Jerman


Pada 2010, akhirnya saya berhasil ke Jerman dengan membeli tiket murah Budapest – Köln, mungkin sekitar €60 one way. Kepergian ke Jerman dibuat di sela-sela European Conference on Composite Materials 14, 7 – 10 Juni 2010, yang diadakan di Budapest. Saya hanya menampilkan poster pada hari pertama, jadi sepertinya agak relaks. Tanggal 7 Juni sore hari, saya pamit sama bos dan teman-teman. Saya bilang, saya ke Jerman dan kembali ke Budapest lagi tanggal 9 sore. Mereka bilang: OK. See you!

Di Jerman saya mendarat di bandara Köln. Sudah malam waktu itu. Untung ada Noni yang menjemput. Sebenarnya belum pernah ketemu langsung, jadi katanya dia bawa foto buat dicocokkin sama wajah saya. Setelah itu saya diajak ke apartemennya, dan ditunjukkan sebuah kamar kosong. Penghuninya sedang pulang kampung katanya, jadi saya bisa pakai kamar itu. Selama perjalanan menjemput saya, Noni tidak pernah lepas dari HP. Ada terus pesan yang masuk ke HP-nya. Pasti dari Romi. Dalam perjalanan ke apartemen, saya bilang saya pengen makan. Kebetulan ada kedai kebab yang buka. Wah lumayan pedas juga. Tapi cukup mengganjal.

Keesokan harinya, kami berangkat ke RWTH Aachen. Tujuan utamanya adalah meminjam disertasi Habibie. Disertasi ini dapat dipinjam berkat bantuan Riza dan Ismail yang sedang kuliah di sana. Setelah puas memfoto, buku itu dipinjam dan rencananya akan di-scan oleh Romi. Baik sekali mereka. Setelah scan selesai, karena saya sudah kembali ke Jepang, maka nantinya file dikirim lewat email. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan ke Bremen. Di Bremen, hari mulai senja. Kami langsung menuju ke Restoran Surabaya milik Pak Rudy. Di sana kami makan tahu lontong dan teh manis. Lumayan enak! Sambil ngobrol-ngobrol bahasa Jawa, enak sekali. Jerman serasa jejere kauman.

Besoknya, kita jalan-jalan mengelilingi Bremen dan membeli suvenir plus oleh-oleh. Ada sebuah tugu setinggi 2-3 meter yang ada patung hewan. Empat hewan ditumpuk-tumpuk, paling atas ayam jago, di bawahnya kucing, lalu anjing kurus, lalu keledai. Kalau kita berfoto sambil memegang kaki keledai itu, niscaya kita akan kembali ke Bremen. Begitu mitosnya! Akhirnya aku foto di sana …

Mitos itu mungkin jadi kenyataan. Pada 1-3 Juli 2012, saya mengunjungi Bremen lagi. Tujuan utamanya adalah pergi ke Airbus Deutschland, melihat bagaimana Airbus melakukan manufaktur high-lift device (flaps dan sejenisnya), sayap A380. Sorenya kami kebagian presentasi di depan engineer Airbus. Malam harinya, kami ke rumah Noni-Romi yang tidak jauh dari hotel. Di sana sudah disiapkan tahu lontong enak, soto betawi, cake. Wah pokoknya perut penuh banget. Ada mbaknya Romi, anak bayinya dan satu teman. Ngobrolnya bahasa Jawa seperti biasa. Jadi tidak berasa di Jerman.

Intinya, akhirnya saya kembali ke Bremen setelah 2 tahun. Saya kemudian jalan-jalan dan berfoto lagi di patung itu. Lumayan, siapa tahu bisa kembali ke Bremen lagi … bersama Olit dan Maknya …

Italia


Waktu SD, saya pernah mendengar lagu O Sole Mio. Entah bagaimana lagu berbahasa Neapolitan (dialek Italia Selatan) itu bisa mampir di Bondowoso yang sepi. Katanya, lagu yang diciptakan oleh Giovanni Capurro dan Eduardo di Capua pada 1898 ini punya versi Bahasa Inggris berjudul It’s Now or Never yang dipopulerkan Elvis Presley. Yang jelas, lagu ini nampak riang (baca: optimis) dan ini pengalaman pertama saya bertemu sesuatu yang “Italia”.

Tak lama, saya terekspos pengetahuan tentang Italia lainnya. Buku cerita tentang Leonardo da Vinci (1452-1519), pria asal Florence, yang kidal. Dia punya bakat seni dan sains yang luar biasa. Di sebuah perpustakaan, saya pernah menemukan tulisan Leonardo yang agak filosofis, tentang fenomena tidur. Mahakarya yang terkenal adalah lukisan The Last Supper yang dibuat selama tiga tahun. Selain itu, tokoh lainnya adalah Marco Polo (1254-1324). Saya tahu namanya dari buku tentang Kublai Khan. Marco Polo, plus ayah dan abangnya, asalnya adalah pedagang Venezia yang pergi ke Asia selama 27 tahun; jalur yang dilaluinya bernama Jalur Sutera (Silk Road). Selain itu, kita semua mungkin sudah terekspos dengan Italia lewat Julius Caesar, Raja Romawi. Sebagai seorang yang “sufi” (suka film) saya harus menyebut film-film berbau Italia, misalnya La Vita e Bela (Life is Beautiful), Nuovo Cinema Paradiso, Godfather, Goodfellas, Hudson Hawk, Gladiator, Italian Job dan lainnya.

Bulan Juni lalu, akhirnya saya menginjakkan kaki di Italia. Pertama, ke Venezia, sebuah pelabuhan yang dulu pernah terkaya di dunia. Di Venezia, selain jalan-jalan, saya mengikuti konferensi selama lima hari (hari pertama hanya registrasi, yang akhirnya saya skip). Itu adalah konferensi material komposit terbesar di Eropa, yang melibatkan pelaku industri, akademisi dan peneliti. Ada 14 sesi paralel dan dua sesi poster. Saya kebagian memberi presentasi di hari ke-3. Tidak disangka ruangan cukup besar dan agak penuh. Sebenarnya pertanyaan dari audiens bertubi-tubi, tapi untungnya saved by the bell! Jadi tidak semakin nampak bodoh berkepanjangan. Pulau Venezia dapat dikelilingi dalam sehari. Kita bisa berjalan kaki, atau naik kapal di sungainya (yang sebenarnya air laut). Obyek wisata yang terkenal adalah Piazza San Marco (Basilika San Marco dan Doge’s Palace) dan Jembatan Rialto. Kami juga mampir ke pulau Murano yang punya museum gelas. Sulit membedakan mana orang Italia mana orang asing di Venezia; kecuali kalau mereka pemilik/penjaga toko, polisi, pengemudi Gondola, penjual suvenir dan pemandu museum. Tiket boat yang menghubungkan pulau-pulau kecil dengan pulau Venezia, dan dapat pula digunakan untuk naik bus, dapat dibeli di terminal boat. Ada mesinnya. Tiket 7 hari non-stop dapat dibeli dengan harga €50 (~500 ribu rupiah). Tapi tiket kapal ini penting, meski tidak harus 7 hari. Selain itu, naik Gondola sebaiknya 4-6 orang supaya bisa bayar patungan. Harga makanan satu porsi di Venezia berkisar €6-15. Spagheti di sebuah restoran Rialto bridge berharga sekitar €10. Enak! Dan ini asli Italia.  Hotel di Venezia cukup mahal, tapi ada juga yang affordable sekitar €75 per malam. Singkat kata, jalan-jalan di Venezia barangkali hanya memerlukan dua hari.

Setelah konferensi itu, saya bersama rombongan (dua pria komposit) naik kereta ke Modena, mengunjungi pabrik mobil sport Lamborghini. Di Lamborghini, kami bertemu beberapa orang yang sudah kenal sebelumnya. Di sana cukup ketat, tidak boleh foto-foto di dalam pabrik. Kami menyaksikan bagaimana Lamborghini diproduksi. Lebih khususnya, karena bidang penelitian kami komposit, maka kami mengamati bagaimana body mobil yang terbuat dari komposit karbon dibuat. Di pabrik mobil itu, ada museumnya. Tidak megah, tapi cukup untuk menyimpan koleksi mobil pertama hingga yang terbaru. Saham Automobili Lamborghini kini sebagian besar dimiliki Audi, jadi sebagian produk eksperimentalnya harus ditunda; tidak bisa idealis seperti dulu. Sebelumnya kami ke Museum Ferrari. Kami datang ke sana sebelum museumnya buka jam 9:30! Museum Ferrari terpisah dari pabriknya, tapi lokasinya tidak jauh. Museumnya lebih besar dari punya Lamborghini. Dua perusahaan mobil sport dalam satu kota ini memang bersaing, meskipun desainnya sama sekali berbeda.Di Modena, kami menginap di Hotel La Stella d’Italia yang interiornya masih baru. Meski tempatnya bersih, kami mengalami mati lampu beberapa kali pada malam hari dan kamarnya tidak punya telepon! Tapi secara umum, hotel ini cukup bagus (3/5). Ada restoran kecil di dekatnya, mungkin pemiliknya sama. Restoran juga baru dan menyajikan menu lokal (restoran semacam ini disebut Trattoria). Tempatnya bagus, makanannya enak dan harganya relatif murah.

Dari Modena, kami pergi ke Milan naik kereta juga. Di Milan, kami menginap di Hotel Teco di dekat stasiun kereta bernama Lima. Di dekat hotel Teco ada restoran Cina yang cukup murah (jaga-jaga kalau kangen nasi!). Kami pergi ke Piazza del Duomo, Stadion San Siro, Katedral Milan, Castello Sforzesco (Kastil Sforza, bangsawan yang jadi patron dari Leonardo da Vinci dan Michelangelo). Sayangnya kami tidak dapat melihat lukisan The Last Supper di Santa Maria delle Grazie. Harus booking online berbulan-bulan sebelumnya.