Personal


Bosen juga … blog ini isinya artikel koraaaaan terus. Tidak ada isi personalnya blas! Sekarang saatnya “menulis” beneran …

Multibencana

Was-was juga tinggal di Jepang. Was-was juga tinggal di negeri yang terlalu advanced.

Jepang berada di tepi pertemuan tiga lempeng benua yang labil (lempeng Pasifik, lempeng Eurasia dan lempeng Amerika). Gempa tektonik yang terjadi 11 Maret lalu itu karena pergeseran dua lempeng. Gitu aja udah 9 magnitude, dan yang kerasa di Tokyo adalah 5 magnitude. Jika ingin membayangkan, di kekuatan 5 magnitude itu keseimbangan orang sangat terganggu.

Jepang terlalu advanced. Karena tidak punya minyak dan gas bumi, maka ia membangun puluhan reaktor nuklir. Jepang dibantu Amerika dalam instalasi dan desain. TEPCO (atau PLN-nya Tokyo) menyediakan listrik bagi penduduk Tokyo, dan sumber listriknya adalah nuklir. Harga memang relatif murah. Tapi risikonya juga tinggi. Setelah reaktor meledak itu, pemerintah Jepang rajin meng-update rakyatnya. Setiap jam. Tapi contingency plan tetap tidak ada. Jepang tidak siap dengan multibencana. Jadinya ya kami kabur ke Jakarta.

Jika tiga lempeng bertubrukan … this is the end of Tokyo. Gempa ini namanya Tokai. The greatest earthquake on earth. Katanya terjadi setiap 100 – 150 tahun. Ramalannya, tahun 2010 bakal terjadi. Tapi ternyata tidak. Simpangannya 50 tahun, jadi bisa terjadi kapan saja. Be prepared

Ngomong

Waktu SD, bahkan sampai SMA, saya pemalu. Ngomong di depan kelas malu. Beli ke toko pun malu. Sumbernya adalah tidak percaya diri. Tidak percaya diri ini bersumber pada self-depreciation, tidak menghargai diri sendiri, tidak punya target, tidak punya mentor yang inspiratif. Saya terpaksa harus banyak ngomong di muka umum karena menjadi ketua organisasi pecinta alam di SMA (kebacut juga ada aja orang-orang yang milih saya jadi ketua…ehehe). Itu pun saya berkeringat dingin ketika bicara.

Saya jadi suka ngomong ketika sudah kuliah. Itu pun masih yang penting-penting aja, atau tentang hal-hal menarik (buku, musik, orang dan lainnya). Tapi hal yang mengagetkan terjadi. Setelah berumur 33 tahun, saya baru diresmikan menjadi orang yang jago nggacor. Alias, menang best presentation dalam suatu konferensi. Alhamdulillah. Ini berarti, meskipun awalnya seseorang itu pemalu, lama-lama, suatu hari nanti ada masanya anda itu ngisin-ngisini … eh gak isinan.

Aspek utama dari presentasi di konferensi dan seminar adalah kelihaian menyampaikan ide secara sederhana dan sistematis. Alat bantu lainnya adalah slides, tulisan, video, grafik dan gesture. Komponen-komponen itu harus dipersiapkan secara matang. Ada rehearsal karena ia adalah orkestra. Intonasi yang dramatis, bahasa yang lugas dan jelas harus dipakai. Hal penting lainnya: isi presentasi harus menarik. Repotnya, waktu itu, audience berasal dari berbagai bidang. Ada kedokteran, IT, politik, ekonomi, fisika. Oleh sebab itu, sebelum presentasi, dilihat dulu orang-orangnya dari mana. Kalau bidangnya beda, skip hal-hal yang kompleks. Waktu saya membuka halaman slide yang ada rumusnya. Saya bilang: “This is the governing equation to solve the problem. I know it’s complex, and it’s really hard to simplify. But, I will tell you what it means….It means … bla bla bla. And, this equation is actually based on Hooke’s law. Robert Hooke talked about a spring hanging on the ceiling, and there was a pulling force on the other end. You have force (F) acting on the spring, you have stiffness (k) of the spring, and you have displacement (d) (how far the force would go down). This equation is trying to get k! That’s all. But since the material is so complex, it’s normal to have complex equation.”

Presentasi berarti berbagi. Berbagi dengan cara yang menarik, ekspresif dan bersemangat. Harus memunculkan kesan: ini berguna sekali, ini powerful, ini mudah dimengerti.

Sakit

Papa sakit. Hanya mama yang ngurus papa. Jadi kepikiran terus. Untung adikku dan istrinya sangat membantu dengan membuatkan kamar dan mengurus perawatan rumah sakit. Mbakku juga bergantian membantu dan menjaga papa di Jakarta. They are the real heroes. Papa dulu cuma pesan satu: sing rukun karo dulur-dulure, rukunlah dengan saudara-saudaramu. Dari kerukunan itu, semuanya mungkin, semuanya berjalan mulus.

Akhirnya aku tumbang juga. Setelah non-stop enam minggu, kerja pagi hingga pagi lagi, terbang ke sana sini, akhirnya aku sakit juga. Suatu hari kepalaku sakit sekali. Gak bisa tidur, minum panadol gak mempan. Badan menggigil, panas tinggi. Jalan capek sekali, otot nyeri. Demam. Setelah dua hari, ke dokter juga. Ketemu dokter-nya Olit di Nakatani Clinic. Diperiksa dokter hanya 3 menit. Dikasih dua obat. Besoknya lumayan sembuh.

Sekarang back on track. Tapi liburan musim panas dulu … ^_^

Paper

Currency dari seorang peneliti adalah paper, utamanya journal paper. Harus sering nulis dan publish segera. Conference proceeding sebenarnya bagus juga, tapi tidak dihitung untuk dapat Ph.D. Jadi harus nulis buat journal. Kebetulan kemarin udah submit satu. Mudah-mudahan tembus deh. Padahal syaratnya tiga jurnal! Tiga bagus, kata orang JAXA. Tapi lima lebih bagus lagi! Gila, nulis satu paper yang 30 halaman itu aja pusing, apalagi lima.

Gambatte!

Piano

Olit belajar musik di Yamaha dekat stasiun Toyoda. Dari rumah sekitar 20 menit naik sepeda. Sejak tahun ini, Olit masuk kelas piano. Awalnya, dia masuk kelas bersama. Tapi karena Olit lumayan menunjukkan minat terhadap musik maka dia dimasukkan ke kelas privat. Kelas privat ini hanya 30 menit setiap minggu. Dan, sepulang kelas itu dia dapat PR. Satu lagu biasanya pendek, dan lagu ini didesain untuk anak yang baru belajar main piano. Dimulai dari mengaktifkan jari-jari tangan kanan, dan tangan kiri secara bersamaan. Les ini juga mengajarkan ketukan dan mengenal nada.  Perkembangannya cukup bagus karena Olit sering belajar sendiri tanpa disuruh. Dua buku sudah diselesaikan. Dan sekarang masuk ke buku yang ketiga. Mamanya yang gambatte ngajarin. Papanya kadang-kadang ngajarin mamanya dulu. Habis itu mamanya nge-drill Olit.

Sepeda

Olit punya sepeda roda empat yang dikasih temennya. Udah agak jelek, tapi masih bisa dipakai. Akhirnya dua roda dicopot. Setelah latihan beberapa kali, dia akhirnya bisa naik sepeda roda dua. Dia bilang kalau saat istirahat kelas di TKnya dia juga belajar naik sepeda. Sekarang kita tidak perlu bonceng Olit lagi ke mana-mana. Dia bisa naik sepeda sendiri. Tapi kapan hari dia kecelakaan, jadi pelipisnya berdarah. Lupa pakai helm. Kasian juga. Tapi 1 minggu bekasnya udah gak keliatan. Ya ati-ati nak. Jangan lupa ngerem! Hehe.

Matsumoto


Kurang lebih empat bulan setelah tiga wilayah di utara Tokyo – Iwate, Miyagi dan Fukushima – dilanda gempa dan tsunami pada 11 Maret lalu, Perdana Menteri Naoto Kan menunjuk Ryu Matsumoto sebagai Menteri Rekonstruksi Wilayah Bencana. Matsumoto saat itu menjabat Menteri Lingkungan Hidup. Pelantikan sebagai menteri baru itu diadakan pada 27 Juni 2011.

Matsumoto ditugaskan mempercepat perbaikan infrastruktur: jalan raya, kantor, sekolah, rumah sakit dan perumahan penduduk. Ia juga harus memulihkan kembali ekonomi tiga daerah itu.

Seminggu kemudian, Matsumoto hendak bertemu dengan gubernur prefektur Miyagi, Yoshihiro Murai, di kantor gubernur. Tak disangka, ketika Matsumoto masuk ruang rapat, gubernur Murai belum ada di ruangan. Matsumoto merasa kecewa karena Murai dinilai kurang tepat waktu. Padahal, Matsumoto lah yang sebenarnya datang terlalu awal.

Beberapa menit kemudian, Murai masuk ke ruang rapat dan hendak bersalaman dengan Matsumoto. Karena kesal, Matsumoto tidak menyambut jabat tangannya. Alih-alih, ia mempersilakan Murai untuk duduk.

Setelah menerima dokumen-dokumen rencana pembangunan dari Murai, Matsumoto mulai mengekspresikan kekecewaannya. Matsumoto menyatakan bahwa dokumen-dokumen itu harusnya disusun dengan baik. Jika Murai tidak melakukannya, pemerintah Jepang tidak akan membantu pembangunan di wilayah itu, begitu ujarnya.

Pernyataan ini sungguh membuat penduduk Jepang marah, terutama mereka di Miyagi. Di tengah-tengah bencana itu, ada saja menteri yang menolak memberikan bantuan karena dirinya kecewa.

Sayangnya, Matsumoto tidak berhenti mengeluh. Ia terus mengungkapkan kekecewaannya. Ia menyatakan kecewa karena harus menunggu tuan rumah beberapa menit. Ia berandai-andai: jika saja Murai pernah bergabung dengan Tim Pertahanan Jepang (Self-Defense) dan memahami arti senioritas, kesalahan semacam itu tidak akan pernah terjadi.

Setelah menyatakan kekecewaannya itu, Matsumoto mengatakan kepada wartawan bahwa kata-kata terakhirnya itu off-the-record. Ia mengancam apabila ada kantor berita yang menyiarkannya, kantor itu akan ditutup.

Pada zaman Internet ini, aliran berita sulit diredam. Siapa saja bisa masuk berita. Kapan saja.

Tidak lama kemudian, tindakan dan kata-kata Matsumoto tersiar ke seluruh Jepang (dan dunia tentunya) melalui situs http://www.youtube.com. Beberapa stasiun televisi juga menyiarkan secara penuh ucapan Matsumoto.

Jepang memang disiplin dalam hal waktu, dan menteri atau orang lebih tua memang selalu dihormati. Namun, kata-kata Matsumoto berada di luar konteks, dan kurang memberi simpati kepada korban tsunami.

Efeknya pun cepat terasa. Ucapan Matsumoto yang kontroversial itu digunakan partai-partai oposisi, terutama Partai Liberal Demokratik (LDP), untuk menjatuhkan kabinet Naoto Kan. LDP memandang Naoto Kan tidak pandai memilih menterinya Karena itu, Sekretaris Jenderal LDP, Nobuteru Ishihara, menuntut Kan agar mengundurkan diri dengan segera.


Partai Demokratik Jepang (DPJ) pimpinan Naoto Kan pun bertindak cepat. Sehari kemudian, Matsumoto mengadakan konferensi pers. Ia menyampaikan permohonan maaf secara terbuka karena telah melukai hati korban tsunami dengan sikap dan perkataannya yang kasar. Ia juga mengundurkan diri dari jabatan menteri padahal beliau pernah termasuk anggota parlemen dengan pendapatan tahunan terbesar di Jepang. Pendapatannya pada tahun 2009 adalah 86.16 juta yen.

Kan menerima surat pengunduran diri Matsumoto, dan menggantinya dengan Tatsuo Hirano, 57 tahun, yang juga wakil Matsumoto. Hirano, yang berasal dari Iwate, diharapkan akan lebih menaruh simpati kepada korban tsunami. Namun demikian, Hirano sebenarnya menyayangkan keluarnya Matsumoto dari kabinet. Ia merasa Matsumoto telah bekerja keras dalam membuat rencana pembangunan wilayah bencana. Sayangnya, rencana tinggal rencana ketika sikap tidak dijaga.

Yang lebih penting sebenarnya adalah anggaran 2 triliun yen untuk pembangunan ketiga wilayah itu mudah-mudahan disetujui parlemen pada 15 Juli ini. Mudah-mudahan siapa pun menterinya, dia bisa menyelamatkan puluhan ribu orang yang kini hidup tanpa rumah.

Ginjal


Dr Toshinobu Horiuchi (55 tahun) adalah dokter di sebuah klinik di kawasan Edogawa, Tokyo. Lebih dari dua dekade ia memberi layanan kesehatan kepada penduduk di kawasan itu. Kliniknya adalah peninggalan ayahnya yang juga seorang dokter. Sayangnya, enam tahun terakhir ini bisnis kliniknya kurang bagus. Ia terkena sakit ginjal sejak 2005. Dr Horiuchi lalu menjalani hemodialisis (cuci darah).

Di Jepang, ada 300.000 pasien ginjal yang menjalani cuci darah. Pada 1997 penderita sakit ginjal di Jepang masih 180,000. Namun, pola makan dan minum membuat angkanya naik hampir dua kali lipat dalam 14 tahun terakhir.

Ongkos cuci darah sangat mahal di Jepang. Pasien ginjal harus mengeluarkan 5.3 juta yen dalam setahun. Untungnya, pemerintah Jepang menanggung hampir semua ongkos itu melalui Asuransi Kesehatan Nasional. Pasien hanya membayar 100.000 yen dalam satu tahun. Namun, pasien ginjal di Jepang cenderung memilih transplantasi organ daripada cuci darah. Cuci darah dirasa sangat menyiksa dan perlu dilakukan berkali-kali.

Transplantasi organ (selain kornea mata) adalah pengobatan yang radikal di sini. Jadi, transplantasi hanya bisa dilakukan melalui Jaringan Transplantasi Organ Jepang (Japan Organ Transplant Network).

Ada setidaknya 12,140 pasien ginjal yang sedang menunggu operasi transplantasi ginjal baru. Sayangnya, tahun lalu, hanya 10% saja yang bisa mendapatkan ginjal. Dari sekitar 1,200 pasien itu, 209 mendapat ginjal dari pasien lain yang otak atau paru-paru orang itu tidak berfungsi lagi. Sekitar 1,000 pasien mendapat ginjal dari donor yang masih hidup.

Hukum Jepang mewajibkan donor yang masih hidup haruslah anggota keluarga sendiri, misalnya, anak, istri atau saudara dekat lainnya. Kondisi ini membuat banyak pasien ginjal asal Jepang pergi ke luar negeri untuk menjalani transplantasi organ.

Orang Jepang biasanya pergi ke Cina untuk transfer organ karena biayanya lebih murah. Di Cina, biaya transplantasi organ adalah 7 juta yen termasuk tiket pesawat, hotel dan 20 hari perawatan di Guangzhou di selatan Cina. Namun, Cina melarang transplantasi organ untuk wisatawan sejak 1 Mei 2007.

Dr Horiuchi pergi ke Filipina pada 2008 dengan harapan mendapat ginjal baru. Namun, nasibnya kurang baik. Belum sempat ia mendapat organnya, hukum Filipima melarang orang asing menjalani operasi transplantasi organ di negara itu.

Dr Horiuchi pulang dengan tangan hampa. Karena kecewa, pada 2008 ia dan istrinya mencari ginjal di pasar.

Pada 2009 mereka bertemu Kauzhisa Takino (50 tahun) seorang anggota Yakuza. Takino berjanji akan memberi Dr Horiuchi ginjal setelah mendapat bayaran 10 juta yen. Tiga donor diperkenal kepada Dr Horiuchi. Dr Horiuchi kemudian memerika mutu tiga ginjal di kliniknya sendiri. Dari tiga ginjal itu, Dr Horiuchi memilih ginjal milik bekas gangster bernama Fumihiko Sakagami (48 tahun) teman Takino.

Karena tahu bahwa transplantasi ginjal hanya bisa dilakukan dalam satu keluarga saja, maka Dr Horiuchi mengambil Sakagami sebagai anak angkat. Namun, dua bulan sebelum transplantasi organ, Takino meminta 10 juta yen lagi dari Dr Horiuchi.

Dr Horiuchi menolak dan membatalkan transplantasi organnya. Ia mencari ginjal dari orang lain.

Akhirnya, ia mendapat ginjal dari pemuda berusia 20-an tahun yang berasal dari wilayah Saitama, utara Tokyo. Ia mengeluarkan 10 juta yen untuk membeli ginjal itu.

Pada Juli tahun lalu, Dr Horiuchi berhasil menjalani operasi transplantasi ginjal di Rumah Sakit Uwajima Tokushukai.

Setahun pun berlalu.

Pada 24 Juni lalu lima orang ditangkap polisi. Mereka adalah Dr Toshinobu Horiuchi dan istrinya, Noriko Horiuchi, Kazuhisa Takino, Fumihiko Sakagami dan Hitomi Sasaki (teman serumah Sakagami).

Dr Toshinobu Horiuchi

Kasus ini menjadi sorotan masyarakat Jepang karena perdagangan ginjal ini dilakukan oleh seorang dokter dan melibatkan anggota Yakuza, gangster terkenal Jepang. Kasusnya kini diproses di pengadilan Tokyo.

Dalam buku Yakuza Japan: Criminal Underworld (2003) penjualan ginjal biasanya disebabkan desakan sarakin (kreditor ilegal) pada peminjam uang. Sarakin akan menyuruh penghutang yang tidak sanggup membayar utang agar menjual apa saja termasuk ginjal. Sebuah ginjal dihargai 2.3 juta yen.

Pemerintah Jepang melarang warga Jepang mendapat ginjal dari mereka yang bukan saudara. Ini salah satu sebab mengapa warga Jepang kadang mengambil jalan pintas untuk pengobatan dirinya.