Komunisme Juga Agama


Meski tidak belajar Islam di pesantren, saya dididik oleh guru-guru ngaji tradisional jebolan IAIN dan pastinya simpatisan NU. Jadi, akar pengajaran Islamnya adalah tradisional. Ketika pindah ke Bandung, saya mulai bersentuhan dengan buku-buku karangan Marx, Sartre, Camus, Nietzsche, Dostoevsky, Arkoun, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Franz Magniz, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Al-Faruqi, Greg Barton, Robert D. Lee, Geertz, Plato: Islam progresif, komunisme, filsafat teoretik, novel kiri, Islam kiri, dan lain-lain. Dari situ, saya membentuk pemahaman sendiri mengenai dunia dan pemikiran-pemikiran modern. Saya kurang menyukai politik praktis, misal bergabung dengan organisasi mahasiswa atau politik atau LSM; saya tidak kagum dengan Che Guevara, Sayid Quthb dll. Saya lebih suka membaca dan berpikir: tanpa hasil nyata tak jadi soal, karena saya tidak cari makan dari sana. Lagipula saya sukanya berkelakar mengenai buku-buku yang saya baca itu.

Ini contohnya. Pada bulan September 2003, di dalam laboratorium komputasi, teman yang berasal dari Republik Rakyat China iseng-iseng bertanya kepada saya yang beragama Islam “Apakah komunisme juga bisa dikategorikan agama?” Saya segera menjawab, “Komunisme itu nyaris agama.” “Lho, kok nyaris agama? Bagaimana maksudnya?” Dia heran.

Saya mengelaborasi (sambil 🙂 ). “Untuk membuat suatu agama, kita memerlukan prasyarat: tuhan, nabi, kitab, umat. Misalnya Islam: tuhan Allah, nabi Muhammad, kitab Al Quran dan umat seperti saya. Kalau komunisme: nabi Karl Marx, kitab Das Kapital atau Little Red Book-nya Mao, umat 10 miliar di China, Vietnam, Indonesia, Russia, tapi sayangnya tidak punya tuhan. Itu yang saya maksud “nyaris” agama. Ngomong-ngomong, kamu komunis? “Saya gak ikut partainya, tapi cuma simpatisan” Dia berusaha mengelak rupanya. “Eh nanya dong, jadi tuhanmu apa sebenarnya? ” “Science,” jawabnya kalem. “Eh, kalo gitu komunisme juga agama dong!!!”