5 Okt 09. Meeting dengan advisor. Dia memberikan dua tema: (1) structural health monitoring (SHM), dan (2) in-plane strength of composites. Yang pertama terdengar keren, tapi sementara ini tidak disentuh dulu karena advisor merasa tidak cukup pengetahuan dalam SHM. Yang kedua terdengar biasa-biasa, tapi penting sekali dalam dunia komposit.
Catatan: mengenai apa itu bahan komposit, bisa dibuka bagian 1 & 2 link berikut PDF.
14 Okt 09. Meeting dengan peneliti di JAXA. Oleh mereka, SHM dirasa terlalu dekat dengan industri, jadi kandungan ilmiahnya kurang. Yang jadi tantangan dalam SHM bukannya metodenya, tapi lokasi penanaman serat optik di struktur pesawat. Jika lokasinya sudah ditemukan ya selesai sudah. Tapi ini tugas orang-orang di industri, bukan akademisi. Untuk tema kelelahan pada komposit, orang JAXA sangat berminat; tapi ahlinya tidak ada. Jadi kita harus mandiri.
***
In-plane strength, atau kekuatan komposit dalam sumbu bidang (x-y), biasanya dipakai sebagai parameter untuk mendesain struktur (pesawat misalnya). Untuk mendapatkannya, bisa dengan melakukan eksperimen di laboratorium, yaitu melakukan uji tarik. Beban yang diberikan bisa berupa beban statik dengan rate yang lambat. Dalam uji tarik, kita bisa mengamati kurva tegangan – regangan suatu bahan. Dari kurva ini pula, kita bisa mendapatkan sesuatu yang kuantitatif, yaitu modulus Young, tegangan maksimum, regangan maksimum. Sesuatu yang kualitatif dari uji tarik adalah modus kegagalan (failure mode).
Berbeda dengan logam, modus kegagalan pada komposit berdifusi; karena komposit terdiri dari serat-serat dan matriks (misal: polimer), maka kegagalannya akan ditentukan oleh kegagalan-kegagalan kecil dari struktur penyusunnya, yaitu serat dan matriks. Serat biasanya lebih kuat, jadi yang gagal terlebih dahulu adalah matriks. Setelah itu kerusakan berdifusi dari matriks ke serat, kemudian membentuk delaminasi antar lapisan komposit. Kompleks sekali. Oleh sebab itu, pemodelan kegagalan pada komposit jauh lebih kompleks dibanding logam. Dan, teorema yang diajukan, meski kadang diderivasi dari teori-teori di logam, biasanya bersifat fenomenologis.
‘Fenomenologis’ adalah jargon yang sering muncul ketika membicarakan kegagalan pada komposit. Hal ini bukan pendekatan bottom-up sepertinya halnya matematika. Tapi top-down, berdasarkan observasi di laboratorium. Hasil observasi ini kemudian dibandingkan dengan teori, dengan hasil eksperimen peneliti lain. Kondisi dan asumsi pada saat melakukan eksperimen dibaca kembali, kemudian, mulai mengusulkan suatu model yang logis mengenai kegagalannya. Keterbatasan dari sesuatu yang fenomenologis adalah bahwa ia terikat dengan kondisi batas, kondisi lingkungan, metode dan cara observasi. Sedikit banyak, dia subjektif. Oleh sebab itu, teori yang didasarkan pada pengamatan fenomena biasanya jadi bahan ‘perdebatan’ ilmiah dan verifikasi yang menyeluruh.
Yang membuat lebih kompleks adalah jenis komposit. Komposit banyak dipakai di struktur pesawat. Bahkan struktur airbus A380 memakai lebih dari 50% bahan komposit. Alasannya: ringan, tapi kuat. Kekurangannya: mahal, dan sulit untuk mendeteksi kerusakan.
Jika kita berjalan di aisle pesawat sebenarnya kita berjalan di atas pelat komposit. Jika pelat ini tertimpa sesuatu yang tajam, misal sepatu hak tinggi (dari seorang wanita berbobot 100kg – hehe too much!), atau tertimpa ujung koper, maka ketika dibuka, bekas damage tidak akan ditemukan. Karena yang rusak adalah lapisan terbawah dulu! Alasannya: karena tegangan in-plane yang maksimum itu ada di lapisan terbawah. Hal ini menyebabkan adanya delaminasi antar lapisan di komposit (catatan: pelat komposit yang misal tebalnya 0.5cm, terdiri dari lapisan-lapisan tipis komposit disebut ply).
Bagaimana mengurangi proses delaminasi? Ya dijahit! Komposit yang dihasilkan adalah stitched-composite, atau komposit jahit (terjemahan bebasnya). Komposit jahit terbukti tahan beban impak, atau tumbukan. Strain energy release rate untuk pembukaan retak jauh lebih tinggi dibanding komposit tanpa jahitan. Tapi bagaimana dengan perilaku kelelahannya (fatigue behaviour)?
Ada yang bilang, perilaku kelelahannya lebih baik sedikit atau sama; ada yang bilang lebih buruk dibanding komposit tanpa jahitan. Lha mana yang benar? Ya ini yang jadi pertanyaan mendasar dalam riset sekarang. Kemudian, bagaimana memprediksi kegagalan lelah komposit jahit? Diperlukan sebuah model matematik yang sederhana (karena kalau terlalu kompleks, terlalu banyak faktor dan kurang indah/elegan) untuk memprediksi kegagalan komposit jahit. Model matematiknya bisa diderivasi dari rumus terdahulu, dimasukin faktor-faktor lain, atau diderivasi dari eksperimen. Lagi-lagi metode ini fenomenologis. Tapi tidak apa, yang penting kan bisa memprediksi satu atau dua kasus.