Review 2013


Hari ini mau pergi ke pertemuan teman-teman Indonesia yang kuliah di TMU (PPI-TMU). Katanya mau ngadain pemilihan ketua baru, makan-makan dan perpisahan. Akhirnya, pagi bangun dan saya mesti bikin cumi saus merah (apa aja dimasukin). Ini fotonya.

cumi-saus-tiram

Dulu awal Januari 2013 pernah nulis tentang harapan-harapan yang ingin dicapai tahun 2013. Apa aja yang tercapai ya …

1) Wisuda dan dapat kerja! (tercapai)

Akhirnya wisuda juga tanggal 25 Maret 2013, dan dapat posisi di TMU. Akhir tahun, dapat kerja lagi di universitas lain.

2) Menerbitkan buku (teknik atau humaniora) (tercapai)

Inginya sih menulis buku tentang komposit berbahasa Indonesia, atau menyelesaikan buku sejarah. Tapi tidak berhasil. Yang berhasil menulis thesis tentang komposit berbahasa Inggris. Mirip buku juga sebenernya.

Print

3) Menulis paper di jurnal (tercapai)

Bulan April 2013 memasukkan dua paper ke dua jurnal berbeda (Composites Science & Technology dan Composites Part A). Untuk CST, paper alhamdulillah akhirnya diterima (accepted). Untuk Comp A, paper mesti dirombak dan disubmit kembali beberapa hari yang lalu (sekarang masih under review). Selain itu juga mendampingi teman menulis paper (sebagai co-author). Alhamdulillah papernya diterima juga di Composites Part B. Jadi, dua paper diterima. Paper is a currency of a researcher.

S02663538

4) Beli gitar acoustic electric atau semi-hollow body (mirip punya George Benson) (tidak tecapai)

Ingin sekali main gitar lagi. Tapi berhubung tabungan tidak mengijinkan, maka tidak bisa beli gitar ini.

5) Berlibur ke luar Jepang bersama keluarga (jika masih di Jepang) (tidak tercapai)

Alasannya sama dengan di atas. Tapi alhamdulillah bulan Februari 2014, impian itu tercapai. Disebutnya libur ‘sangat’ panjang! Seperti halnya ke Jepang waktu 4 tahun lalu.

6) Menginisiasi scholarship/fellowship di kampung halaman (tidak tercapai)

Alasannya sama dengan di atas. Tapi kalau mengijinkan, tahun depan mulai diusahakan.

***

Hanya 50% yang tercapai.

Gus Dur


Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) adalah sosok yang kontroversial di Indonesia. Setelah menjadi presiden Indonesia pada 1999, mungkin hampir setiap hari media merilis berita tentang dirinya. Gaya komentarnya yang lugas dan variatif dianggap nyleneh. Opininya yang berganti-ganti mengenai apa saja sering dianggap mencla-mencle. Saya sendiri (jika harus objektif – dan seringkali sulit) merasa bahwa Gus Dur ‘harus’ menjadi seorang presiden kala itu semata untuk beberapa alasan: menghindari perpecahan karena Indonesia belum siap menerima presiden wanita (Megawati); membuka wawasan bangsa mengenai kata ‘demokrasi’; memperbaiki dan menjalin hubungan dengan berbagai negara; memberikan teladan kepada siapa saja mengenai keterbukaan, kesederhanaan, pemikiran intelektual, pembelaan kepada kaum lemah, pluralisme, dan perdamaian. Lebih dari itu, Gus Dur rasanya tidak cocok menjadi presiden. Beliau bukan tipe seorang administrator dengan konsep manajemen kenegaraan yang baik. Manajemen negara yang terencana pernah dicontohkan oleh Suharto (minus gaya represif dan korupsi tingkat tinggi).

Saya mendengar nama Gus Dur mungkin ketika masih umur belasan. Setelah membaca majalah, ayah saya tiba-tiba bilang dalam bahasa Jawa: “Gus Dur ini ketua Nahdlatul Ulama (NU) yang jelas-jelas Islam-nya kuat sekali. Tetapi pemikirannya luar biasa dan sulit dipahami orang awam. Bayangkan, dia menganggap bahwa manusia di dunia ini, meskipun agamanya beda-beda, sebenarnya menyembah satu tuhan.”

Saya ketika itu hanya manggut-manggut saja, meskipun sama sekali tidak paham!

Fast forward. Tahun 1999, saya sering mangkal di kios buku dekat masjid Salman. Sering sekali, mungkin hampir tiap hari. Saya kemudian membeli beberapa buku. Dua buku yang masih saya ingat adalah Tuhan Tidak Perlu Dibela dan Prisma Pemikiran Gus Dur. Buku pertama berisi kumpulan kolom Gus Dur di majalah TEMPO, sedangkan yang kedua dari majalah Prisma. Buku pertama terkesan lebih rileks meskipun yang dibahas adalah hal-hal serius, dan diberi komentar yang substansial. Buku kedua lebih serius (baca: akademik) karena Prisma memang nampaknya dibaca kalangan intelektual bidang sosial; jadi sudah punya segmen yang ketika itu terbatas.

Dari dua buku itu, yang kemudian saya lanjutkan ke buku-buku lain, saya menemukan pencerahan mengenai sosok Gus Dur. Bukan Gus Dur sebagai seorang presiden, tetapi seorang kyai (makna tradisionalnya adalah pengasuh atau guru di pondok pesantren) yang memiliki wawasan ilmu sosial yang luar biasa. Khazanah pengetahuan Islamnya sangat terkemuka (bahkan pemahaman tentang agama-agama lain juga); pengetahuannya mengenai filsafat dan pemikiran Barat juga sangat dalam. Tetapi Gus Dur juga sangat tradisional, sangat Jawa, sangat Indonesia.

Greg Barton kemudian menulis buku biografi mengenai Gus Dur ketika beliau menjadi presiden: Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Greg, yang seorang akademisi dari Australia, mengupas tuntas tentang sosok Gus Dur dari kecil hingga masa dilengserkannya sebagai presiden.

Gus Dur memang bukan lahir dari keluarga kebanyakan. Ia adalah anak kyai juga, yaitu KH Wahid Hasyim, yang pernah menjadi menteri agama jaman Sukarno. Wahid Hasyim punya pemikiran sangat maju sehingga mengijinkan Gus Dur mendapatkan les privat bahasa Belanda dari mu’alaf bernama Iskandar, membaca buku-buku ‘komunis’ (seperti What is to be done karangan Lenin), mendengarkan musik. Saya sendiri tidak pernah membayangkan bahwa seorang kyai akan membiarkan anaknya mendapat privilege (atau diberi ijin) semacam itu. Kakeknya adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Bahkan jika dirunut lebih jauh, Gus Dur adalah keturunan seorang darah biru keraton Yogyakarta (atau Solo ya?) yang berguru langsung kepada Sunan Kalijogo. Jadi, Gus Dur sendiri senantiasa mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa yang ‘kebetulan’ memeluk Islam, bukan orang Arab atau manapun yang memeluk Islam. Gus Dur juga selalu merasa bahwa tugas dia di Indonesia adalah mempersatukan bangsa yang majemuk dengan berpedoman kepada Al-Qur’an, hadits, filosofi Islam sebagai rahmatan lil-alamin (Islam yang membawa kebaikan bagi semua umat manusia tak membedakan agama, ras apapun), dan nilai-nilai tradisi bangsa. Mudahnya, mendekati orang Indonesia atau memecahkan persoalan di dalamnya tidak bisa memakai cara Romawi, Arab atau Galia, tetapi dengan cara Indonesia; cara, laku, tradisi dan bahasa  yang dipahami orang-orang Indonesia (bukan cara asing).

Gus Dur casing-nya kurang representatif (meskipun masa mudanya usia belasan atau 20an cukup lumayan). Penampilannya apa adanya. Tidak tampan pula. Tetapi kalimat-kalimatnya mengandung kebenaran, meski sering dicap media mencla-mencle. Matanya tidak dapat melihat dengan baik karena otot yang mengendalikan matanya tak berfungsi sempurna. Tetapi daya ingatnya yang luar biasa mengenai apa saja (dari ayat Al-Quran, kitab-kitab kuning hingga novel Satanic Verses – Salman Rushdie) hingga nomor telpon membuatnya representatif untuk sosok intelektual.

Gus Dur mencintai siapa saja, meskipun secara terbuka ia menyatakan bahwa musuhnya hanya satu, yaitu Suharto. Ini pun dia mengatakan bahwa kalau hari raya mereka tetap maaf-maafan. Jadi, intinya dia tidak punya musuh. Kalau meminjam kata-kata Emha Ainun Najib, Gus Dur mencinta pandawa dan kurawa. Dia tetap mencintai siapa saja meskipun dihina dan diolok-olok. Sosok dengan moral absolut seperti ini (menurut Gus Dur sendiri) dimiliki oleh YB Mangunwijaya, arsitek-sastrawan-rohaniwan yang terus membela orang-orang miskin di Kali Code, Yogyakarta. Mangunwijaya adalah sahabat Gus Dur dalam Interfidei.

Tradisi pesantren di Jawa menganggap bahwa ‘kelayapan’ ke pondok-pondok itu biasa. Misalnya, satu tahun di Pondok Tambak Beras, dua tahun di Krapyak, enam bulan di Gontor. Mondok atau meguru yang berpindah-pindah itu biasa. Ini adalah tradisi orang mencari ilmu sejak berabad-abad lampau. Setelah menguasai ilmu dari kyai A, pindah ke ilmu lain dari kyai B. Intinya, terus belajar kepada siapa saja dan di mana saja. Ini adalah bentuk pengembaraan intelektual yang sebenarnya. Rumah baginya adalah tempat di mana langit biru mencurahkan warnanya kepada bumi. Bukan rumah tembok yang kita huni. Dan, sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat bagi siapa saja (bahkan bagi orang yang membencinya). Ini mungkin pula substansi dari ajaran tasawuf: mempunyai akhlak yang baik dan memberikan cahaya bagi manusia. Tetapi, tentunya, tasawuf pasti lebih dari itu: amalan dan ilmunya pasti juga tinggi, terutama soal ikhlas dan kecintaan kepada tuhan (bahkan mungkin meng-ikhlas-kan tuhan untuk memasukkannya ke surga atau neraka).

Karena mengembara itu biasa, maka Gus Dur pergi ke Timur Tengah pada usia awal 20an, setelah menimba ilmu di beberapa pesantren. Sebelum ke Timur Tengah, pengetahuan bahasa Arabnya sangat baik dan memungkinkannya membaca kitab-kitab kuning yang tanpa harakat. Kitab kuning adalah kitab-kitab yang ditulis ulama atau sarjana Islam mengenai persoalan agama (intinya adalah opini). Gus Dur pergi ke Mekkah-Madinah dulu, kemudian lanjut ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Untuk masuk Al-Azhar, setidaknya seorang calon mahasiswa harus hafal beberapa juz Al-Quran (mungkin 12 juz). Setelah masuk, Gus Dur kecewa karena Al-Azhar mewajibkannya mengambil kursus bahasa Arab lagi. Sebagai bentuk protesnya, ia tidak pernah masuk kelas, dan hanya ikut ujian saja. Selama lebih dari 2.5 tahun, hidupnya diisi dengan pergi ke pusat informasi/universitas Amerika di Kairo untuk membaca buku-buku Barat, nonton film, nonton bola, ikut berdiskusi di warung kopi. Kelakarnya, selama 1000 hari di Kairo, ia menghabiskan waktu 500 hari untuk nonton film.

Abdurrahman_Wahid_youth

Karena gagal mendapatkan gelar dari Al-Azhar, ibunya mencarikan beasiswa lain supaya ia bisa lulus. Ia akhirnya berhasil ke Universitas Baghdad dan menyelesaikan sarjana selama 4 tahun. Ia kemudian pergi ke Eropa (ada kemungkinan mampir ke Moskow juga) untuk melanjutkan studi S2 atau S3. Sayangnya ijazah dari Baghdad tidak diakui. Ia akhirnya luntang lantung dari satu perpustakaan satu ke lainnya di Eropa. Ia pergi ke Belanda, Jerman dan Perancis dan membaca buku-buku di perpustakaan di universitas-universitas besar. Semua ilmu Barat dilahapnya.

Bagaimana Gus Dur mendapat uang untuk hidup selama 1.5 tahun di Eropa? Meskipun berasal dari keluarga kyai (yang mungkin berkecukupan), Gus Dur tidak mengandalkan keluarganya. Di Eropa, ia bekerja sebagai tukang setrika di sebuah binatu yang dimiliki keluarga Tionghoa. Di sana, Gus Dur belajar menyetrika baju hingga licin dan melipat hingga rapi. Di sela-sela menyetrika itu pula, ia berinteraksi dengan budaya Tionghoa; kadang juga mendengarkan musik klasik. Selain itu, Gus Dur juga bekerja sebagai tukan pel di galangan kapal. Bekerjanya dua minggu sekali, dan uangnya cukup untuk hidup. Selebihnya, ia menggunakan waktu untuk membaca buku di perpustakaan.

Sepulang dari Eropa, Gus Dur mengajar di beberapa pesantren dan universitas. Hidupnya belum berkecukupan sehingga ia harus membantu istrinya ngider untuk berjualan es lilin dan kacang. Selain itu, ia juga sering menulis untuk kolom-kolom koran dan majalah. Dari pendapatannya ini, ia akhirnya dapat hidup bersama istri dan empat anak perempuannya. Setelah Gus Dur digadang-gadang sebagai calon ketua NU, ia harus pindah ke Ciganjur, Jakarta. Di sana, ia akan lebih dekat dengan titik kekuasaan negara, sekaligus dapat sering berkunjung ke pesantren-pesantren di daerah lain dengan pesawat.

Setelah menjadi ketua NU (1984-1996), Gus Dur melakukan reformasi NU dan pesantren. Studi-studi pemikiran Islam mulai digagas di pesantren-pesantren, bahkan juga studi interpretasi Al Quran yang jaman sekarang mulai ‘diharamkan’ oleh mereka yang berpandangan sempit dan terpengaruh Wahabi). Gus Dur juga aktif membela rakyat kecil karena ikut pula dalam LSM. Protesnya cukup keras terhadap pemerintah (rezim Suharto). Karena Gus Dur semakin populer, pendukung NU semakin besar dan mencapai puluhan juta. Suharto mulai takut sehingga mendirikan ICMI yang dipimpin Habibie. Gus Dur menolak untuk ikut serta dalam ICMI karena ia ingin mengurusi orang-orang kecil, bukan elit politik. Akhirnya Gus Dur berhenti menjadi ketua NU agar dapat berdamai dengan Suharto pada 1996. Pada 1997, krisis moneter menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia, dan Suharto dilengserkan pada 1998. Selebihnya, adalah masa-masa Gus Dur menjadi presiden dan tahun-tahun terakhir hidupnya hingga wafat pada 2009.

***

Saya sering dipandang sebagai orang yang mengagumi Gus Dur (atau bahkan simpatisan). Tidak hanya oleh kawan, tetapi juga istri dan keluarganya. Saya biasanya hanya senyum-senyum saja tanpa mengiyakan atau menolak. Saya juga tidak berusaha mempengaruhi siapa-siapa. Saya sendiri bukan lulusan pesantren yang paham ilmu-ilmu agama. Saya juga bukan orang yang bergerak di bidang keagamaan atau sosial. Saya hanya menggemari pemikiran-pemikiran Islam dan Barat serta sosiologi. Keinginan saya hanya ingin memahami respon manusia terhadap suatu paham dan alasan mereka menjadi seperti sekarang. Setiap hal pasti ada alasannya. Manusia bertindak ini-itu karena suatu alasan. Alasannya boleh jadi (dan seringkali) sangat sepele dan dikendalikan hati, bukan isme. Tetapi ada juga yang murni karena isme dan pedoman hidup. Ini yang perlu dipilah-pilah, sehingga pada akhirnya kita sendiri dapat memberikan respon yang pantas. Inti dari kehidupan adalah perdamaian, bukan gontok-gontokan. Nah, sebagian besar pemikiran-pemikiran sebagai suatu respon terhadap persoalan sosial dan politik bangsa kita dapat kita temukan dari buku-buku atau tulisan Gus Dur. Jangan apriori terhadap sosoknya (yang citranya dibuat-buat oleh politicized media). Tapi bacalah dan selami pemikiran-pemikirannya, ide-idenya, referensi bacaan yang bakal membuat anda terpukau dan terus mencari asal-usulnya. Gus Dur memahami pemikiran Islam fundamentalisme, Quran, hadits, tasawuf, ilmu logika, sastra Arab, sosiologi Arab, politik dan peta pemikiran Barat, filsafat Eropa jaman pencerahan, hingga postmodernisme.

Tetapi setelah lebih dari 14 tahun saya membaca Gus Dur, baru beberapa waktu lalu istri saya bilang bahwa ia juga mengagumi pemikiran Gus Dur. Ia tidak pernah menganggap Gus Dur sebagai sosok yang saya lihat selama ini. Alasannya karena memang belum pernah membaca secara detil mengenai pemikirannya. Tanpa saya pengaruhi, ia membaca buku baru Ilusi Negara Islam. Dari situ, barulah ia memahami pemikiran Gus Dur, dan bahaya laten Islam fundamentalisme di Indonesia. Dalamnya tulisan Gus Dur (meski berbentuk kata pengantar saja) juga dapat dibaca di sana.

Link: http://www.libforall.org/pdfs/ilusi-negara-islam.pdf.

***

Hampir lupa, Gus Dur adalah mesin yang dapat mengubah soto Kudus menjadi humor. Artinya, dia gemar makan soto Kudus itu (selain yang lain-lain tentunya) dan suka sekali dengan humor. Humor diciptakan untuk siapa saja, tetapi yang dapat membawakannya hanya orang-orang tertentu. Orang yang pandai ndongeng, orang yang eloquent dalam bahasa, orang yang punya folder memori besar (dan kemampuan retrieve yang baik) khusus untuk cerita lucu. Gus Dur termasuk ketiganya.

Contoh humor Gus Dur:

Suatu hari ada seorang pastor duduk sendirian naik kereta. Kemudian, seorang kyai datang dan duduk di sebelahnya. Hari masih pagi, maka sang pastor membuka sebuah bungkusan berisi sandwich untuk sarapan. Ia menawari kyai untuk sarapan bersama.

“Ini ada sandwich kalau anda mau sarapan juga. Isinya daging babi. Eh, daging babi enak lho…”

Kyai menolak dengan halus, sambil tersenyum.

Setelah beberapa stasiun terlewati, kyai mengatakan kepada pastor: “Maaf saya harus turun di stasiun selanjutnya. Kita berpisah di sini.”

Pastor agak kaget, kok baru duduk sudah mau turun.

“Lho kok buru-buru turun. Mau ke mana?”

“Oh saya mau pulang, mau ketemu istri dulu,” kata kyai.

Kyai lalu melanjutkan sambil senyum-senyum, “Eh iya, kumpul sama istri lebih enak lho …”