Dewa Budjana dan Negarakretagama


Pada awal 1990an, nama Dewa Budjana dikenal sebagai gitaris sebuah band bernama Gigi. Meskipun Gigi pada dasarnya melantunkan lagu-lagu pop rock, ornamen musik di dalam karya-karyanya diwarnai akar jazz Dewa Budjana. Budjana (lahir di Sumba pada 1963) belajar gitar jazz dan klasik secara formal kepada Jack Lesmana (ayah Indra Lesmana) ketika ia juga sekolah di SMA 2 Surabaya.

Pada 1997, ia mengeluarkan album solo bertajuk Nusa Damai yang berisi karya-karya instrumentalnya. Lagu-lagunya memakai chord progresif jazz, rock dan diwarnai etnis Bali. Warna pop juga masih terasa. Selanjutnya, ia mengeluarkan album-album solo lainnya: Gitarku (2000), Samsara (2003), Home (2005), Dawai In Paradise (2011) dan terakhir Joged Kahyangan (2013).

Secara pribadi, saya menyukai beberapa permainan solo Budjana dalam lagu-lagunya: Wanita/Trenggono, Adikku, Kromatik Lagi, Joged Kahyangan, Caka 1922, Takana Juo, Shambala (permainan Balawan untuk pertama kalinya tampil dalam album Budjana), Bunga Yang Hilang. Budjana selalu memasukkan berbagai unsur etnis (Bali, Jawa, Minang, bahkan Jepang) ke dalam musik-musiknya. Ia juga meminta bantuan musisi jazz handal (misal: Indra Lesmana) untuk mengaransemen lagunya. Barometer jazz Indonesia kontemporer dapat diketahui dari album-albumnya yang mengawinkan unsur jazz bebop, fusion, dan etnis Indonesia.

Yang lebih menarik dari album Budjana Dawai in Paradise adalah dimasukkannya sebuah ayat dari sebuah canto kakawin Jawa kuno Negarakretagama (disebut juga Desawarnana; diterbitkan pada 1365).

Diyakini, hampir semua orang Indonesia pernah mendengar nama kitab ini, tapi hanya sebagian kecil yang pernah membaca atau melihat isinya. Alasannya sederhana: isinya memang tidak dipopulerkan dalam pelajaran sekolah. Yang dipopulerkan adalah keberadaan pujangga masa lalu bernama Prapanca yang karyanya itu jadi Memory of the World Unesco. Sebenarnya, ini sama artinya dengan tidak mengenal sama sekali kebudayaan Indonesia. Kita hanya tahu nama, tapi tidak tahu isinya. Sayang sekali. Tapi, isi Kakawin Negarakretagama memang sulit dipahami karena ditulis dalam bahasa Jawa kuno (bahkan mungkin proto-Jawa). Hanya orang Bali yang hingga kini masih melestarikan penguasaan bahasa Jawa kuno (yang digunakaan untuk keperluan ritual agama Hindu). Aksara Jawa kuno ini mungkin dekat sekali kekerabatannya dengan aksara yang dipakai orang Myanmar.

JLA Brandes, ahli bahasa asal Belanda, menyelamatkan sejumlah kitab dari Puri Cakranegara milik Raja Bali di Lombok pada 1894. Pasukan KNIL kemudian membakar puri itu. Kitab-kitab Jawa Kuno bisa sampai di Bali (atau Lombok) karena sebagian penduduk Majapahit memang sebagian bermigrasi ke sana setelah kejatuhan Majapahit pada abad 15. Kejatuhan Majapahit sendiri bukan disebabkan masuknya Islam ke Jawa, tetapi karena konflik internal Majapahit setelah Raja Hayam Wuruk mengasingkan Perdana Menteri Gajah Mada ke Madakaripura, Pasuruan. Salah satu kitab yang diselamatkan Brandes adalah Kakawin Negarakretagama.

Kakawin Negarakretagama sebagian besar berisi perjalanan religius Hayam Wuruk ke candi-candi dan desa-desa di Jawa Timur selama dua bulan. Sebagian lainnya berisi tentang silsilah semua raja jaman Singasari dan Majapahit, wilayah Majapahit, dan Hayam Wuruk sendiri. Tapi ada pula beberapa bagian yang berisi tentang penulisnya, sang pujangga bernama Prapanca.

kakawin-negarakertagama

Satu pupuh yang kemudian ‘dipinjam’ oleh Dewa Budjana untuk dicetak di sampul album Dawai in Paradise adalah Pupuh 96 ayat 2:

tan / tata tita tuten, tan tetes / tan tut iɳ tutur, titik / tantri tateɳ tatwa, tutun / tamtam / titir ttitih.

doc002

Dari buku Negarakretagama yang diterbitkan KITLV Belanda saya scan pupuh itu sebagai berikut:

Negarakertagama2

Sampul depannya:

Negarakertagama1

Dalam bahasa Inggris, ayat di atas diartikan sebagai berikut:

The order of the past is the order that should be followed; not correct is not to follow the tuturs (religious books); conscientiously mind the fables; the order of existence; to be kept down is passion; unceasingly arising.

Pertanyaannya, mengapa Budjana memasukkan ayat itu ke albumnya? 🙂