Serap ajarannya


Sebenarnya tulisan ini diturunkan supaya blog ini punya postingan pada tahun 2017 ini. Dapat dibayangkan bahwa orang itu sibuknya (atau macak sibuk?) bukan main di KAUST sehingga menulis merupakan hal “mewah”. Alasannya sederhana. Alokasi energi menulis esai dialihkan ke menulis paper ilmiah sebagai mata uang di KAUST. Seolah sudah menjadi norma bahwa orang bertanya ini secara konstan “Sudah nulis paper berapa di KAUST?”

Langsung menuju topik: “Serap ajarannya”. Dari mana topik ini berasal? Sebuah foto Gus Dur berisi hal ini. Bisa dibaca di bawah ini.

20c40-1512544_10202801974241521_1378132248_n

Ketika tinggal di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini saya mengoleksiĀ thobe (mirip gamis) yang berlengan panjang dan pendek. Alasannya, kayaknya keren juga berpakaian a la Arab seperti itu ya … atau sekedar bersikap konformal dengan khalayak lelaki ketika pergi ke Mekkah. Rasanya memang sejuk memakai thobe itu. Apakah thobe itu termasuk budaya Arab? Barangkali iya. Iklim gurun yang terik ini memang membuat orang ingin pakaian yang sejuk. Itu pakaian/busana. Ada juga bahasa. Ketika di Arab Saudi, sedikit banyak kita memakai bahasa Arab untuk berkomunikasi dengan penjual setempat (meski sebenernya mereka lebih fasih berbahasa Indonesia jika kebetulan ke Mekkah atau Madinah). Tapi di kota selain dua itu, bahasa Arab rasanya jamak. Eh, Jeddah mungkin termasuk kosmopolitan, jadi Inggris adalah umum.

Sebagai orang Jawa yang hidup di Arab Saudi, saya masih resistan untuk memakai bahasa Arab yang sepotong-sepotong. Padahal bahasa Arab ini penting. Maksud saya, jika berbahasa Arab sebaiknya berbahasa Arab-lah secara penuh, tidak hanya secuil, misal memakai ana-antum. Ini semacam inferioritas bahasa yang pada gilirannya menghilangkan budaya dan bahasa sendiri. Implikasinya luas. Jika mau berbahasa Jawa, pakailah kalimat penuh dalam bahasa Jawa. Jika mau berbahasa Jerman, pakailah kalimat penuh berbahasa Jerman. Begitu seterusnya. Ini menunjukkan penguasaan bahasa, bukan penghilangan budaya. Gus Dur yang fasih berbahasa Arab tentunya tidak anti bahasa Arab. Dia hanya kuatir bahwa pemakaian yang sepotong-sepotong ini diikuti banyak orang (dimaklumi dan dipopulerkan) yang pada gilirannya menghapus kata yang tadinya milik sendiri. Milik bangsa sendiri. Seolah memberikan sepetak sawah kepada orang asing. Lama-lama satu desa mendadak etnis luar semua. Kaget gak?

Maka dari itu, jika seseorang memeluk agama tertentu, misal Islam, serap saja ajarannya. Nah ajaran ini apa saja? Tentu yang ditulis dalam kitabnya. Juga hadits (kata-kata dan perbuatan Nabi Muhammad), kitab-kitab lain. Ajaran ini tentunya bernilai universal, berlaku di mana saja, berbagai jaman. Serap ajarannya. Bukan serap budayanya. Kecuali kita sebelumnya memang tidak berbudaya lho ya …. hehe.

31 Juli 2017

 

 

Uncategorized

Leave a comment