) sebelum saya melakukan “SAR” ke sana. Gunung yang berkesan adalah gunung Semeru karena pemandangannya bervariasi (savana, danau, hutan cemara, trek berpasir). Gunung dengan trek yang paling berat adalah gunung Ciremai.

Gunung yang baru-baru ini saya daki adalah Gunung Fuji, atau di Jepang disebutnya Fuji-san. Di Indonesia, biasanya orang menyebutnya Fujiyama (‘yama’ artinya gunung). Gunung Fuji terletak 100 km di sebelah Barat Tokyo. Ada yang bilang: seseorang dikatakan belum ke Jepang jika tidak mendaki gunung Fuji; tapi pendakian jangan dilakukan dua kali. Gunung Fuji memang tempat wisata yang paling terkenal di dunia. Fotonya menghiasi banyak kalender, bentuk puncaknya yang simetris dan bersalju sangat ikonik.

Saya mendaki Gunung Fuji antara 20 – 21 Agustus. Ini dua minggu menjelang ditutupnya Gunung Fuji untuk pendakian bebas. Jepang memasuki akhir libur musim panas dan libur sekolah. Jadi masa-masa ramai Gunung Fuji adalah Juli – Agustus. Ribu orang mendaki Fuji setiap harinya. Seperti pasar!

Peralatan. Tidak banyak yang dibawa kecuali tshirt, celana trek, kaos kaki, sarung tangan, pelindung kepala biar hangat, masker (buat menghindari debu), jaket hangat, kamera, sepatu gunung, gaiter (pelindung kaki agar sepatu tidak kemasukan kerikil), rain coat, topi, sunglasses, sunscreen, lip balm, makanan kecil (coklat batangan, permen, roti, kue kering), handuk, sikat gigi, tisu basah & kering, koin 100 yen yang banyak, air minum 2 liter, Pocari Sweat. Disarankan juga membawa climbing stick.

Rute Pendakian. Rute yang paling banyak dipakai adalah Yoshida Route. Saya menggunakan rute ini. Pertama saya naik kereta ke Kawaguchiko 5th Station. Ini adalah pos pertama pendakian. Dari 5th station kita jalan kaki ke 8th station. Saya berangkat jam 14:30 dan mencapai 8th Station, di depan sebuah penginapan kecil (mungkin namanya Ue Edoya atau Shita Edoya), jam 18:30. Di sini saya bermalam. Pukul 1:00 saya berangkat menuju puncak. Karena jalanan antri, maka saya baru mencapai puncak jam 4:20. Ini 15 menit menjelang matahari terbit. Banyak orang yang mengejar sunrise (disebutnya goraiko). Pulang pukul 8:00 dan mencapai 5th station melalui Yoshida Trail pukul 13:30. Total waktu pendakian: naik (7 jam 20 menit), turun (5 jam 30 menit).

Selain itu, ada beberapa hal unik yang perlu diketahui:

  • Di 5th station: Banyak toko-toko besar, restoran. Di sini kita bisa membeli peralatan pendakian juga, makan siang, mengirim kartu pos, menginap atau sightseeing. Di setiap station biasanya ada toilet dan pos penjaga. Ada juga hotel kecil danĀ  kios yang menjual makanan/minuman.
  • Makanan/minuman harganya 2-4 kali lipat dari di Tokyo.
  • Dari 5th station kita bisa sewa kuda sampai 7th station. Mungkin bayarnya 14,000 yen.
  • Banyak sekali turis naik gunung Fuji. Di 5th station, banyak guide yang pandai berbahasa Inggris. Tapi kemampuan bahasa Jepang sedikit-sedikit pasti sangat membantu.
  • Di 8th station: Kare dijual dengan harga 1,400 yen. Penginapan semalam (check-out jam 6 pagi) membayar 5,500 yen per orang (anak-anak 4,500 yen).
  • Di 10th station atau puncak: Banyak jualan suvenir dan makanan. Bahkan ada vending machine! Minuman di vending machine harganya 400 yen. Udon di puncak gunung fuji harganya 800 yen. Dari puncak Fuji kita bisa beli kartupos dan mengirim kartu pos dari sini. Kantor pos berjarak 30 menit dari 10th station.
  • Saya tidak melihat ada tenda di Gunung Fuji. Mungkin dilarang (?)
  • Di setiap station ada toilet yang berbayar (200 yen per orang); tidak ada penjaga; jadi sukarela. Toiletnya bau sekali; tapi tidak ada pilihan lain. Tahan nafas aja. Dilarang keras pipis sembarangan dan buang sampah sepanjang perjalanan.
  • Di setiap station kita bisa ngecap tongkat kayu yang kita beli dengan cap setiap station. Harga satu cap: 200 yen.
  • Awal perjalanan dari 5th station, bau kotoran kuda sangat menyengat.
  • Orang Jepang terkenal chic alias modis. Naik gunung pun pasti penampilanya excessive dan modis, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda. Tapi ini normal bagi kebanyakan mereka. Fashion is numero uno (in Tokyo, Paris and Milan!).

Kesan secara umum

jadi tahu kenapa kok tidak perlu naik dua kali; pemandangan gunung Fuji itu biasa aja. Gunung Fuji lebih indah jika dilihat dari kejauhan. Kalau dari dekat, mungkin kurang menarik. Gersang. Kawahnya juga kering. Terlalu ramai orang. Bahkan rombongan anak SD pun banyak yang mendaki.

Map

(credit to my friend Hembram)

Truman


Dalam film Truman (1995), Presiden Amerika Henry S. Truman sering menyebut kata “Manhattan”. Manhattan adalah sebuah nama proyek pembuatan bom atom yang dipimpin Julius Robert Oppenheimer, seorang fisikawan AS yang juga penggemar kitab Bhagavad Gita. Bom atom yang dilahirkan dari proyek itu awalnya tidak akan digunakan untuk menghancurkan Jepang. Bom itu lahir karena ketakutan terhadap Jerman.

Tapi Truman tidak pernah lupa terhadap nyawa yang “dicabut” ratusan pesawat tempur Jepang di Pearl Harbor tahun 1941. Mungkin sudah waktunya Amerika membalas Jepang dan menghentikan Perang Dunia II.

Truman ternyata manusia biasa. Jika ia menjatuhkan bom atom di Jepang, perang mungkin belum akan usai, dan ia akan terus dibenci orang-orang Jepang. Ada keraguan. Ada perasaan takut dibenci.

Kepada seorang sahabatnya, Truman akhirnya berkata:

Jika aku tidak menjatuhkan bom itu [di Jepang], akan lebih banyak lagi tentara kita yang tewas dalam serangan Jepang. Begitu juga pasukan mereka, perempuan dan anak-anak.

Pesawat pembom Boeing B-29 Enola Gay diluncurkan. Sebuah bom yang diberi nama Little Boy dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Kepulan asap berbentuk jamur bangkit dari pusat kota Hiroshima. Kota itu tersapu bersih puluhan kilometer. Hiroshima luluh lantak. Tetapi Jepang bergeming. Jepang masih belum menyerah dan terus menduduki Asia-Pasifik.

Pada hari itu juga Truman berpidato untuk warga Amerika:

Enam belas jam yang lalu, pesawat Amerika menjatuhkan sebuah bom di Hiroshima. Bom itu adalah bom atom. Kekuatannya luar biasa. Jepang memulai perang dengan menyerang Pearl Harbor. Dan perang belum akan berakhir. Kita akan menghancurkan dok mereka, pabrik-pabrik mereka, dan jalur komunikasi mereka. Kita benar-benar akan membinasakan Jepang. Ini semua semata untuk menyelamatkan penduduk Jepang dari segala kerusakan. Pemimpin Jepang menolak ultimatum kita. Jika mereka terus menolak permintaan kita, mereka akan terus mendapat serangan udara, dan mengalami kehancuran yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya di muka bumi ini.

Jepang tidak gentar. Tak ada tanda-tanda menyerah dari mereka setelah Hiroshima rata dengan tanah.

Pada 9 Agustus, sebuah bom yang jauh lebih dahsyat dan dinamakan Fat Boy dijatuhkan di Nagasaki.

Lebih dari 200 ribu orang tewas di kedua kota, dan 400 ribu orang masuk dalam daftar hibakusha (warga kedua kota yang selamat dari bom atom). Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Amerika dan sekutunya pada 14 Agustus 1945. Perang Pasifik pun berakhir. Tapi efek dari tragedi itu tak pernah berakhir hingga hari ini: para hibakusha tetap menderita kanker dan cacat tubuh.

Setiap tahun, Hiroshima dan Nagasaki memperingati pengeboman itu. Peringatan tahun ini agaknya unik karena cucu Harry Truman juga turut memperingatinya di Jepang.

Clifton Truman Daniel (55 tahun), cucu tertua Harry Truman, mengunjungi Jepang bulan ini. Ia datang didampingi Ari Beser (24 tahun), cucu Jacob Beser, pilot pesawat Enola Gay. Selain ingin ikut acara peringatan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, mereka juga ingin bertemu para hibakusha yang masih hidup.

Tapi apa sebenarnya yang mendorong mereka datang ke Jepang?

Yang mendorong Daniel untuk datang ke Jepang adalah kisah Sadako Sasaki. Empat belas tahun sebelumnya, Daniel membaca kisah Sadako Sasaki yang masih berusia dua tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Sasaki masih hidup hingga kini, dan menderita kanker.

Karena tersentuh, Daniel yang juga wartawan itu menulis tentang kisah Sadako. Tulisannya disirkulasikan ke seluruh dunia, dan seorang wartawan Jepang membaca tulisan Daniel itu. Wartawan itu pun terbang ke Amerika dan mewawancarainya. Orang Jepang ingin tahu apa efek dari kisah Sadako terhadap keturunan Truman. Setelah hasil wawancara itu disiarkan, nama Daniel Truman pun dikenal di Jepang.

Kebetulan kakak lelaki Sadako yang bernama Masahiro Sasaki membaca wawancara itu. Ia pun kemudian menghubungi Daniel dan mengundangnya ke Hiroshima. Tapi Daniel agaknya belum siap menerima kenyataan bahwa negara yang akan dikunjunginya adalah negara yang pernah dihancurkan kakeknya sendiri. Baru satu dekade kemudian Daniel dapat memenuhi undangan Masahiro untuk datang ke Jepang.

Pertemuan mereka ternyata sungguh akrab karena perang memang telah usai, dan cucu Truman itu dianggap tidak turut bertanggung jawab terhadap keputusan kakeknya. Daniel mengatakan bahwa tujuannya datang ke Jepang adalah menghormati warga Jepang yang tewas dalam pemboman itu, dan memastikan bahwa penjatuhan bom atom seperti itu tidak terjadi lagi di mana pun juga. Ia juga ingin mendengar secara langsung penderitaan para hibakusha yang lain.

Ia kemudian bertemu dengan Hiroyuki Goto yang selamat dari pemboman. Goto mengatakan bahwa ia tidak membenci Amerika. Tetapi ia masih ingat dengan jelas betapa sulitnya hidup pada masa perang seperti itu. Ia juga meyakini bahwa pemboman itu adalah takdir yang tidak dapat dihindari oleh Jepang dalam kondisi apapun. Ia pun mengharapkan bahwa pertemuannya dengan cucu Truman memberikan pesan perdamaian kepada dunia.

Namun, lebih dari itu, Goto dan juga Daniel sebenarnya punya satu tujuan yang sama: dunia yang bebas dari senjata nuklir. Ketika dunia bebas dari senjata nuklir, tidak ada lagi orang yang mengutip Bhagavad Gita seperti halnya Oppenheimer selepas melihat bom jatuh di Jepang: “Now, I am become Death, the destroyer of worlds.”