1
Innalillahi wa inna illaihi roji’uun. Ayahku meninggal dunia pada 10 April 2012, di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, pada pukul 11.54.
“Urip mung mampir ngombe” – hidup itu cuma mampir untuk minum. Begitu singkat. Namun, kisah hidupnya sedemikian panjang, sehingga tujuh hari pun tidak tuntas untuk berkisah. Sebagian diambil dari penggalan-penggalan kisah yang ditulis enam tahun lalu. Sebagian lagi ditulis beberapa hari lalu.
Kematian itu mengakhiri perjuangannya melawan penyakit stroke yang dideritanya sejak 10 bulan sebelumnya. Stroke itu bukan yang pertama, tapi yang ke-6. Ayahku terkena serangan stroke ringan pertama pada tahun 2000. Jenis stroke-nya adalah penyempitan pembuluh darah di otak. Sebelum meninggal, ibuku sendiri merawatnya di Bondowoso dan Jakarta. Ia juga dibantu oleh keluarga kakakku dan keluarga adikku di sana. Semua berjuang untuk menyembuhkan, tapi Allah berkehendak bahwa usianya hanya 65 tahun. Usia kematian ini lebih tua dibanding usia kematian ayahnya sendiri, yaitu 60. Namun, lebih muda dibanding usia kematian ibunya, 76.
Goenawan lahir di Blitar pada 26 April 1947 dari ayah bernama Nambar Dwidjo Harsono dan ibu bernama Siti Asnah. Dia anak terakhir dari empat bersaudara. Kakak paling tua bernama Prastowo (lahir 1938), kakak kedua bernama Hartati (almarhumah, lahir 1942) dan kakak ketiga bernama Harnowo (lahir 1945). Awalnya, keluarga Nambar hidup di Wlingi sampai beberapa waktu setelah kelahiran anak ketiga. Pak Nambar awalnya bekerja sebagai guru SD, mengajarkan aljabar dan olahraga. Setelah beberapa saat, ia diminta mengajar aljabar di SMP 3 Blitar. Selain mengajar di SMP 3 Blitar, Pak Nambar juga mengajar di sekolah lain untuk mencari tambahan. Kadang-kadang Pak Nambar juga memberikan kursus aljabar bagi guru-guru lain. Konon, Pak Nambar dapat melakukan perkalian tiga digit di luar kepala. Karena kejujuran, ketekunan dan kepandaiannya, Pak Nambar pernah ditawari untuk menjadi Residen Kediri yang membawahi Blitar, Kediri, Nganjuk, Trenggalek dan Tulungagung. Tawaran dari sahabatnya ini ditolaknya dengan halus. Alasannya, ia masih ingin mengajar di SMP. Pak Nambar sering mendorong orang untuk bersekolah setinggi-tingginya. Rumahnya dijadikan rumah kos, tempat orangtua di desa menitipkan anak-anaknya supaya dapat bersekolah di kabupaten. Anak pertamanya ia minta bersekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) agar kelak juga menjadi guru seperti dirinya. Tetapi anaknya menolak, dan ingin melanjutkan ke SMA. Namun karena pada 1960an itu tidak ada SMA di Blitar, maka ia harus pergi ke Malang. Anak keduanya masuk SGO (Sekolah Guru Olahraga), dan meniti karir sebagai atlit anggar nasional pada akhir 1960an. Anak ketiganya masuk Fakultas Ekonomi Unair hingga lulus Sarjana Muda. Beberapa di antara anak yang dulu kos di rumah Pak Nambar, disebutnya Kauman (di belakang Masjid Jami’), adalah Pak Mugiyanto (Ketua Komisaris PT Coca Cola Indonesia).
Goenawan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada 1960 di Blitar, SMP 1 Blitar pada 1963, dan SMA 1 Blitar 1967 (sekolah libur satu tahun pada 1966 karena pemberantasan PKI di Blitar Selatan). Pada masa SMP dan SMA ini, dia aktif menjadi ketua OSIS dan ketua IPNU (Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama). Setelah lulus SMA, dia berkeinginan untuk melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya. Dia cukup percaya diri karena meraih ranking 1 paralel di SMA-nya. Tapi sayangnya dia hanya lulus tes tulis; tes fisiknya gagal. Setelah kembali ke Blitar, dia masuk ke Fakultas Pertanian, Universitas Blitar, antara 1967 – 1968. Saat itu, dia sempat menjadi ketua senat mahasiswa Universitas Blitar, sembari memberi les untuk anak-anak SMA. Sempat ada keinginan untuk bekerja sebagai rasa frustrasi tidak diterima di FKU Unair. Namun, kakak pertamanya mengirim surat dari Amerika Serikat. Ia mengingatkan agar Goenawan melanjutkan sekolah apapun. Orang yang sudah kenal uang, biasanya malas bersekolah, demikian isi suratnya. Pada 1968, dia mengikuti lagi ujian masuk perguruan tinggi. Ketika itu ujian dilakukan terpisah-pisah di universitas masing-masing. Karena persiapan yang baik, dia diterima di tiga universitas: Fakultas Kedokteran UGM, Fakultas Kedokteran Unair dan Teknik Kimia ITS. Dia sempat ke Bandung karena ingin mengikuti ujian masuk Teknik Kimia ITB, namun ujiannya bersamaan dengan FKU UGM. Jadi, dia akhirnya pergi ke Yogyakarta. Setelah Dia mendapatkan sarjana muda kedokteran pada 1974 dari Unair, dan menikah dengan Sri Iriani. Pada 1976, ia mendapat gelar dokter sekaligus mendapat anak pertama perempuan.
2
Bioskop, 1955. Di sebuah bioskop di Blitar, sebelum film James Dean diputar, anak-anak kecil bergelantungan di pagar antrian tiket. Mereka bermain. Mereka hendak menonton, tapi ingin gratis. Di tengah desakan nanti, mereka buru-buru menyelinap dan merangsek di kegelapan sinema. Di dalamnya penuh asap rokok, tak ada AC, layar bergurat, suara parau keluar dari speaker abu-abu tua. Tapi anak-anak itu menonton dengan hati ceria: berhasil nonton film Holywood tanpa bayar. Bioskop kala itu bukan “polisi” – mereka tak akan ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Di Blitar yang masih kumuh, bioskop selalu menghadirkan impian kapitalisme dan seni peran. Tapi anak-anak itu tak peduli. Mereka cuma tahu adegan ini: tembak-menembak, baku hantam, ciuman yang kena sensor dan nama aktor.
Di antara anak-anak itu, seorang anak lalu pulang ke rumah. Ayahnya, guru matematika SMP, biasanya menunggunya sambil membaca cerita pendek. Malam ini tak perlu belajar, batinnya. Karena esok adalah hari Minggu. Anak itu lalu pergi ke bilik anak-anak kos di rumahnya itu. Ia lalu bercerita tentang film tadi, sambil action penuh semangat. Holywood-pun menyelinap ke rumahnya, lewat dirinya yang hobi ngobrol dan berkelahi itu. Tapi dia bukan anak nakal; ia selalu juara 1 di kelasnya.
Ladang, 1966. Ia memegang pedang panjang. Tapi ia tak hendak memenggal kepala. Ia hanya berdiri, berjaga, dan melihat darah tumpah di ladang. Sudah banyak kepala yang dilihatnya terpenggal di ladang itu. Ia tak tahu namanya, cuma tahu status: PKI. Ia di sisi “kanan”, oleh karenanya ia aman. Yang “kiri” mesti berlutut, badan tegak, tangan diikat ke belakang, kepala sedikit menunduk. Lalu jrot, kepala menggelinding.
Sekolah libur 1 tahun untuk pembersihan PKI di Blitar selatan.
Surabaya, 1967. Ia lulus tes tulis masuk fakultas kedokteran. Ia senang bukan kepalang. Tapi sayangnya, rasa itu cuma mampir sebentar. Seorang dokter yang memeriksa kesehatannya bilang: katup di jantungnya bocor. Jantungnya ngowos. Oleh karena itu, ia dikategorikan tidak sehat, dan tidak lolos ujian fisik. Ia tak boleh masuk fakultas kedokteran. Ia pun pulang ke Blitar dengan hati gundah. Pedih sekali. Tujuh temannya semua diterima, hanya dia sendiri yang menganggur. Ada yang sampai menangis: nenek sahabatnya yang Tionghoa. Ketika itu ia sadar bahwa sikap empati telah mampu melewati batas pribumi dan non-pribumi. Tanpa reserve.Ia pun putus asa, dan ingin bekerja saja. Putus asa dan harapan sebenarnya punya kesamaan: sama-sama ilusi. Namun, ia ingin mencari uang, ingin bekerja di bengkel. Di sana, uang receh berlimpah. Ia memiliki tiga kakak. Kakak pertamanya mengirim surat, meminta dia tetap sekolah. Sekolah apa saja yang penting sekolah. Alasannya: jika tangah sudah mengenal uang, bangku sekolah serasa haram diduduki. Tak bakal ada keinginan untuk kuliah. Pendidikan adalah bekal untuk mandiri. Ia pun berkuliah di jurusan pertanian, Universitas Blitar. Satu tahun kemudian, yaitu 1968, dia ikut tes kedokteran kembali; dan diterima. Tapi entah bagaimana caranya dapat lolos tes kesehatan … Di sana, tujuh teman lainnya tengah menunggunya di tingkat satu. Karena semua tak naik kelas …
Tahun 1976 ia lulus.
Irian Jaya, 1978. Ia masuk wajib militer karena fasilitasnya cukup menjanjikan daripada menjalani PTT di pedesaan. Namun ia harus dikirim ke DOM dulu. DOM adalah daerah operasi militer. Kala itu, mungkin ada tiga DOM di Indonesia: Irian Jaya, Timor Tumur dan Aceh. Ia dikirim ke Irian Jaya, dan berada di barak medik. Statusnya baru: dokter tentara. Satu tahun lamanya ia berada di daerah operasi militer di Jayapura. Kadang masuk hutan untuk berburu kasuari. Ia lahap dengan kasuari meski dagingnya alot, katanya.
Bondowoso, 1980. Tahun 1980 ia ditempatkan di Batalyon 514 Bondowoso. Namun pada 1982, ia mengundurkan diri. Pada 1985 ia menjadi kepala rumah sakit daerah di Bondowoso. Ketika ditanya kenapa keluar dari dinas ketentaraan, dia menjawab: bosan dengan protokoler dan formalitas militer, karir juga mentok karena dia bukan lulusan Akabri. Ia juga ingin jadi orang sipil. Ia lalu mulai hidup bersama istri dan tiga anaknya di sana. Ia tak bisa berbahasa Madura yang jadi bahasa daerah di situ. Jadi ketika mendapat pasien yang hanya bisa berbahasa Madura, ia selalu memanggil pembantunya untuk menerjemahkan. Namun, kini ia lancar berbahasa Madura. Ia pun sering melucu dengan bahasa Madura.
Jember, 1997. Ia pernah bertanya: bagaimana caranya mengetahui bahwa seseorang akan dipanggil tuhan? Pasti ada cara, begitu kata pikiran pragmatisnya. Hanya tuhan yang tahu. Tapi tuhan pasti memberi tanda. Tanda ini yang mungkin kita bisa tahu. Kalau bukan tanda, mungkin gejala. Tak perlu lewat indera, tapi lewat batin. Dia membaca banyak buku, lalu bertanya sana-sini. Apa yang membuatnya begitu? Tahun itu ia menyaksikan nafas terakhir ibunya. Genggaman ibunya perlahan melemah di tangannya, setelah sebelumnya mata ibunya sempat terbelalak, seperti melihat sosok malaikat maut. Tapi nafasnya lepas dengan tenang. Ibunya melihat sosok yang tak mampu ia lihat. Ia ikhlaskan ibunya.
Jakarta, 2003. Ia sering ke Jakarta. Mungkin setiap bulan. Alasannya jelas: menengok cucu. Ia mendapat kesenangan baru di hari tuanya. Bermain-main dengan cucu membuatnya memiliki semangat hidup. Anak-anaknya mencintainya karena dia pribadi yang hangat, pintar, kocak dan membebaskan. Inginkah ia anak-anaknya menjadi dokter? Keinginan selalu ada, tapi ia tak memaksakan. Sekolah dokter itu lama, orang akan bosan, kemudian menyesal. Pekerjaan begitu sulit, dokter sudah banyak.
Bondowoso, 2004. Setelah pensiun dari RSUD Tuban, Ponorogo dan Lumajang, ia akhirnya kembali ke Bondowoso. Baginya, Bondowoso adalah kota yang dicintainya. Semua-mua dibandingkan dengan Bondowoso. Misal: “Oh kota ini sepi ya. Mirip Bondowoso kalau gitu.” Selama beberapa tahun ia tetap bekerja di RSUD Bondowoso, di bagian rehabilitasi medik. Namun ia berhenti dari sana karena lelah juga rasanya. Setiap sore hingga malam ia masih buka praktek umum untuk pasien-pasien langganannya. Ia masih aktif memberi kuliah subuh di masjid At Taqwa, biasanya di hari Minggu; tentunya mengenai hubungan antara kesehatan dan agama. Ia masih suka menonton film; tapi tak lagi bergelantungan dan menyelinap di kegelapan sinema; sekarang tubuhnya tak lagi gesit. Holywood masih mampir di kota kecil itu. Lewat DVD.
Bondowoso, 2011. Aku pulang ke Bondowoso karena tribencana di Jepang. Tapi, mungkin itu ‘blessing in disguise’ – hikmah di balik kesusahan. Aku akhirnya bisa bertemu ayahku yang kala itu gagal menyiasati sakitnya sendiri. Itu stroke-nya yang ke-6. Stroke yang pertama hingga ke-5 selalu berhasil dia siasati, begitu kira-kira. Sejak stroke ke-6 itu, yang berawal pada Januari atau Februari 2011, ia tak pernah benar-benar pulih. Tapi pada bulan Maret, ketika aku pulang, ia masih dapat menulis resep untuk dirinya sendiri. Resep itu kemudian aku bawa ke apotik untuk membeli obat. Herannya, dengan tulisan semacam itu, apoteker masih mampu men-decode tulisannya! Benar-benar dunia yang aku tidak mengerti kode-kodenya …
Meski Bondowoso adalah kota yang dicintainya, tapi Jakarta punya fasilitas yang lebih baik dalam hal kesehatan dan perawatan. Jadi, ia harus pindah ke Jakarta atas saran adikku. Di Jakarta pula, ia nampak lebih ceria karena semua cucunya di sana. Dan, di Jakarta pula, ia harus menghembuskan nafas terakhirnya.
Untuk ayahku. (26 April 1947 – 10 April 2012)