Gempa Bumi di China
Relay obor olimpiade berhenti sejenak. Keceriaan menyambut Olimpiade Beijing 2008 padam akibat gempa bumi berkekuatan 7.9 skala Richter di Sichuan. China berkabung.
Gempa bumi di Sichuan, China, terjadi pada pagi hari, 12 Mei 2008. Gempa berkekuatan 7.9 skala Richter ini menelan korban meninggal 32476 orang dan 220109 orang mengalami luka-luka (data terakhir 18 Mei 2008). Episentrum gempa berada 90 km di sebelah barat Chengdu yang berpenduduk 2 juta jiwa.
Selain di China sendiri, gempa ini juga dirasakan di Bangladesh, Thailand dan Vietnam. Menurut Dr Harley Benz, Sichuan pernah mengalami gempa yang serupa, yaitu pada 25 Ogos 1933 dengan kekuatan 7.5 skala Richter dan menelan 9000 jiwa, serta tahun 1989 yang berkekuatan 6.1 skala Richter.
Gempa di China terjadi akibat tumbukan antara kerak bumi di lempeng Tibet dan di bawah lengkungan Sichuan. Di skala benua, gempa di wilayah Asia tengah dan timur ini dipicu oleh tumbukan antara lempeng India dan lempeng Eurasia yang berkecepatan 50 mm per tahun. Tumbukan ini kemudian membuat dataran tinggi Asia terangkat, dan retakan kerak bumi merambat ke arah timur, menjauhi lempeng Tibet.
Memprediksi Gempa
Di media-media, beberapa terminologi yang sering ditemui adalah normal fault (sesar normal), reverse or thrust fault (sesar naik) dan strike-slip fault (sesar mendatar). Sesar sendiri diartikan sebagai rekahan dalam kulit bumi yang mengalami pergeseran.
Gempa bumi bisa diketahui lokasinya dengan memperhatikan konsentrasi sesar (faults) di wilayah tertentu dan besarnya gempa pada waktu sebelumnya. Yang sukar adalah menentukan “kapan” gempa ini akan terjadi.
Ruth Ludwin dari The Pacific Northwest Seismic Network dalam risalah pendeknya Earthquake Prediction menyebutkan bahwa gempa bumi terbesar terjadi di wilayah sesaran panjang (long fault zones) di Samudera Pasifik. Hal ini karena Samudera Atlantik melebar beberapa inci setiap tahun, sehingga Pasifik jadi mengecil ketika dasar lautan terdorong ke bawah benua Pasifik Rim.
Metode yang tradisional namun sukses memprediksi gempa adalah (1) memperhatikan perubahan tinggi tanah dan air tanah, (2) memperhatikan perilaku binatang, (3) gempa awalan (foreshock). Metode ini berhasil memprediksi gempa di Haicheng, China, tahun 1975 yang berkekuatan 7.3 skala Richter. Namun demikian, metode ini gagal memprediksi gempa selanjutnya tahun 1976, yang berskala 7.6, yang menyebabkan korban 250000 jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya gempa awalan yang terdeteksi.
Beberapa cara untuk memprediksi gempa antara lain
(1) metode VAN – berdasarkan sinyal listrik seismik
(2) mikrosatelit Demeter – berdasarkan emisi elektromagnetik
(3) model matematika yang berdasarkan gempa awalan (foreshock)
Setidaknya hingga hari ini, metode-metode di atas belum dikenal luas atau terbukti mampu memprediksi dengan tepat. Jadi, tantangan mengenai prediksi gempa ini masih terbuka lebar: di mana, kapan, seberapa besar, seberapa sering suatu gempa terjadi, dan mengapa prediksi ini dibuat masih belum terjawab.
Di Singapura, sebuah lembaga riset bencana alam sedang dibangun. Lembaga ini disebut Observatorium Bumi Singapura (Earth Observatory of Singapore). Berpusat di Nanyang Technological University dan akan beroperasi pada awal 2009, lembaga ini memfokuskan risetnya pada bencana alam seperti tsunami, gunung meletus dan perubahan iklim. Riset pertamanya akan menyempurnakan prediksi tsunami di bagian barat Sumatra dan analisis akibatnya terhadap wilayah Asia Tenggara.
Gempa bumi adalah sebuah bukti bahwa tuhan maha besar. Setiap inci retakan di perut bumi dan setiap detik perambatannya membawa akibat yang sulit diduga. Tuhan barangkali berpesan agar manusia terus berusaha memahami rahasia tuhan, manusia saling tolong menolong dan manusia terus mensyukuri nikmat tuhan. Tuhan tidak sedang bermain dadu, tetapi memberi pelajaran.
*Kolom “Komentar”, Berita Harian, Singapura 2 Juni 2008