Senkaku (2)


Lanjutan artikel Senkaku.

Awalnya adalah tabrakan.

Sebuah kapal nelayan China bertabrakan kapal polisi laut Jepang pada 7 September 2010. Insiden ini ‘istimewa’ karena tabrakan ini terjadi di kepulauan Senkaku (selatan Jepang), sebuah wilayah sengketan Jepang – China selama berpuluh-puluh tahun. Polisi Jepang akhirnya menahan kapten kapalnya, Zhan Qixion (41 tahun), asal Fujian. Zhan ditahan selama dua minggu di Naha, Okinawa. Koran China menyiarkan berita penahanan ini tanggal 8 September. Kemudian demonstrasi besar-besaran terjadi di beberapa kota di China. Ini wajar karena China menganggap bahwa kepulauan Senkaku, yang disebutnya Diayou, adalah bagian dari China sejak 1992. Namun, Jepang juga mengklaim bahwa penahanan Zhan ini sah karena Senkaku sudah dikuasai Jepang sejak 1971. Selain itu, polisi Jepang juga menyatakan bahwa kapal nelayan Zhan sengaja menabrak kapal polisi.

Efeknya jelas: hubungan diplomatik Jepang-China menjadi tegang.

Tetapi, benarkah insiden itu hanyalah tabrakan? Khalayak Jepang tidak tahu sampai hingga pada 5 November 2010 seseorang mengunggah sejumlah video tabrakan antara kapal polisi Jepang dan kapal nelayan Cina di situs http://www.youtube.com. Dari enam video (total 44 menit) yang diunggah sudah jelas bahwa kapal China lah yang menabrak kapal polisi Jepang. Enam video ini diunggah pada 4 November 2010 jam 9 malam oleh pengguna internet bernama ‘sengoku38’. Namun enam video ini kemudian dihapus keesokan harinya jam 7.30 pagi.

Meskipun hanya 10.5 jam ditayangkan di youtube.com, video ini pun masuk ke beberapa studio televisi Jepang dan ditayangkan segera. Headline TV berbunyi: “Inikah video tabrakan di kepulauan Senkaku?”

Tayangan ini menghentikan sejenak aktivitas penduduk Jepang.

Terjadilah demonstrasi kecil di jalanan Tokyo beberapa waktu setelah video itu ditayangkan di televisi. Mereka menuntut pemerintah untuk secara resmi menyatakan bahwa video itu otentik. Namun pemerintah Jepang malah sibuk mencari siapa yang mengunggah video tersebut.

Tidak lama seorang polisi penjaga laut Jepang (Japan Coast Guard atau JCG) yang berusia 43 tahun mengakui bahwa dialah yang mengunggah video itu. Pria yang bekerja di JCG wilayah V ini menyewa komputer di internet café, wilayah Kobe.

JCG pun segera mengirim sebuah unit untuk menyelidiki. Kepolisian Metro Tokyo juga berencana menahan pria ini karena membocorkan barang bukti rahasia. Pengakuan pegawai JGC ini menyebabkan sekretaris kabinet Jepang Yoshito Sengoku menuntut agar komandan JCG mengundurkan diri. Padahal JCG justru menerima ratusan email, yang sebagian menyatakan mendukung ditayangkannya video itu.

Banyak penduduk yang menuntut pemerintah Jepang untuk menyiarkan secara resmi video ini, agar televisi tidak hanya spekulasi. Lagipula pemerintah Jepang juga memperlihatkan video itu kepada 30 anggota Komite Budget selama 6 menit 30 detik.

Namun pemerintah tetap bungkam tentang keaslian video itu. Alasannya: melanggar Pasal 47  Undang-undang Prosedur Kejahatan. Pasal ini menyatakan bahwa dokumen atau bahan yang berkenaan dengan pengadilan harus dirahasiakan.

(Source: The Japan Times, By: Roger Dahl)

Pemerintahan Naoto Kan agaknya punya alasan khusus mengapa mereka tidak menyiarkan video itu. Pada 29 September 2010 utusan Partai Demokratik Jepang (DPJ) bernama Goshi Hosono pergi ke Beijing sebagai utusan rahasia tanpa sepengetahuan kementerian luar negeri. Di Beijing Hosono bertemu petinggi-petinggi China, termasuk penasihat pemerintah Tiongkok Dai Bingguo. Dai meminta dua syarat. Pertama, Tokyo menahan semua video yang terkait dengan tabrakan (bila ada). Kedua, gubernur Okinawa tidak lagi mengunjungi kepulauan Senkaku.

Jepang kemudian menerima syarat-syarat ini agar hubungan China dan Jepang cepat harmonis. Namun harapan Dai sepertinya pupus. Video ini akhirnya ditayangkan juga oleh TV Sentral China pada 5 November.

Menanggapi video itu seorang komentator televisi China mengatakan: “Tidak peduli apakah kapal China yang menabrak kapal polisi Jepang, atau sebaliknya. Yang jelas tabrakan itu terjadi di perairan China.” Ini berarti bahwa apa yang dilakukan polisi Jepang tidak sesuai hukum.

Pihak kementerian luar negeri China, Ma Zhaoxu, juga mengatakan hal yang senada bahwa video itu adalah usaha Jepang untuk menjustifikasi bahwa China lah yang bersalah atas insiden itu. Namun China tetap merasa tidak bersalah karena insiden itu terjadi di kepulauan Senkaku yang merupakan bagian China.

Rumit ya?

Vogel


Pikiran yang resah, barangkali juga kagum, dapat melahirkan buku yang populer. Pada tahun 1979, Ezra Vogel menerbitkan buku bertajuk Japan as Number One: Lessons for America. Buku ini diinspirasi oleh kemajuan Jepang selama kurang dari dua dekade antara akhir 1950an hingga 70an. Jepang mampu memerintah dengan efisien, mendidik rakyatnya untuk bekerja keras, mencari sumber energi baru, meningkatkan pendidikan formal, menurunkan angka kriminalitas dan pengangguran, mereduksi pencemaran udara dan membuat segalanya sendiri. Kata “demokrasi” yang digaungkan Amerika untuk mencapai kemajuan barangkali tidak dipakai di Jepang. Jepang punya ‘Japanese values‘.

Gagasan Vogel dalam buku ini sebenarnya mengidap dikotomi: ketakutan Amerika karena peradaban dunia dapat pindah ke Jepang, atau Jepang suatu hari nanti (dengan Japanese values-nya) mengalami kemunduran.

Bagaimana peradaban pindah ke Jepang?

Usainya periode Sankoku pada 1868 (periode ketertutupan Jepang  terhadap bangsa asing selama hampir 200 tahun) menandai permulaan jaman yang baru, yaitu Restorasi Meiji. Buku karangan Yukichi Fukuzawa berjudul Gakumon no Susume jadi buku pegangan. Jepang agresif mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi dari AS dan Eropa (khususnya Jerman Barat). Jepang tidak hanya pandai mengadopsi ilmu-ilmu dasar, ia juga pandai mengemas, mencari nilai fungsional dan menjual teknologinya. Proses adopsi teknologi yang dilakukan Jepang kadang cepat kadang juga lambat. Tetapi tujuan akhirnya jelas: suatu teknologi harus dikuasai hingga detil-detilnya.

  • Enam tahun setelah Bell Laboratories AS mempatenkan transistor pertama (baca True Genius: The Life and Science of John Bardeen), Sony Corporation menjual televisi transistor di dunia pada 1958
  • Lima puluh tahun setelah Henry Ford menghasilkan mobil Model-T, Toyota Camry masuk pasar AS pada 1958
  • Lima puluh sembilan tahun setelah Wright bersaudara melakukan terbang perdana di Kitty Hawk, Dayton, Ohio, Jepang mendesain dan menerbangkan pesawat turbo propeller Ys-11 pertama pada 1962 (khusus untuk pesawat terbang, Jepang sudah bisa membuat pesawat tempur pada pertengahan 1930an)

Bareng Olit di depan pesawat YS-11 (Tokorozawa Aviation Museum, Jan 2010)

Peradaban sebuah negara seperti Jepang sehingga mencapai tingkat lanjut (advanced) dibangun dalam sebuah negara yang infrastruktur masyarakatnya (secara multidimensi: sosial, ekonomi, politik, pendidikan) berbeda dari AS.

Sosial: orang Jepang selalu menjaga kompatibilitas sosial (harmoni). Konfrontasi secara terbuka tidak disukai di Jepang. Mayoritas orang Jepang relatif jujur, dan ini juga membuat angka kriminalitas rendah.

Ekonomi: orang Jepang gemar belajar, pekerja keras, produktif dan setia ke tempat kerja. Tidaklah mengherankan jika ribuan perusahaan kecil-menengah (small-medium Enterprises) mampu menciptakan produk-produk terbaru, dan tumbuh menjadi perusahaan raksasa.

Politik: Sejak 1955 Jepang dikuasai Partai Demokrat Liberal (LDP). Para politisi LDP menyediakan kebutuhan pokok hidup orang Jepang seperti kesehatan (untuk warganya panjang usia), pendidikan (untuk warganya tidak buta huruf) dan pensiun (agar warganya tetap hidup layak saat pensiun). Partai ini bertahan hingga 2008; dikalahkan Partai Demokrasi Jepang.

Pendidikan: Kurikulum pendidikan menengah Jepang lebih maju dari negara-negara lain. Dana penelitian Jepang menyaingi AS dan Jerman Barat pada akhir 1970an itu (mencapai 3% dari GDP).

Periode ‘konsentrasi penuh membangun negerinya’ setelah Perang Dunia II membuat Jepang tidak sadar bahwa masalah lain juga muncul. Globalisasi (baca postingan sebelumnya) belum sepenuhnya direspon oleh Jepang. Dalam era global ini semangat internasionalisasi-nya tidak seagresif China atau India. Misalnya, tidak banyak profesor Jepang yang mengajar di AS dan Inggris kecuali mengajar bahasa atau kebudayaan. Orang Jepang juga belum banyak menjadi tokoh-tokoh penting dalam politik internasional maupun perusahaan besar dunia. Selain itu masalah dalam negeri Jepang juga banyak: rendahnya angka kelahiran, tingginya angka bunuh diri, besarnya utang Jepang (hampir dua kali pendapatan), tidak stabilnya politik setelah LDP jatuh, intervensi kedaulatan wilayah, tingginya biaya hidup, dan peningkatan jumlah karyawan non-permanen.

Oleh karena itu, buku Japan as Number One bernafas kontekstual atau terikat waktu. Bahkan mantan Perdana Menteri Jepang, Yasuhiro Nakasone yang berkuasa antara 1982 – 1987 menyatakan bahwa buku itu menceritakan Jepang pada zaman ‘keemasan’ saja. Wajah politik yang digambarkan Vogel sudah tidak ada lagi hari ini. Pada 2001, Vogel menerbitkan satu buku berjudul Is Japan still Number One?. Walaupun judul buku itu nampak apologetik  ia menanyakan hal yang sahih: apakah benar Jepang masih nomor satu?

Menurut Ernst and Young, dalam hal investasi, Cina memiliki daya tarik yang sama dengan dengan Jepang pada tahun 2008. Negara-negara Asia lainnya juga semakin menarik untuk investasi, seperti India, Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Vietnam. Hari ini ekonomi China sudah mengalahkan Jepang.

Delapan tahun setelah buku kedua buku keduanya terbit, Vogel datang ke Jepang. Seminar pada 30 Oktober 2009 di Canon Institute for Global Studies (CIGS), Tokyo, itu berjudul ‘Japan as Number One Revisited’. Vogel dan pembicara lain tetap optimis bahwa Jepang dapat keluar dari masalahnya. Ini disebabkan Jepang sudah melihat apa dua persoalan besar yang dihadapinya: globalisasi dan angka kelahiran. Tinggal bagaimana pemerintah Jepang yang kini dipimpin Partai Demokratik Jepang menyelesaikan dua masalah itu.

Negeri Kim


Hari itu, 23 November 2010, cuaca di Tokyo cerah. Namun, di sebuah titik kurang lebih 1.230 km barat laut Tokyo, 170 rudal dijatuhkan oleh Korea Utara. Lokasinya di perairan Korea Selatan, dekat perbatasan dengan Korea Utara. Delapan puluh dari 170 rudal dijatuhkan di pulau Yeonpyeong yang berpenghuni 1.200 orang. Lebih dari 50 rumah terbakar, dua marinir tewas seketika, dan belasan orang dalam kondisi kritis.

Beberapa spekulasi atas serangan ini bertebaran di media.

Serangan Korut terhadap Korsel dinilai sebagai bentuk protes terhadap kerjasama militer antara Amerika Serikat (AS) dan Korsel. AS dan Korsel sebelumnya memang merencanakan latihan perang bersama di Laut Kuning antara 28 November hingga 1 Desember 2010. Serangan ini juga dinilai sebagai bentuk legitimasi berlanjutnya Dinasti Kim di Korea Utara. Kim Jong Il, pemimpin Korut, berencana mengangkat anak terakhirnya Kim Jong Un sebagai pemimpin masa depan Korea Utara.

Meski penilaian-penilaian itu awalnya adalah spekulasi, namun belakangan Kim Jong Un mengakui bahwa peluncuran rudal ke Korsel itu adalah perintahnya.

Beberapa saat setelah insiden di perbatasan itu, Perdana Menteri Jepang Naoto Kan menghubungi Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak, dan menyatakan bahwa Jepang akan membantu Korea Selatan. Setelah mengadakan rapat dengan kabinetnya, Kan memutuskan bahwa:

  • Jepang akan meminta bantuan Cina untuk berunding dengan Korut tentang pelucutan senjata
  • Jepang akan bekerja sama dengan AS dan Korea Selatan untuk memberikan sanksi bagi Korut

Bantuan Cina untuk Pelucutan Senjata Korut

Mengapa Jepang meminta bantuan Cina?

Pertama, Cina dianggap sebagai negara yang dekat secara historis, geografis, politik dan ekonomi dengan Korut. Korut pernah menjadi aliansi kuat Cina (plus Rusia) selama Perang Korea. Kedua, karena Cina dianggap lebih netral dibandingkan AS. Peluncuran roket ke wilayah perbatasan Korsel itu adalah bentuk ketidaksukaan Korut terhadap AS di wilayah Asia Timur. AS juga tidak mau berdialog dengan Korut karena Korut tidak mempunyai niat untuk menghentikan program nuklirnya. Bahkan, kini Korut sedang mengembangkan light water reactor, pengayaan uranium (uranium enrichment) dan uji coba senjata nuklir. Ketiga, peran AS sebagai penengah (atau bahkan pembela Korsel) untuk mendamaikan Korea Utara dan Korea Selatan dinilai kurang berhasil. Kedua negara serumpun yang ideologi politiknya berbeda ini hanya pernah melakukan gencatan senjata pada 27 Juli 1953 tanpa menandatangani perjanjian damai.

Namun demikian, Cina tanpa bantuan pihak lain barangkali tidak cukup kuat dalam meredam Korut. Diperlukan tekanan dari banyak pihak, misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyelesaikan konflik Korea Utara dan Selatan ini. Karena agresivitas Korut didasarkan pada keinginannya untuk menjadi negara adidaya pada 2012. Ini mirip dengan kondisi Jepang pada awal 1900an, di mana Jepang secara militer adalah negara adidaya.

Jepang memang dekat secara historis dengan Korea karena Jepang pernah menjajah Korea selama 35 tahun, yaitu antara 1910 dan 1945. Setelah Perang Dunia II berakhir, konflik Korea Utara dan Selatan terjadi. Ketika itu Korea Selatan dibantu oleh PBB, sedangkan Republik Rakyat Demokratik Korea didukung oleh Cina dan Uni Soviet. Setelah gencatan senjata tahun 1953 barulah Korea Selatan membuka diri dengan bantuan asing. Jepang memberikan bantuan pendidikan dan teknologi bagi Korea Selatan agar cepat mencapai fase negara industri. Bantuan ini juga membuat warga Korea bermigrasi ke Jepang. Ada 901,284 orang Korea yang hidup di Jepang. Sebagian besar dari mereka adalah generasi ketiga dan keempat yang mengalami naturalisasi.

Sanksi Ekonomi

Serangan Korut terhadap Korsel juga membuat PM Naoto Kan berniat memberikan sanksi ekonomi terhadap Korut. Menteri Keuangan Yoshihiko Noda menyatakan bahwa bentuk embargo ekonomi yang nantinya diterapkan diharapkan tidak mengganggu kondisi ekonomi Jepang yang semakin memburuk. Jika dilihat dari bentuk embargo yang dulu, ada dua bentuk embargo bagi Korut, yaitu pelarangan masuknya kapal niaga Korut ke pelabuhan Jepang, dan penghentian  impor barang-barang dari Korut.

Jepang tidak hanya memberikan sanksi ekonomi saja ke Korut. Ada pula ‘sanksi’ pendidikan yang diberikan kepada  Sekolah Korea pro-Pyongyang (Korut) di Jepang. Sekretaris Kabinet Jepang Yoshito Sengoku yang dikenal tegas menyatakan bahwa bantuan untuk sekolah-sekolah pro-Pyongyang di Jepang akan dihentikan. Di sisi lain, Menteri Pendidikan Yoshiaki Takaki menyadari bahwa sebuah kebijakan pendidikan tidak bisa didasarkan pada masalah diplomatik atau insiden, namun serangan Korut ini tidak terbantahkan membuat Jepang merasa terancam.

Perbedaan ideologi yang didukung persenjataan merupakan sumber konflik yang solusinya memang sulit. Sanksi atau tekanan terhadap Korea Utara mungkin dapat meredam peluncuran roket untuk sementara waktu saja. Namun serangan Korut adalah bahaya laten, tidak hanya untuk Korsel, tetapi juga wilayah Asia Timur, termasuk Jepang.

Mudahnya: hati Kim Jong Il dan Kim Jong Un siapa sih yang tahu …

Sementara itu, saya melihat pesawat tempur dan pesawat angkut militer semakin sering melintas di atas rumah. Ini pertanda Jepang semakin waspada (tentunya di bawah bendera Amerika).

Globalisasi


Sepuluh kota dunia yang masuk The Global Cities Index 2010 versi majalah Foreign Policy adalah New York, London, Tokyo, Paris, Hongkong, Chicago, Los Angeles, Singapura, Sidney dan Seoul. Global Cities Index dinilai dari aktivitas bisnis, sumber daya manusia, arus pertukaran informasi, pengalaman budaya dan banyaknya organisasi politik dan ekonomi dunia yang ada di kota tersebut.

Mengapa Jepang bukan nomor satu?

Demikian bunyi pertanyaan Dr Fumio Harashima, rektor Universitas Metropolitan Tokyo, yang membuka TMU Globalization Forum di Tokyo tanggal 1 Desember 2010. Dengan cepat pula beliau menyatakan dua alasan. Pertama, Jepang rawan dengan gempa bumi. Kenyataan ini membuat orang merasa tidak aman dengan aset-asetnya ketika hidup di Jepang. Kedua, penduduk Jepang sebenarnya belum siap menghadapi globalisasi.

Alasan kedua ini, yaitu globalisasi, mirip dengan masalah Jepang yang dikemukakan Dr Ezra Vogel (profesor emeritus Universitas Harvard), penulis buku Is Japan still Number One? (2001).

Lihatlah kenyataan ini: meskipun produk-produk buatan Jepang banyak diekspor ke luar negeri misalnya mobil, kamera, televisi, dan alat elektronik canggih lainnya, orang Jepang kurang agresif dalam hal melancong dibandingkan warga kota global lainnya. Singkatnya, orang Jepang lebih nyaman hidup di Jepang sendiri. Memang banyak sih orang Jepang yang pergi ke Hawaii, Bali atau Eropa. Tetapi tujuannya wisata saja. Wisata ini juga biasanya dilakukan berkelompok (khusus orang Jepang).

Seorang sarariman (salaryman, pegawai gajian) yang ditempatkan di New York punya siklus hidup yang mirip seperti ketika ia hidup di Jepang. Dalam Globalization Forum itu Takahisa Miyauchi, Wakil Presiden Eksekutif Chemical Group Mitsubishi Corporation, menceritakan siklus hidup sarariman di NYC:

Bangun tidur, mandi, minum kopi, menyalakan televisi dan memilih channel NHK (stasiun Jepang), lalu membaca Asahi Shimbun (koran Jepang). Sesampainya di kantor, ia jarang sekali berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Ketika jam makan siang, ia pergi ke restoran Jepang dan makan ramen (mie Jepang). Sepulang dari kantor, ia pergi makan malam di restoran sushi. Kalaupun menggunakan bahasa Inggris ini hanya dalam bentuk tulisan atau bicara singkat seperti ‘thank you’, ‘turn left’, ‘turn right’, ‘good morning’ dan seterusnya.

Miyauchi mengatakan bahwa ini barangkali contoh yang ekstrim. Namun ini juga merupakan kenyataan bahwa orang Jepang agak tertutup. Jiwanya tidak global. Gegar budaya membuat orang Jepang cenderung diam (pasif?). Salah satu sebabnya adalah penduduk Jepang terlalu homogen. Orang asing kurang banyak di Jepang, hanya 5% . Bandingkan dengan sembilan kota global lain yang disebut di atas. Miyauchi mencontohkan bahwa hampir 30% penduduk Singapura lahir di luar Singapura. Singapura menerima budaya yang beragam. Ini fitur kota global.

Karena itu, di Mitsubishi Corporation (yang merekrut ‘hanya’ 150 karyawan dari 10.000 pelamar) Miyauchi selalu berpesan agar karyawannya berpikir global. Miyauchi sendiri selalu meminta stafnya untuk membaca koran International Herald Tribune setiap hari. Jika sibuk ia menyarankan satu kali membaca IHT dalam seminggu. Selain untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris, karyawan Mitsubishi harus mengetahui apa yang terjadi di luar Jepang dan apa pandangan orang luar terhadap Jepang.

Khusus untuk universitas di Jepang, Miyauchi memberikan dua resep menghadapi globalisasi:

Pertama, lakukan pertukaran pelajar dengan universitas dari India. Jangan hanya melakukan pertukaran pelajar dengan Cina atau Korea karena mereka ini masih satu rumpun. Pelajar dari China masih bisa membaca Kanji. Pertanyaannya: mengapa India? India punya kultur yang sama sekali berbeda dengan Jepang: orangnya berbeda, makanannya berbeda, huruf yang mereka pakai berbeda, kalangan akademisnya pandai berbahasa Inggris dan jiwanya selalu ingin merantau.

Kedua, bekerjasama dengan negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam. Jepang harus berusaha memahami orang-orang muslim yang budayanya juga berbeda. Miyauchi yang pernah hidup di Arab Saudi beberapa tahun ini menyatakan bahwa orang Jepang tidak tahu apa itu Islam. Dengan mengundang penduduk muslim datang ke Jepang untuk belajar membuat penduduk Jepang kenal dengan mereka, belajar satu sama lain, menghargai perbedaan dan punya persepsi global.

Dua resep ini mengubah elemen dasar pendidikan yaitu memperkenalkan globalisasi dengan mengundang mahasiswa asing.

Bagaimana dengan posisi puncak universitas, seperti rektor atau dekan universitas?

Dr Soonhung Han dari KAIST (Korean Advanced Institute of Science and Technology), universitas paling terkemuka di Korea Selatan, menceritakan bahwa dua rektor KAIST berasal dari Amerika Serikat. Bahkan dekan sekolah bisnisnya berasal dari India. Tujuh puluh persen profesor di KAIST adalah lulusan Amerika. Dan, KAIST berencana meningkatkan jumlah profesor dan mahasiswa asing hingga 20% dari keseluruhan penduduk kampus.

Jepang, harus diakui, memang agak homogen. Rektor universitas biasanya dari Jepang sendiri. Hampir semua perkuliahan biasanya diberikan dalam bahasa Jepang. Peneliti Jepang seringkali menulis makalah ilmiah untuk jurnal Jepang saja. Peneliti Korea Selatan dan Cina jauh lebih banyak dari Jepang dalam menulis makalah ilmiah di jurnal berbahasa Inggris.

Globalization forum hari itu menghasilkan dua resep dari Mitsubishi dan satu resep dari KAIST. Namun globalisasi merupakan evolusi (perubahan perlahan) ketimbang revolusi (perubahan cepat). Beberapa tahun lagi barulah nampak apa hasil yang diperoleh universitas Jepang setelah menjalankan resep ini.