Haji dan Snouck Hurgronje


Ibrahim lahir di Babilonia (kini selatan Baghdad, Iraq) dari seorang ayah penyembah berhala (idol) yang menolak keras ketika diajaknya menyembah Allah. Ayahnya bernama Tarikh, meski ada juga yang menyebutnya Azar. Tuhan sejak awal mengetahui bahwa Ibrahim adalah sosok yang tepat sebagai nabi. Ia menikah dengan Sarah yang mandul. Oleh sebab itu, ia menikahi Hajar yang kemudian melahirkan Ismail. Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Awalnya Ibrahim menolak, tetapi kemudian yakin atas perintah itu setelah Ismail mengikhlaskan dirinya. Sejarah ini menggambarkan kepatuhan seseorang kepada Allah di atas hal duniawi yang dicintainya, misal anak.

Sejarah itu kemudian melahirkan rukun Islam bernama haji. Sejak Muhammad meninggal, orang Islam terus melakukan ibadah haji pada hari ke 8-12 bulan Dzu al-hijjah. Kata “ibadah” merupakan perspektif yang dipakai muslim untuk menamakan haji. Namun, ketika haji diteliti orientalis, seperti misalnya Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936), ia berubah nama menjadi “feest” atau semacam pesta perayaan. Esensinya tentu berbeda: yang satu melihatnya sebagai ritual suci untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang satu lagi melihatnya sebagai orang ramai yang melakukan kegiatan non-transenden (seolah tuhan tak hadir di pusaran Ka’bah, Shafa-Marwah, Mina-Muzdalifah dan teriknya Arafah).

Meskipun kebencian sudah ditanamkan kepadanya sejak SD, sosok Snouck Hurgronje sendiri sebenarnya menarik. Snouck, bagi yang awam sejarah, adalah pegawai kolonial Belanda (semacam intelijen-peneliti), profesor di Leiden University dan pionir penelitian tentang Islam.

Christiaan_Snouck_HurgronjeChristiaan Snouck Hugronje

MeccaSH1885Mekah pada 1885 (foto oleh Snouck Hurgronje)

Kebencian-yang-ditanamkan itu agaknya memang beralasan. Kerajaan Belanda yang kehabisan dana dalam memerangi suku Aceh meminta Snouck untuk meneliti kehidupan para muslim Hindia Belanda (Jawa, Aceh, dan lainnya) di Mekah. Hasil penelitian itu kemudian mendasari strategi untuk memecah belah suku Aceh. Snouck yang mempertahankan disertasi berjudul “Het Mekkaansche feest” (Pesta Masyarakat Mekah, 1879) sebelumnya tak pernah ke Mekah – dan ia sudah menulis tentang Mekah (plus belajar bahasa Arab, Hebrew, Islamologi dan muslim yang disebut “Muhammadan” ketika itu) sebelum ke sana. Ia baru ke Mekah ketika mendapat jaminan Kerajaan Ottoman (yang ketika itu menduduki Arab Saudi) agar bisa melakukan penelitian (1884-1885). Sepulang dari Mekah (agaknya ia diusir dari jazirah Arab sebelum musim haji tiba karena mungkin kedoknya ketahuan), ia menulis sebuah buku fotografi berjudul “Mekka” yang judul panjangnya menjadi “Mekka in the Latter Part of 19th Century” (Brill). Lanjutan dari buku ini terus mendasari laporan-laporannya mengenai kehidupan Muhammadan (muslim) pribumi di Mekah, Aceh, Jawa, dan wilayah kolonial Belanda lainnya.

Snouck adalah salah satu orang yang pernah merekam suara orang membaca surat Ad-Dhuha di Mekah. LINK.

Referensi:

Thailand (3)


Sewindu telah berlalu, akhirnya kembali ke Thailand lagi. Bandara Suvarnabhumi nampak lebih modern. Antrian imigrasi semakin panjang di penghujung libur musim panas ini. Wai (posisi mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada – seperti hendak berdoa) ada di mana-mana. Ia diselingi ucapan “sawadee krap” (atau “sawadee ka” untuk perempuan). Welcome to Thailand!

Dua tahun lalu (Mei 2013) literatur mengenai Thailand dibaca habis-habisan sebagai bahan penulisan buku tentang Raja Rama V (Raja Chulalongkorn). Setelah itu, semua literatur diparkir di rak buku, atau disimpan dalam folder, tak terbaca. Kepergian ke Thailand, yang tak direncanakan, dilakukan untuk reuni dengan alumni Tokyo Metropolitan University, Jepang. Tiket pesawat dibayari – tetapi sisanya (akomodasi, makan) bayar sendiri. Kesempatan emas untuk memeriksa beberapa hal tentang Raja Rama V, sekalian mencari buku yang susah ditemukan di tempat lain.

Tak disangka, beberapa buku ditemukan:

  1. Journeys to Java by Siamese King (bahasa Thai). Imtip Pattajoti Suharto.
  2. King of the Waters – Homan van der Heide and the origin of modern irrigation in Siam. Han ten Brummelhuis, ISEAS, 2005.
  3. Thailand: A short history (2nd Edition). David K. Wyatt, Silkworm Books, 2003.
  4. The Muslims of Thailand. Michel Gilquin (translated from French by Michael Smithies). Irasec & Silkworm Books, 2005.

IMG_5825

IMG_5826

Buku pertama sama sekali tak terbaca – seolah membaca buku primbon dalam aksara Jawa. Buku ini semacam memorabilia untuk bersanding dengan versi Inggrisnya. Setidaknya ada dua versi Inggris dan Thai. Sedangkan yang berbahasa Indonesia tengah digarap.

Buku kedua dibeli karena penasaran yang mendalam terhadap sosok insinyur Belanda yang akhirnya dikontrak dari Jawa oleh Raja Chulalongkorn untuk bekerja di Thailand. Homan van der Heide adalah sosok insinyur itu. Ketika mengunjungi Yogyakarta pada 1896, Raja Chulalongkorn kagum dengan perencanaan pengairan di sana. Seorang insinyur mempresentasikan sebuah peta perencanaan irigasi Yogyakarta. Tapi belum ketahuan apakah insinyur itu adalah Homan. Yang jelas, seketika itu juga, Raja Chulalongkorn memohon pihak Belanda untuk “memberinya” beberapa insinyur untuk menginisiasi proyek irigasi di Siam. Belanda tidak dapat menyanggupi karena Jawa memerlukan banyak insinyur sipil pengairan (sebagian adalah lulusan universitas terkemuka, TU Delft). Beberapa tahun kemudian, barulah Belanda dapat mengirim seorang insinyur bernama Homan van der Heide. Kisah Homan sendiri agak tragis karena setelah 8 tahun bekerja di Siam, perencanaan irigasinya sulit diimplementasikan karena perbenturannya dengan birokrasi. Ada juga sentimen kerajaan Siam terhadap sikap kolonial. Ini mempersulit perbaikan irigasi Siam. Pada akhirnya, Siam memang mengimplementasikan rencananya, tetapi itu pun setelah Homan pergi meninggalkan Siam. Homan sendiri akhirnya mati di kamp konsentrasi setelah perang dunia.

Buku ketiga belum dibaca.

Buku keempat dibaca baru separuh. Yang jelas jangan kaget kalau Thailand yang penuh dengan pemeluk Buddha Theravada punya 500 ribu warga muslim di Bangkok! Kebetulan saya sempat sholat Jumat di Masjid Chakrapong di kawasan Talat Yot tak jauh dari Bangkok National Museum. Masjid ini sederhana, dua tingkat, bersih, dan khotbah diberikan dalam bahasa Thai. Lokasinya masuk gang kecil, yang dipinggirnya banyak orang berjualan.

IMG_5668

IMG_5676

IMG_5671