Setiap orang yang tidur pasti bermimpi meski keesokan harinya ia lupa total mimpi semalam. Yang ia ingat barangkali cuma sinopsis, respon terhadap mimpi, artis dan aktor dalam mimpi. Saya sendiri sering ngimpi, tapi selalu lupa mimpi apa. Yang bisa diingat biasanya mimpi yang seram, lucu, aneh dan bentuk ekstrim lainnya. Kadang saya juga nglindur atau menggerakkan tangan. Mimpi ini, sepertinya, manifestasi otak dan perasaan yang tak terkontrol, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan kejadian, lakon dan orang. Saya jadi teringat Deepak Chopra: yang “riil” dari mimpi adalah respon kita terhadap mimpi itu. Misal, jika kita mimpi dibentak setan lalu ketakutan, barangkali “ketakutan” itulah yang akan kita alami ketika kita benar-benar dibentak setan. Benarkah? Ya mboh. Jangankan dibentak, wong bayangannya aja udah bikin saya kabur palingan.
Mimpi ini barangkali memang tak bisa dikontrol. Tapi sepertinya bisa dimanipulasi. Dulu, ketika otak macet [tak ada ide] dalam memecahkan problem tugas akhir (Bandung, 2002), saya jadi mengharapkan suatu ilham lewat “kamar ide” yang lain: mimpi. Biasanya, kamar ide yang sering saya pakai adalah WC. Nah, sebelum tidur, saya mempersiapkan diri: mikirin suatu masalah hingga akhirnya saya tertidur. Kok ya ndilalah, “masalah” itu muncul, lalu di dalam mimpi, saya menemukan jawabnya. Tidak straightforward memang: berliku-liku, trial and error, bahkan dipecahkan dengan cara yang gak nyambung. Di sini, barangkali jawaban itu didapat ketika jiwa “menari-nari” di luar tubuh yang penat.
Apakah mimpi selalu berhubungan dengan seksual? Jika berkiblat kepada psikoanalisis a la Freud dan agak materialist maka jawabannya IYA. Freud membedah mimpi dengan mencari simbol di dalamnya, lalu menghubungkannya dengan suatu bentuk, dan bentuk ini berhubungan dengan genital pria dan wanita, kemudian ia membuat interpretasi dari sana. Ia juga bermain probabilitas plus pengaruh kuat bahwa psikoanalisis adalah “pisau bedah” baru di abad 20. Masa Die Traumdeutung (Tafsir Mimpi) sesederhana itu? Yo ora lah … lebih kompleks.
Eh, mari kita mundur selangkah: mengapa manusia bermimpi (baik dalam tidur maupun dalam kenyataan)? Mungkin karena itulah satu-satunya cara ia bisa lepas dari belenggu “kenyataan” sambil bergeming.