Di tengah sebuah negeri, di mana kata “afdeling”, “pabrik gula”, “ADM”, atau bahkan “PTP” dan “rendemen” tak berarti apa-apa, saya membaca artikel mengenai Jember. Jember adalah sebuah kota di Jawa Timur yang bermula dari perkebunan partikelir pada awal 1900an. Singapura dan Jember sungguh berbeda: Jember menghasilkan kelapa, kopi, karet, coklat, tebu dan tembakau yang berkualitas, sedangkan Singapura adalah konsumen komoditi itu (tapi tidak dari Jember). Artikel yang saya baca — terlepas bahwa di dalamnya banyak salah ketik dan kadang tak fokus — menceritakan kapitalisme perkebunan di Jember antara 1900 – 1970*. Dari artikel yang saya temukan di tengah kejemuan, saya mengenang kembali tahun 1992 – 1996.
Guru SMP yang Gondrong
Tahun 1992, saya sedih ketika harus meninggalkan Bondowoso. Bondowoso, tempat saya tinggal selama 12 tahun, menjadi kenangan, dan saya mesti memulai hidup baru di Jember. Saya bersekolah di suatu SMP di bilangan Kampus UNEJ (Univ Jember). Sebagian besar murid-muridnya berbahasa Jawa; berbeda dengan Bondowoso yang berbahasa Madura. Di SMP ini saya diajar oleh guru Bahasa Indonesia yang berkesan: gondrong, orangnya subur, agak seniman, gemar membaca, tutur bahasanya rapi, perokok dan pendiam (namun pemberani). Namanya Pak Munawir – di usianya yang saat itu lewat 30, dia masih lajang. Yang lebih membuat saya terkesan: dia hanya mau memotong rambutnya jika kepala sekolah di SMP itu mengundurkan diri (atau dipecat juga gak masalah), dia suka membacakan buku-buku sastra sekaliber HB Jassin, STA, dll di depan kelas (dengan sabar dia membaca buku itu selama 80 menit).
Kini, saya tak akan lagi bisa menikmati dongeng Pak Munawir. Beliau meninggal beberapa tahun lalu.
Perkebunan
Kapitalisme Jember bermula dari tembakau jenis Na-Oogst pada tahun 1850an. Pada masa itulah emas hijau merambah ke Eropa dan negeri lain didukung UU Agraria Kolonial tahun 1870. Empat perkebunan swasta pertama dibangun: De Landbouw Maatscappij Soekowono, DLM Jelbuk, DLM Soekokerto Ajong dan DLM Oud Djember. Semuanya milik keluarga Belanda. Dari pendirian ini, karakter kolonial ditandai dengan strukturalisme sosial seperti panggilan tuan ladju (empat pengusaha Belanda itu) dan tuan anjar (pembeli dan petani tembakau). Kemudian muncul istilah lain: ondernemer (tuan tanah), opkoper (pembeli tembakau) dan borgen (perantara atau makelar). Pada 9 Januari 1883, pemerintah kolonial mengeluarkan surat perintah untuk memisahkan Jember (yang ketika itu masih sepi dan terisolasi) dari afdeling Bondowoso, dan berdiri sebagai regentschap. Jalur kereta api dibangun untuk menghubungkan Jember dengan Sukowono, lalu ke Bondowoso, lalu ke Besuki dan Panarukan (dari Panarukan, tembakau biasanya langsung dikirim ke Rotterdam). Sukowono menjadi meeting point sehingga jalur kereta yang simpang siur banyak ditemukan di sana. Pada jaman itu, orang-orang Belanda biasanya berkumpul di Besoeki Proefstation untuk melakukan penelitian hasil kebun (Besoeki Proefstation terletak di Jalan Gajah Mada).
KGB dan CIA di Tepi Kampus
Daerah Tegal Boto dulu sepi. Tapi ketika Universitas Jember mulai beraktifitas tahun 1957, Tegal Boto jadi ramai. Kini, kafe, warnet, rumah makan, butik, toko kelontong, salon dan toko buku menjamur. Lalu, daerah ini disebut “kampus”. Di “kampus” ini, KGB bukan lagi Komitet Gosudarstvennoj Bezopasnosti, tapi Kantin Gaya Baru; dan CIA bukan lagi Central Intelligence Agency, tapi Cafetaria Idaman Anda. Kini dua kantin itu tak akan ditemukan lagi.
Nanggelan dan Sex
Jember memiliki pantai yang sangat indah di wilayah selatan. Pantai yang saya sukai adalah Nanggelan. Sebelum pantai, pelancong bisa melewati padang rumput di mana Bos javanicus (banteng) yang jumlahnya tinggal 150 bercengkerama (hingga saat ini saya belum menyaksikan satupun kecuali jejak-jejaknya). Di Nanggelan ini juga, konon, manusia kerdil setinggi 70 cm berada. Dari Jember, Nanggelan bisa dicapai selama 1 jam, melewati Glantangan (atau Ambulu), Kota Blatter dan Perkebunan Trate. Teluk Nanggelan sangat landai, pasirnya kuning, ombaknya ramah, udaranya segar, senyap dan addictive. Yang saya lakukan ketika camping di sana adalah: bangun tidur pukul 6 pagi, udara masih segar, dingin, lalu melepas baju, lari ke laut, menyelam ke tengah, berendam sejenak lalu kembali ke pantai, duduk di tepi pantai, tubuh masih basah, minum kopi dan menikmati udara pagi di cercahan matahari yang hangat. Believe me, it’s better than sex.
Pak Putut dan Jazz
Saya mulai bosan bermain keyboard. Dan, biasanya, bermain gitar jauh keliatan cool (meski pada akhirnya saya tak pernah mendapatkan pacar lewat bermain gitar). Tahun 1992, saya baru belajar gitar pada seorang teman bernama Sunu Srurespati Astari. Seorang teman baik yang pernah kuliah kulinari di Yogya. Orangnya sabar, sopan dan tertawanya menggelegar (meski untuk kelucuan yang minim). Sunu mengajari chord-chord dasar hampir setiap hari – sekali lagi: SETIAP HARI selama 7 bulan. Beliaulah orang yang paling berjasa dalam hal gitar. Guru di SMP memanggil saya. Namanya Pak Putut. Dia pandai bermain bass (itu katanya). Lalu dia memberi kertas fotokopian berisi chord-chord lewat adik saya. Dia bilang: belajarlah jazz. Jazz itu dinamik. Sejak itu, saya belajar jazz dan menghafal chord gitar yang jumlahnya 250an.
Pacar, Band dan Pecinta Alam
Kegiatan saya ketika SMA bisa dipastikan sama dengan anak lainnya: bermain! Untuk saya, bermain ini fungsi dominan dari (1) berpacaran, (2) bermain musik dan (3) ikut pecinta alam. Saya tak begitu romantis dan sering ngaret kalau berpacaran, jadi pantas saja bila diputus. Saya mendirikan sebuah band bernama Springfield. Band ini bertahan selama 3 tahun. Tak pernah menang kompetisi, tapi cukup memberikan pelajaran berharga bagaimana susahnya sukses dalam bidang musik di Indonesia. Gunung – hutan – pantai – panjat dinding – penghijauan – mountaineering – prusik – survival, semua masuk paket kepecinta alaman. Kegiatan itu menghabiskan uang, tapi memberikan pelajaran berharga: mengenali kemampuan diri dan keterbatasannya, memberikan unforgettable friends, menghargai kerja keras, mengetahui nikmatnya mencapai ketinggian 3000 meter lebih setelah 24 jam tak tidur.
Untuk teman-temanku di Jember, love you all…
*Tri Chandra Ap, “Kota dan Kapitalisme Perkebunan: Jember dalam Perubahan Zaman 1900 – 1970”, Int’l Conf. on Urban History, 23 – 25 Agustus 2004, Surabaya