Sidang PhD diadakan di kampus pada 26 Desember, pukul 10:00. Ruangannya Seminar Room 1-1. Ruangan kelas yang cukup untuk menampung 24 orang. Ruangan ini dilengkapi white board dan multimedia. Pukul 9:45 saya mengambil kunci di Satpam, lalu bergegas ke Ruang 1-1. Di dekatnya, ada lobi kecil dengan sofa biru dan alat penguji tekanan darah (karena dekat ruang klinik kampus). Ada dua penguji yang sudah menunggu. Sebut saja HS dan SK. HS terkenal cukup tajam jika bertanya. Selain tajam, juga banyak sekali pertanyaannya. SK kelihatan kalem; lebih tepatnya dingin.
Setelah menyalakan laptop dan menyambungkannya ke proyektor infokus, saya memeriksa apakah slide dapat dibuka dengan baik dan nampak jelas. Slide nampaknya lancar terbuka, meski sebelumnya agak berat dibukanya. Maklum laptop sudah berusia 3 tahun lebih (hard disk udah 80% terisi; memori nampak kecil dibandingkan standard sekarang) dan ukuran file PPT lebih dari 300 MB (penuh gambar X-ray resolusi tinggi). Pointer dengan infra-merah sudah di tangan.
Tak berapa lama, penguji lain datang. Inisialnya KK. Rambutnya (seperti biasa) nampak basah. Wajah dan posturnya yang agak besar nampak segar. Tepat pukul 10:00, advisor saya NW masuk ruangan sambil membawa satu binder besar berisi thesis dan beberapa dokumen. Kedatangannya bersamaan dengan penguji terakhir yang namanya tidak masuk list. Penguji terakhir ini diputuskan secara mendadak di rapat fakultas. Katanya, penguji PhD harus tiga orang yang berasal dari departemen yang sama; bukan dua orang seperti sebelumnya. Entah apa alasan penambahan jumlah penguji dari departemen yang sama ini. Tapi, tidak ada pilihan lain, seseorang harus mau menjadi penguji. Penguji terakhir ini yang berinisial MA dipilih karena project leader di riset kami. Bidangnya bukan aerospace structures & materials, tapi fluid dynamics. Agak tidak nyambung, tapi dia tetap hadir dan menjadi penguji. Jadi, penguji dari dalam departemen adalah MA dan KK, sedangkan penguji dari luar adalah HS dan SK. Cukup menegangkan juga karena biasanya teman lain ada yang menghadapi ‘hanya’ dua penguji; itu pun satu universitas.
Kode busana untuk mahasiswa yang menjalani sidang PhD tidak se-elegan di TU Delft, Belanda, yang memakai tuksedo. Di sini, cukup jas, dasi dan kemeja. Alasan pertama karena musim dingin. Dulu, ketika seseorang melakukan sidang PhD pada musim panas, ia hanya memakai kemeja lengan panjang dan dasi saja. Dalam sidang ini, seperti biasa NW memakai jas dan kemeja kotak-kotak favoritnya; MA memakai jas dan sweater hitam; HS memakai jas juga; KK memakai sweater hitam, sandal dan kaus kaki; SK memakai jas dan dasi. SK nampak formal dan tetap dingin.
Seminggu sebelumnya, saya mempersiapkan slide. Awalnya berjumlah 100an halaman. Kemudian membengkak jadi 120an. Total waktu yang disediakan untuk presentasi adalah kurang dari 60 menit. 60 menit selanjutnya digunakan untuk tanya jawab. Beberapa hari menjelang sidang saya latihan dua kali. Satu kali latihan sendiri di lab, dengan catatan waktu 53 menit. Latihan kedua di rumah, dengan catatan waktu 58 menit. Itu pun sudah ngomong ngebut. Bahkan, bahasa Inggris dan Jawa bisa becampur aduk.
Tepat pukul 10:00 pembimbing saya membuka defense meeting (pertemuan untuk mempertahankan disertasi). Pertemuan itu dibuka dengan menyebutkan siapa yang akan diuji dan judul thesis. Dia sekali membaca dokumen proposal. Singkat sekali pembukaannya. Kurang dari dua menit. Ini memang khas pembimbing saya yang tanpa basa basi namun berwajah smiley. Ketika dia memberikan pembukaan itu saya sibuk berdoa supaya mendapat kemudahan dalam menjalani sidang. Sebenarnya tidak gugup atau deg-degan, tapi agar pertanyaan-pertanyaan yang muncul tidak bersifat menjatuhkan atau mengandung major revision. Setelah itu saya langsung tancap gas presentasi. Pertama saya ucapkan terima kasih kepada para penguji karena telah hadir pagi itu. Selanjutnya saya langsung menerangkan intisari dari disertasi. Ada tujuh bab. Setiap bab mungkin berisi antara 7-15 slides. Bab 2 paling banyak slide-nya. Setelah saya presentasi, saya lihat jam, wah sudah ngomong 75 menit! Tidak terasa. Pantes kok agak munthuk. Dan lupa pula membawa minum! Kering kerontang!
Setelah itu, penguji dipersilakan memberi pertanyaan. Sepertinya, urutan pemberi pertanyaan didasarkan pada umur dan pengalaman dalam bidang tersebut. Oleh sebab itu, HS diberi kesempatan pertama. Seperti dikatakan sebelumnya, HS cukup terkenal di Jepang untuk bidang saya, pernah menjadi ketua society-nya dan kalau bertanya tajam dan banyak. Pagi itu, dia (surprisingly) kalem sekali bertanyanya. Wah kaget juga saya. Betapa kalemnya orang ini, tidak seperti biasanya kalau berbicara one-on-one. Mungkin juga karena ada penguji terakhir, yang notabene adalah dekan di kampus. Agak sungkan, ceritanya. Atau doa saya terkabul? Dia memberi pertanyaan-pertanyaan pendek. Saya jawab dengan pendek juga: clear and crisp (begitu pengalaman kerja di Hitachi dulu). Pertanyaannya bersifat verifikasi, bukan menguji. Setelah 15-20 menit kita tanya jawab, selanjutnya kesempatan diberikan kepada SK. Oiya, ketika saya tahu bahwa pengujinya adalah HS dan SK, saya buru-buru men-download semua paper yang mereka pernah terbitkan (tentunya mereka sebagai penulis pertama, karena pasti mereka sendiri yang menulis, bukan orang lain). Jadi saya sedikit banyak memahami latar belakang dan pengetahuan mereka tentang bidang saya. “Know your enemy’s background” – ini seperti cerita Benjamin Disraelli ketika perang di Afrika. Saya sudah baca beberapa paper SK. Awalnya, SK memberikan rekognisi bahwa pekerjaan PhD ini cukup banyak, namun pada akhirnya harus disimpulkan sebagai satu kesatuan, apa yang pembaca dapat pelajari dari disertasi itu. Singkat saja. Tuliskan satu rekomendasi. Selanjutnya dia diam. Kemudian kesempatan bertanya diberikan kepada KK. KK mengatakan pertanyaannya senada, bahwa harus ada satu usulan bagaimana supaya ini begini, ini begitu. Singkat saja. Kemudian, MA diberi kesempatan bertanya. Karena awam dengan bidang, maka pertanyaanya bersifat umum namun kritikal. Jadi jawabannya juga umum, agak panjang agar dapat men-dispute kritik tersebut. Kemudian, pertanyaan diberikan lagi kepada HS. HS memberikan pertanyaan pendek-pendek, banyak sekali. Sifatnya verifikasi dan finding out the truth; bukan menguji. Setelah melihat jam, ternyata waktu sudah menunjukkan 12:30. Sidang harus diakhiri. Setelahnya, para dosen merencanakan pertemuan kedua. Presentasi kedua yang akan dilakukan akhir Januari. Tepatnya 23 Januari pukul 17:00. Ini sidang terbuka, jadi siapa saja boleh datang dan bertanya. Semacam public hearing. Katanya, yang paling menentukan adalah sidang tertutup hari ini; bukan yang terbuka. Alhamdulillah sidang terlewati dengan lancar berkat doa banyak orang.
***
Beberapa hal yang saya dapatkan hari itu dan beberapa tahun terakhir: good questions lead to good finding (if answered); be frank about everything; even the toughest has a moment of fatigue (to question things); kindness leads to kindness; maintaining harmony above your ego is a key to success in Japan (or, the world at large).
Dalam hidup kita tidak boleh judgemental, gampang sekali menilai. Misal, anak ini pintar, anak ini rajin. “Pintar” dan “rajin” di Indonesia menjadi dikotomi paradigma yang berbahaya. Anak yang pintar cenderung dipuji. Pintar ini berarti bahwa dia cerdas, cepat memahami sesuatu, cepat menyelesaikan sesuatu. Belum tentu rajin, dan tidak perlu rajin. Rajin di Indonesia berarti kurang cerdas, tetapi meluangkan banyak waktu untuk belajar dan akhirnya menguasai sesuatu.
Nobody knows exactly one’s intelligence level; no use of measuring it; leading to a conclusion that IQ test, rank in class, and GPA should be banished; but, this unfortunately the world we only imagine – Lennon’s dream.
Di Jepang kedua kata ini (rajin dan pintar) memang ada, tapi jarang dipakai. Di Jepang, orang dinilai dari karya dan hasil terlepas itu dihasilkan oleh orang pintar atau rajin. Misal: ketika seseorang tidak dapat masuk universitas favorit, ia tidak dikatakan tidak cukup pintar/rajin, tapi karena nilainya memang tidak cukup untuk masuk universitas favorit; bukan masalah pintar atau rajin.
Di Jepang (atau dimanapun di dunia), tidak ada orang yang tidak bisa dilatih. Semua bisa dilatih hingga ahli. Oleh sebab itu, Jepang relatif lebih maju dibanding negara Asia lainnya. Semua orang diasah potensinya. Mungkin karena negara ini sudah belajar bagaimana orang yang dikategorikan dan dipuji-puji “pintar” itu ternyata useless karena mereka tidak konsisten melakukan sesuatu, tidak menghasilkan apa-apa kecuali pujian sesaat. Beberapa tahun terakhir ini, saya menyadari bahwa yang mampu mengubah dunia adalah pembaharu dan hasil karyanya. Karya itu memang dihasilkan dari kecerdasan, tetapi lebih banyak karena kerja keras. Lain dulu lain sekarang. Setiap orang memiliki tipping point, meminjam istilah Malcolm Gladwell. Setiap orang mempunyai titik balik, kapan dia menyadari dia melakukan kesalahan dan berubah menjadi lebih baik. Jika kita mempunyai passion terhadap sesuatu, tekunilah, jalanilah dengan sepenuh hati. Cari hal yang niche, yang tidak dilakukan banyak orang. Di sana kita dapat berkontribusi karena terpacu untuk memikirkan hal-hal yang orisinil; bukan daur ulang. Kita jangan merasa inferior, anggap semua sama. Kita juga jangan merasa superior, karena di atas langit masih ada langit (bahkan kitab suci-pun melukiskan strukturalisme dari langit). Merasa biasa-biasa saja, lakukan apa yang ditekuni dengan sepenuh hati. Hasil akan mengikuti. Lupakan masa lalu. Itu bukan cerminan masa depan. Yang menentukan masa depan adalah keputusan untuk menjalani sesuatu. Di situ kita belajar menerima efek dan konsekuensinya. Di situ kita belajar mengenai kehidupan dan persona-personanya.
Everyone can get Ph.D. What you need to do is to find your own subject, and work on it with all your heart.