Sebut saja SR. Perempuan ini lahir di Jember, 16 Juni 1936. Ia anak dari penghulu yang berdinas di Kantor Urusan Agama. Rumahnya, mungkin, di sekitar wilayah Kaliwates, Jember. Di sana ia hidup bersama orangtua dan adik-adiknya. Jumlah saudaranya 16. Sebagian dari mereka meninggal di usia muda.
Ia menikah dengan seorang pemuda asal Sidoarjo waktu umurnya masih 16 tahun. Ia lalu ikut ke Candi, sebuah kecamatan di wilayah Sidoarjo, tempat di mana pabrik gula Candi beroperasi. Setelah melahirkan tiga atau empat anak, mereka pindah ke Gending dan Pajarakan, kecamatan di Probolinggo.
Ia pandai sekali memasak. Konon, neneknya pernah membuka warung rawon di jalan raya kota Jember. Antriannya panjang sekali. Bahkan, ada yang mengantri hanya untuk beli sambalnya saja!
Ia tidak murni keturunan Jawa. Neneknya orang Tionghoa yang mualaf. Jadi, beberapa saudaranya ada yang bermata sipit.
Ia diajar mengaji oleh ayahnya sendiri. Jika salah baca huruf Arab tongkat bisa melayang.
Ngomong-ngomong tentang ayahnya (sebut saja Mbah “S”), ada cerita unik yang kebenarannya tentu dipertanyakan. Di usia senjanya, ia lumpuh dan dirawat oleh salah satu anaknya. Ia tak bisa jalan dan mesti dipapah. Hari itu hari Jumat, dan ia ingin sekali sholat Jumat berjamaah di masjid depan rumah. Ia tak diijinkan pergi oleh menantu dan cucunya, jalan rayanya ramai truk; jadi agak merepotkan. Akhirnya menantu dan cucunya pergi sholat. Ketika mereka selesai dan menengok ke belakang, lho, Mbah “S” sedang duduk di belakang mereka. Mereka heran. “Lho, siapa yang mengantar, Mbah?” tanya mereka. “Itu ada dua orang pake jubah putih. Saya bilang saya pengen sholat di masjid depan. Terus mereka menjinjing saya sampai ke sini,” katanya. Siapa dua orang berjubah putih itu? Ada yang bilang malaikat. Entahlah. Yang jelas, Mbah “S” juga fasih bercerita tentang perkembangan kota Mekah masa kini. Ayah saya juga heran, kok bisa tahu detilnya, padahal dia sama sekali tidak pernah ke Arab. Mungkin dari membaca?
Kembali ke SR. SR memiliki tujuh orang anak dari hasil perkawinannya. Suaminya bekerja sebagai Kepala Sinder Tebang di pabrik gula sampai pensiun. Uangnya tentu pas-pasan. Jadi untuk membantu suaminya, ia bekerja di sawah, membantu panen, juga membuat kue kecil. Setelah rejeki terkumpul, ia kemudian membuka usaha katering di pabrik gula. Karena masakannya enak, ia selalu mendapat job untuk masak di acara-acara besar pabrik gula, misal: masa giling. Semua pembantunya, bahkan yang tidak bisa masak sekalipun, bisa “lulus” dari rumahnya dengan tangan yang lihai di dapur. Mereka semua pandai memasak. Emak Sari adalah salah satu muridnya. Datang dari Madura ke Jember, berbekal ilmu masak yang hampir nol (kata SR). Dengan sabar (tapi kadang juga muring-muring), ia mengajarkan komposisi bumbu, fungsi bumbu, resep-resep standard dan rumit, dan memasak dalam berbagai jumlah. Hal ini hanya bisa dipelajari dengan melakukannya, bukan membaca. Keahlian memasaknya yang diturunkan ke banyak orang (keluarga dan orang lain), pasti diingat. Karena keahlian inilah yang mendatangkan bagi rejeki orang lain.
Ia pernah sakit stroke dan menjalani fisioterapi bertahun-tahun. Ia juga memiliki diabetes, kencing manis. Jadi makanannya benar-benar harus dijaga. Suatu hari, ia mengajak pembantunya ke Jakarta naik bus. Entah dengan alasan apa. Suaminya tengah bekerja di Surabaya (pensiunan yang kemudian kembali dikaryakan di Koperasi PTP). Ia ingin dekat dengan anak dan cucu-cucunya di Jakarta. Setibanya di Jakarta, ia ikut acara syukuran di rumah cucunya. Dan beberapa hari kemudian ia dilarikan ke rumah sakit. Ada infeksi pembuluh darah di kakinya yang bengkak. Kondisinya membaik setelah semalaman dirawat. Tapi anehnya, dia aphasia, tidak sadar, tidak ingat apapun. Keesokan harinya ia berpulang ke rahmatullah. Sungguh cepat, tapi kehendak yang kuasa tidak bisa ditolak. Selalu ada firasat mengapa seseorang tiba-tiba pergi ke tempat lain, tempat di mana ia lebih diperhatikan, tempat di mana orang-orang yang dicintainya berkumpul. Barangkali bukan di Jember, tapi di Jakarta.
***
Saya dirawat oleh SR hingga umur dua tahun. Sepertinya sih dimanja, apa-apa selalu dituruti, karena saya cucu lelaki pertamanya. Tiap malam selalu tidur dengan SR di kasur yang digelar di depan TV “Sharp” hitam putih. Tiap malam selalu minta digaruk-garuk punggung atau kepalanya. Peralatan dapur, seperti timbel pemberat, selalu hilang – karena saya suka melemparnya ke dalam blumbang (kolam) dan menikmati bunyi “blung!”. SR juga sering membawa saya berjalan-jalan ke Probolinggo, membelikan mobil-mobilan atau spidol warna. SR lebih sering mengajak saya ke pasar, dan menunjukkan bahwa ia pandai sekali menawar harga. Saya bertanya-tanya: kenapa tidak langsung beli saja, karena harganya sudah sangat murah. Tapi ia selalu mencari yang bagus dan lebih murah. Setelah belanja (dalam jumlah banyak dan dimasukkan ke dalam keranjang), tangan kirinya menggandeng saya dan tangan kanannya menenteng keranjang penuh dengan daging, sayur, tahu, tempe, bumbu-bumbu dan ayam hidup dua ekor! Kenapa tidak beli yang sudah mati? Yang hidup lebih segar katanya.
Itulah SR. Nenek saya.