Gaijin


Di New York City, kita pasti anonim, incognita, tak dikenal. Di kota yang vibrant, dan mungkin sudah ribuan kali masuk film-film Hollywood, seluruh ras di dunia tumpah. Kota itu menjadi mozaik etnis. Suatu etnis tidak ada yang dominan; ia mungkin hanya menduduki persentase terbesar dengan selisih yang kecil terhadap etnis lainnya.

Di Jakarta, kita juga anonim (asal berambut hitam, bermata hitam, berkulit kuning, tembaga atau coklat tua). Di kota yang sesak itu, dan mungkin sudah ribuan kali masuk film-film layar lebar, seluruh etnis di Indonesia tumpah. Kota itu, seperti halnya New York City, merupakan mozaik etnis. Umumnya, tidak berskala internasional.

Di kedua tempat itu, orang berpikir divergen dan tidak monoton. Ketika melihat orang lain, yang ada di benaknya bukan “dari negara, pulau, suku manakah ia?”. Seandainya pertanyaan itu ada, ia muncul belakangan. Bukan semacam precursor untuk pertanyaan selanjutnya.

Di Jepang, pertanyaan pertama ketika orang Jepang melihat orang lain adalah: Apakah dia orang Jepang? Jika dia bukan orang Jepang dapatkah ia berbahasa Jepang? Jika dia dapat berbahasa Jepang, apakah bahasanya fasih?

Ini disebut oleh penulis favorit saya Debito Arudou di Japan Times sebagai microagression atau agresi kecil. Tentang Debito: pernah mengajar di salah satu universitas di Hokkaido, pernah menikahi wanita Jepang dan mempunyai anak, menjadi warga negara Jepang tapi kemudian bercerai dan keluar dari Jepang. Tulisan-tulisannya dinilai sangat kritis dan pedas terhadap keadaan sosial Jepang. Telinga bisa merah, dan api bisa keluar dari hidung dan mulut jika tidak kuat kritikannya (ini khusus orang Jepang). Tapi pembaca awam, seperti saya, bisa merasakan juga bahwa tulisannya yang berbahasa Inggris elegan itu memang ngamuk terhadap agresi-agresi kecil di Jepang. Beberapa bulan kemudian saya memahami dan berbalik menyukai tulisan-tulisannya. Debito mungkin tidak perlu dibela, tetapi tulisannya adalah atom pengotor (seperti halnya impurity dalam logam) yang bermanfaat bagi Jepang, atau secara khusus Japan Times. Saya berpendapat bahwa tulisannya yang kritis itu, atau bahkan karakter Debito sendiri, memang sengaja diciptakan untuk mendongkrak readership dari Japan Times. JT membiarkan Debito dibombardir banyak orang untuk menunjukkan bahwa orang asing itu selalu menjelek-jelekkan Jepang. Debito dibiarkan menjadi bulan-bulanan. Itu kemungkinan strateginya.

Tapi satu hal yang saya suka dari Debito: ia tidak bosan-bosannya menyuarakan suara gaijin. Suara orang asing di Jepang. Tentu, yang dia bahas tidak lepas dari konteks latar belakangnya sebagai orang Amerika dari kota kecil.

Di Jepang, cerita historis Gaijin pernah saya tulis sebelumnya di sini. Dalam buku Shocking Japan [JH, B First, 2012] yang baru diterbitkan gaijin mungkin tidak dibahas. Tapi rasanya gaijin adalah tema di luar kuliner, jalan-jalan, budaya pop. Ia adalah tema yang serius dan jauh lebih mengejutkan bagi saya dibandingkan Kit Kat rasa wasabi, mistisisme dan lainnya. Ia adalah tema yang hingga saya mati-pun, anak-anak kecil Jepang tetap berpikir bahwa orang di Jepang itu punya dua kategori: Japanese or gaijin. Believe me this is more shocking in an advanced country like this.

Maka saya adalah gaijin. Dan pengalaman ini nyata:

  • Saya harus mengurus suatu kartu tanda penduduk yang menunjukkan bahwa saya seorang gaijin. Tapi di kartu itu ditulisnya gaikokujin [warga negara asing]. Lebih formal.
  • Di ruang dekan, ketika saya asyik ngobrol dengan dekan dalam bahasa Inggris, tiba-tiba seorang tamu (mungkin temannya dekan) masuk. Dia langsung bertanya, kenapa kalian ngobrol pakai bahasa Inggris. Pria setengah tua itu kemudian lihat saya. “Oh gaijin,” begitu katanya. Saya kemudian melihatnya, dan mengatakan: “Yes, I am an alien.” Dia pun pergi.
  • Di ruang lab saya, dua orang mahasiswa yang jelas kurang menyukai orang asing bercakap-cakap. Mereka sering menyebut kata gaijin. Gaijin itu beda. Mereka begini mereka begitu. Seolah bahwa Jepang paling bagus.
  • Di TK anak saya, saya mendadak ditanya oleh temannya. Teman anak saya yang kecil dan lucu itu bertanya: Kamu gaikokujin ya? Ini refleksi pendidikan anak usia dini (PAUD) di Jepang. Orang di dunia ini punya dua kategori: orang jepang dan gaikokujin. Anak-anak Jepang belajar membedakan manusia sejak dini. Sejak TK. Dan ini tidak pernah berhenti. Terbawa sampai tua.

Jepang bukan Harajuku atau sushi belaka. Jepang lebih dari pornografi. Ia punya juga mikro-agresi. Dan ini jauh lebih mematikan. Mereka bukan bersopan santun dengan kita. Bukan sopan santun. Tapi formal. Dengan bersikap formal, mereka punya jarak. Dengan punya jarak mereka tidak akan involved jika kita kena apa-apa. Mereka helpful memang, tapi itu by request, bukan kesadaran.

Indonesia mungkin tidak lebih maju dari Jepang dalam infrastruktur kota, sistem dan wawasan. Tetapi orang Indonesia lebih folksy, lebih alami, lebih hangat dan mudah didekati, lebih akrab dan suka menolong [tanpa instruksi]. Ada yang formal dan sopan, tetapi lebih banyak yang easy-to-get along. Di Jepang, yang suka menolong ada juga sih, tapi tidak banyak. Biasanya orang tua, orang yang pernah tinggal di luar negeri (dan merasakan jadi gaijin juga).