Gempa di Silicon Valley


Waktu kecil saya kadang mendengar ayah saya berteriak “Lindu .. lindu …!”, yang artinya “Gempa …. gempa”. Ketika itu, skala gempa biasanya kecil dan tak begitu terasa di Bondowoso yang jauh dari laut selatan, epicentrum gempa. Jadi, tidak ada evakuasi, korban jiwa atau kerugian material akibat lindu itu.

sj_eq.jpg

Merah: pusat gempa, hijau: kantor saya

Hari ini saya merasakan gempa lagi. Tapi tidak di Bondowoso; kira-kira 12000 km dari Bondowoso, tepatnya di San Jose. Saya sudah dua hari di Silicon Valley. Tujuannya: jalan-jalan. Eh, gak lah … tugas kantor kok (hehe). Pukul 8:04 malam, meja saya bergoyang dan saya buru-buru berlindung di bawah meja, sambil menunggu energi gempa meredup. Untungnya gedung masih utuh. Saya buru-buru pulang. Kantor saya terletak sekitar 17 km dari epicentrum, dan katanya skala gempanya 5.6 Richter. Mudah-mudahan tidak ada gempa susulan.

Teman saya bilang: saya belum pernah merasakan gempa sebesar ini di San Jose; terakhir tahun 1989.

Eh di luar sana … suara sirine fire fighter bertalu-talu…

Ngimpi


Setiap orang yang tidur pasti bermimpi meski keesokan harinya ia lupa total mimpi semalam. Yang ia ingat barangkali cuma sinopsis, respon terhadap mimpi, artis dan aktor dalam mimpi. Saya sendiri sering ngimpi, tapi selalu lupa mimpi apa. Yang bisa diingat biasanya mimpi yang seram, lucu, aneh dan bentuk ekstrim lainnya. Kadang saya juga nglindur atau menggerakkan tangan. Mimpi ini, sepertinya, manifestasi otak dan perasaan yang tak terkontrol, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan kejadian, lakon dan orang. Saya jadi teringat Deepak Chopra: yang “riil” dari mimpi adalah respon kita terhadap mimpi itu. Misal, jika kita mimpi dibentak setan lalu ketakutan, barangkali “ketakutan” itulah yang akan kita alami ketika kita benar-benar dibentak setan. Benarkah? Ya mboh. Jangankan dibentak, wong bayangannya aja udah bikin saya kabur palingan.

Mimpi ini barangkali memang tak bisa dikontrol. Tapi sepertinya bisa dimanipulasi. Dulu, ketika otak macet [tak ada ide] dalam memecahkan problem tugas akhir (Bandung, 2002), saya jadi mengharapkan suatu ilham lewat “kamar ide” yang lain: mimpi. Biasanya, kamar ide yang sering saya pakai adalah WC. Nah, sebelum tidur, saya mempersiapkan diri: mikirin suatu masalah hingga akhirnya saya tertidur. Kok ya ndilalah, “masalah” itu muncul, lalu di dalam mimpi, saya menemukan jawabnya. Tidak straightforward memang: berliku-liku, trial and error, bahkan dipecahkan dengan cara yang gak nyambung. Di sini, barangkali jawaban itu didapat ketika jiwa “menari-nari” di luar tubuh yang penat.

Apakah mimpi selalu berhubungan dengan seksual? Jika berkiblat kepada psikoanalisis a la Freud dan agak materialist maka jawabannya IYA. Freud membedah mimpi dengan mencari simbol di dalamnya, lalu menghubungkannya dengan suatu bentuk, dan bentuk ini berhubungan dengan genital pria dan wanita, kemudian ia membuat interpretasi dari sana. Ia juga bermain probabilitas plus pengaruh kuat bahwa psikoanalisis adalah “pisau bedah” baru di abad 20. Masa Die Traumdeutung (Tafsir Mimpi) sesederhana itu? Yo ora lah … lebih kompleks.

Eh, mari kita mundur selangkah: mengapa manusia bermimpi (baik dalam tidur maupun dalam kenyataan)? Mungkin karena itulah satu-satunya cara ia bisa lepas dari belenggu “kenyataan” sambil bergeming.