G30S atau Gerakan 30 September (zonder kata “PKI”) menandai era baru. Era ini mungkin punya karakteristik berikut: rencana-yang-berantakan, sikap oportunis, gerakan militer, hegemoni, egoisme, dan ideologi. Ujungnya kita semua tahu: 6 jenderal + 1 perwira tewas mengenaskan, kemudian disusul oleh matinya ratusan ribu orang yang dikategorikan “kiri” alias PKI.
Seringkali kita lupa: bahwa yang mati-mati itu adalah saudara kita sendiri.
Teori dan spekulasi mengenai dalang di balik G30S bersliweran di ruang kuliah, ruang kelas, gedung dewan, ruang rapat, gedung bioskop, televisi dan buku. Tidak ada konklusi tunggal yang dengan khidmat dianut soal siapa dalang di balik itu. Selama 48 tahun (hampir lima dekade) pencarian sang dalang tak kunjung usai. Mengapa? Karena setiap orang punya agenda sendiri – bukan mencari kebenaran dan jujur kepada diri sendiri, tetapi nafsu untuk dipuji karena berhasil menemukan jawaban tunggal. Ini menggelikan karena kebenaran senantiasa dinamis; ia selalu multiinterpretasi. Bahkan “tuhan” pun dimaknai berbeda-beda oleh 6 miliar manusia di muka bumi.
Pada 80an, saya menyaksikan dengan seksama rekonstruksi sejarah pada 1965 itu. Bagaimana PKI membunuhi para petinggi militer, dan bagaimana akhirnya PKI ditumpas. Setiap murid wajib menonton film G30S/PKI. Esoknya kita semua berkumpul di jam istirahat dan membicarakannya. Guru-guru mengingatkan kembali bahaya laten komunis. Di sini jelas: “komunis” adalah pihak yang berdosa, oleh sebab itu mereka selayaknya dibantai. Titik.
Tetapi pembunuhan tak berhenti di situ. Film lain yang diproduksi pemerintah keluar lagi. Pada 1966, Blitar Selatan, tempat sisa-sisa PKI, dibersihkan oleh tentara. Telapak tangan semua orang diperiksa. Mereka yang menyamar sebagai petani, tetapi telapaknya halus, segera diciduk. Tak ada petani bertelapak mulus. Ia pasti penulis, atau pengurus PKI yang sehari-harinya memegang dokumen dan pensil, bukan pacul dan sabit.
Di Bondowoso, pada 80an, saya pernah bertanya kepada ayah: siapa itu seorang lelaki yang punya rumah luas tetapi tak nampak bekerja? Jawabannya singkat: Ia PKI. Oleh sebab itu ia tak dapat diterima bekerja di manapun. Kasihan sekali. Namun, pikiran ini tidak mampu untuk memahami mengapa label “PKI” sedemikian kritis sehingga mencari makan pun susah.
Hari ini, tidak banyak yang saya (atau bahkan kita) tahu soal G30S. Tidak ada pemahaman tunggal. Tidak ada sumber yang dianggap absolut sebagai kunci jawaban. Padahal, masing-masing dari kita menunggu. Menunggu untuk mengetahui apa yang baik, apa yang tidak baik pada masa lalu. Kita tak boleh melakukan kesalahan yang sama. Kecuali kita ingin dianggap bangsa yang bodoh selamanya. Bangsa yang tak memahami apa yang terjadi pada masa lalunya. Lalu mengulang kesalahan yang sama. Sama persis, pula.
G30S punya banyak aktor dari sekian ribu teori: Soekarno, Cakrabhirawa, C.I.A., TNI-AU, Dewan Jenderal, PKI, Suharto, dan banyak lagi lainnya. Tapi di sini, saya tak hendak mengusulkan jawaban. Hanya sebuah spekulasi yang jika salah ia tak mempengaruhi apa pun dalam sejarah kita. Ini hanya random notes dari membaca sana-sini secara “liar”.
Mari kita mulai.
Dewan Jenderal itu mungkin ada. Dewan ini bermula dari ketidakpuasan para jenderal kepada Presiden Soekarno yang dianggap memimpin dengan seenaknya. Demokrasi Terpimpin, dekat dengan PKI, dekat dengan Uni Sovyet, rakyat semakin melarat. Salah satu cara untuk menghapuskan itu adalah dengan menggulingkan Soekarno. Rapat demi rapat dilakukan oleh Dewan Jenderal. Mungkin belum sampai saat memutuskan sebuah aksi yang konkrit.
Ketika Soekarno mendengar isu adanya Dewan Jenderal ini, ia marah. Ini pengkhiatan kepada pemimpin tertinggi negara. Oleh sebab itu, meski jenderal sekalipun, perlu diberantas. Chakra Bhirawa diminta kesetiaannya, dan menumpas mereka. Satu per satu jenderal yang disinyalir termasuk dalam Dewan Jenderal diciduk, dan dibunuh. Ada yang lolos, yaitu A.H. Nasution. Pada saat kejadian 30 September, Soekarno baru saja mengantar Dewi Soekarno ke rumahnya. Soekarno berjanji kepada Dewi akan kembali esoknya.
Di lain pihak, C.I.A. terus memantau Indonesia. Indonesia terlalu condong ke Uni Sovyet dan Cina. Ini menggeramkan bagi Amerika. Amerika memasang mata-mata di mana-mana. Ia pun membayar Soeharto, panglima Kostrad yang tidak tahu menahu soal Dewan Jenderal. C.I.A. pun membayar Soeharto dan memberinya daftar orang-orang yang harus dibunuh. Yang harus dibunuh bukan Soekarno, tetapi orang-orang PKI. C.I.A. tahu bahwa Soekarno bukan komunis.
Soeharto gerak cepat. Ia segera mengeluarkan perintah bahwa negara dalam keadaan darurat. Militer digerakkan, dan ia memberantas PKI, sesuai pesanan C.I.A. Intinya hanya satu: PKI lah otak pembunuhan para jenderal. PKI ini dibantu oleh Chakra Bhirawa dan TNI-AU.
Setelah PKI diberantas mendadak, Soeharto segera mengamankan Soekarno ke Istana Bogor. Soekarno mesti dibunuh secara perlahan; tidak mendapat perawatan yang baik ketika sakit. Konon, hanya dokter hewan yang dikirim untuk merawatnya. Di tengah sakitnya itu, Soeharto meminta Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Intinya: Soeharto dijadikan presiden untuk menggantikannya.
Pada akhirnya, Soeharto memang menjadi presiden. Ia berhasil memuaskan dirinya, sekaligus C.I.A. Amerika tentu girang. Hubungan AS-Indonesia pulih kembali. Kerjasama pun dibangun. Keuntungan kerjasama itu masuk ke keluarga Soeharto, dan segelintir orang lainnya. Amerika pun juga senang. Asia-Pasifik nampaknya cukup kuat dipegang setelah itu. AS kemudian dapat berkonsetrasi sepenuhnya untuk menumpas Vietnam Utara yang masih komunis. Perang Vietnam antara 65-75 berakhir dengan kekalahan AS, meski pada akhirnya Vietnam jadi tunggal belakangan ini.
Ketika Soeharto memimpin, semua divisi militer yang terlibat G30S dikotakkan. Orang-orangnya dipecat atau diberantas. Setelah 1968, ekonomi Indonesia mulai bangkit lagi. Bantuan asing masuk. Indonesia menjadi kapitalis, seperti yang diharapkan AS.
Jadi, kesimpulannya, siapa dalang G30S? Tidak ada yang tahu. Karena gerakan itu adalah skema yang saling silang berbagai kepentingan. Tidak ada penyebab tunggal. Yang ada hanya adu kekuatan belaka.
Tapi pelajaran yang kita tarik adalah satu: ternyata kita masih mudah dipecah belah oleh asing. Asing dalam hal ini adalah ideologi Barat, dan orang Barat. Orang luar tentu senang melihat kita berantakan, karena pesaing jadi berkurang satu. Mengapa kita sulit sekali rukun? Perbedaan adalah rahmat, rejeki supaya kita bisa saling kenal dan tolong menolong. Bukan saling menjegal, atau bahkan membunuh. Padahal kita hanya ingin ketenangan hidup, tetapi seringkali kita masih dikendalikan nafsu untuk berkuasa dan mencari untungnya sendiri (egois).
Sekali lagi, era itu ditandai oleh karakteristik ini: rencana-yang-berantakan, sikap oportunis, gerakan militer, hegemoni, egoisme, dan ideologi. Tidak ada sebab tunggal. Upaya dekonstruksi sejarah G30S pasti menemui jalan buntu. Saksi banyak yang mati, dokumen banyak yang musnah.
Saat ini yang penting hanya satu: rukunlah dengan bangsamu, dan jangan mau dikendalikan orang asing.