2015


Postingan pertama tahun 2015! Kehidupan di KAUST selama hampir setahun (Feb 2014 – Jan 2015) berlalu dengan cepat. Tidak terasa! Berbeda dengan di Jepang antara April 2013 – Jan 2014 yang seringkali diwarnai rasa ingin ‘minggat’ secepatnya dari negeri matahari terbit itu. Kehidupan di KAUST sangat sibuk, lebih sibuk dari di Jepang. Tempat baru, eksplorasi baru, tanggungjawab baru. Alhamdulillah, mungkin tinggal di tempat ini harus disyukuri setiap hari (agar tuhan terus menambahkan nikmat-Nya).

Tahun 2014, sebenarnya hanya punya target mendapatkan pekerjaan baru (maklum, kontrak kerja sebelumnya berakhir pada bulan Maret 2014). Jadi mau tidak mau, kita harus pergi dari TMU. Ada satu opsi sebenarnya, jika ingin tetap tinggal di Jepang, yaitu pergi ke Nagoya dan bergabung dengan National Composite Center yang baru dibangun dan dipimpin oleh profesor komposit Jepang. Meskipun itu akan sedikit mendongkrak curriculum vitae karena pernah bekerja dengan profesor itu, tapi pindah ke Nagoya akan memberi kerepotan (hidup di Jepang) edisi berikutnya, misal: mencari rumah, mengurus sekolah, angkut-angkut barang dan lain-lain. Alhamdulillah, bulan September 2013, sudah ketahuan bakal pindah ke KAUST.

Target tahun 2014 sebelumnya sebenarnya berhubungan dengan pekerjaan, agama dan keuangan. Setidaknya, dalam hal pekerjaan, kontrak diperpanjang (dan ini sudah terjadi). Agama: menunaikan ibadah haji dan umroh. Keuangan: mempunyai tabungan yang cukup untuk beberapa hal. Alhamdulillah, mendapatkan financial miracle di KAUST.

Tahun 2015 ini targetnya adalah:

  • Akademik/profesi:
    • mendapat perpanjangan kontrak lagi;
    • menulis paper (targetnya 3 paper);
    • mempelajari lebih dalam tentang dynamic properties of materials, viscoelastoplasticity;
    • nyicil nulis buku komposit bahasa Indonesia
  • Religius/Sosial
    • umroh rutin;
    • memperbanyak sholat berjamaah;
    • mendalami Qur’an;
    • sedekah, donasi
  • Self-development:
    • belajar bahasa Arab,
  • Finance
    • mempunyai tabungan pendidikan dan pensiun yang cukup
    • berinvestasi
  • Leisure
    • liburan musim panas

Di Tepi Laut Merah


Ayat ini tentu sungguh masyhur:

Lalu kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu, dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS 26:63)

Terbelahnya lautan itu berawal dari sebuah eksodus. Musa bersama kaum Yahudi melarikan diri dari Mesir. Mereka tergesa, dan tiba di tepi laut merah. Keadaan mulai tegang karena raja Mesir (firaun atau pharaoh) mengejar mereka. Firaun sudah tak jauh di belakangnya. Musa yang terpojok kemudian menerima wahyu itu. Ia memukulkan tongkatnya ke tanah, dan lautan terbelah dua. Di tengahnya, ada jalur kering yang terbuka. Kaum Yahudi melewati jalan itu, hingga mencapai jazirah Arab dengan selamat. Firaun tak jauh di belakang mereka, juga melalui jalur kering itu. Ketika semua Yahudi telah menginjakkan kaki di pantai barat Arab itu, Tuhan menutup laut itu. Firaun dan pasukannya tenggelam, terhimpit dua ‘dinding’ laut yang sebelumnya tegak dan stasioner.

Cerita itu sangat masyhur. Bahkan orang MIT pun membuat sebuah T-shirt yang mencetak persamaan Navier-Stokes:

And Moses said:

∇·v = 0

δv/dt + v·∇v = -∇P/ρ – g∇h + v∇²u

And the waters parted!

Cerita itu sangat masyhur. Ketika kecil, ketika mendengar cerita itu (dan melihat film Ten Commandments), saya tak pernah membayangkan akan pergi ke laut merah. Mungkin hanya ingin tahu: di mana laut merah, mengapa ia bisa terbelah begitu rupa. Pesan yang diingat juga tidak banyak, bahwa yang jahat akhirnya binasa, bahwa tuhan memberikan jalan kepada mereka yang terhimpit namun terus berusaha.

1398676936194

KAUST

Bulan Februari lalu saya mulai tinggal di tepi laut merah (akhirnya ke tanah Arab juga, meski tanpa lewat Mesir, dikejar firaun dan membelah lautan). Alasan utama ke Arab adalah bekerja di KAUST (King Abdullah University of Science and Technology). Mengikuti tradisi penamaan universitas di Arab, KAUST adalah universitas yang didirikan atas daulat Raja Abdullah. KAUST dibangun (dengan ngebut) pada 2007, dan mulai menerima mahasiswa (khusus pascasarjana S2, S3) pada 2009.

Minum kopi di laut merah

Minum kopi di laut merah

Universitas ini pernah membuat ‘geger’ Singapura pada 2008. Ketika masih bekerja di Singapura, saya membaca berita bahwa rektor NUS (National University of Singapore) bernama Prof. Choon Fong Shih pindah ke KAUST. Shih pindah ke Arab ketika namanya masih bersinar. Ketika menjadi rektor itu (2000-2008), ia berhasil mendongkrak reputasi NUS dengan mengundang profesor-profesor ternama, memperkuat hubungan antara lembaga riset (A*STAR) dengan NUS, memperkuat jalinan dengan industri, memperbaiki kurikulum dan meningkatkan publikasi internasional.

KAUST diawali dengan program yang mirip dengan NUS. Bedanya tentu banyak. KAUST dilimpahi endowment fund yang fantastis (20 miliar dolar), dan tak hanya skala kampus biasa (tetapi kota mandiri!). Lokasinya tak jauh dari Jeddah (80-90 km ke utara), di sebuah kampung nelayan bernama Thuwal. Pantai Barat ini relatif bebas dibandingkan kawasan dalam Arab Saudi yang ketat menjalankan hukum syariah. Di KAUST, pria dan wanita dapat kuliah/riset bersama tanpa dipisah/disekat (di universitas lainnya, mereka dipisah). Wanita tidak diwajibkan memakai pakaian tertutup (jilbab dan sejenisnya). KAUST menjaring top talent, siapa saja yang berminat mengembangkan frontier research yang (tentunya) sesuai dengan visi/misi KAUST. KAUST punya 200an dosen, 300an postdoc dan research scientist, 500an mahasiswa dan sekitar 1000 staff. Selain mendapatkan gaji, mereka juga mendapat rumah (dengan ukuran jumbo!) serta benefit lain. KAUST juga mempromosikan keberagaman (diversity): warganya berasal dari 90 negara. Total penghuni compound KAUST adalah 5000an. Sebagian besar adalah anak-anak! Minibus kecil berkeliaran di jalur-jalur utama dengan waktu kedatangan setiap 15 menit (gratis!). Bus besar juga disediakan bagi penghuni untuk pergi ke Jeddah, Mekkah dan Madinah (gratis juga!). Ada dua supermarket (kecil dan besar) yang memenuhi kebutuhan penduduk. Ada pemadam kebakaran, kantor polisi, stasiun bus, rumah sakit, masjid besar (dan kecil-kecil yang tersebar), kompleks olahraga dan hiburan, sekolah berbasis internasional, penitipan anak, restoran dan fasilitas lain. Intinya: bersyukur sekali bisa ke KAUST.

Ke KAUST dengan alasan ingin haji?

KAUST juga terletak tidak jauh dari Mekkah dan Madinah. Ini sebabnya mengapa banyak sekali yang ingin masuk KAUST: karena ingin umroh (yang bisa dilakukan setiap minggu) atau naik haji. Masuk KAUST dengan alasan ini, bagi saya pribadi, sangat naif. Alasannya sangat sederhana: KAUST didirikan tidak untuk melayani ibadah umroh dan haji! KAUST didirikan untuk mengembalikan lagi jaman keemasan Arab sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Menurut kisah yang turun-temurun di sini, KAUST didirikan berkat impian seorang raja sejak 25 tahun silam. Universitas model KAUST diformulasikan dari gagasan para profesor dari berbagai univesitas ternama dunia ketika mereka ditanya: “Jika anda diberi dana tak terbatas, universitas model apa yang akan anda dirikan?” Jawaban mereka tentu beragam. Tetapi setelah digodok, jawabannya adalah KAUST (more or less). KAUST memerlukan reputasi internasional karena ia masih balita. Ia memerlukan dosen, peneliti dan mahasiswa yang dapat menghasilkan paper, paten, atau prestasi akademik lainnya. KAUST didirikan untuk menaikkan ekonomi Arab Saudi yang saat ini hanya bersandar pada minyak dan haji. Ini mungkin hard truth: seseorang perlu ‘meluruskan’ niatnya jika ingin datang ke KAUST. Niat itu adalah riset dan produktif di dunia akademik. Hal-hal religius yang bersifat pribadi (namun tentunya esensial bagi seorang muslim) dengan sendirinya akan mengikuti, dan insyaallah terfasilitasi.

Bekerja di KAUST

Banyak orang Indonesia yang pernah dan sedang tinggal di KAUST. Sebagian besar kuliah. Sisanya bekerja baik full time maupun paruh waktu. Website mahasiswa Indonesia di KAUST dapat diakses di sini: kaustina. Dalam website itu, segala pertanyaan mengenai mendaftar kuliah di KAUST telah terjawab. Jika kurang jelas dapat menanyakan kepada administratornya. Mereka cukup responsif.

Sehabis mancing di laut merah (latar: Beacon Tower of KAUST)

Sehabis mancing di laut merah (latar: Beacon Tower of KAUST)

Mengenai bekerja (ini khusus para academic jobhunter bidang sains dan teknik), bekerja di KAUST tentu masuk dalam wishlist. Semua mungkin punya alasan sama: gaji besar. Masalahnya, gaji itu relatif. Rektor yang dibayar 3-6 juta dolar per tahun aja mungkin masih merasa kekurangan. Di atas langit ada langit. Pokoknya kalau soal “uang” kita bakal terjerat konsep batas tak berhingga (lim → ∞). Jadi, gaji yang cukup (untuk memenuhi kebutuhan hidup) harap dijadikan pegangan pertama. Niat manajemen KAUST pastinya ini: jangan sampai pinjam-pinjam ketika hidup di KAUST (isin rek! hehe).

KAUST sering memposting lowongan kerjanya secara online. Di lelamannya (http://www.kaust.edu.sa/) ada link Search for a job. Dari sana, ada banyak posisi kosong yang diperlukan. Anda bisa daftar pekerjaan yang sesuai dengan bidang anda. Kontak HRD nya langsung bila perlu. KAUST punya turn over tinggi (orang keluar masuk dengan cepat) dan tengah berkembang pesat. Jadi, sering-sering cek link itu dan daftar. Jangan menyerah.

Bagaimana supaya diterima? Ini termasuk rahasia tuhan yang tiga itu (mati, jodoh, rejeki). Diterima di KAUST itu rejeki, jadi hanya tuhan yang tahu (atau paling nggak, HRD yang tahu). Tapi coba kirim curriculum vitae (lewat aplikasi online) untuk posisi-posisi yang diinginkan. Selanjutnya adalah menunggu interview. Jika tidak ada panggilan interview, tunggu saja. Tapi biasanya mereka pasti membalas (baik good news = diterima, maupun bad news = ditolak).

Kalau anda ingin bekerja sebagai postdoctoral research fellow atau research scientist, anda bisa menghubungi profesor yang membawahi lab-lab tertentu. Atau, mengontak para profesor di berbagai research center.

Siapa yang dicari KAUST? Yang jelas, KAUST mencari potential researcher: seseorang yang punya latar belakang riset yang relevan dengan riset KAUST sekarang tentu akan dipertimbangkan. Tapi jangan lupa: persaingan sangat ketat (CV dari seluruh penjuru dunia masuk ke KAUST – dan jumlahnya akan terus meningkat dari tahun ke tahun). Tunjukkan bahwa anda adalah outstanding candidate. Bagaimana caranya? Percaya diri, komunikasikan jawaban dan ide anda secara jernih dalam bahasa Inggris yang baik, rendah hati, positif, be clear of what you want to achieve (baik secara teknis maupun global), jadilah inisiator bukan follower. Semua orang yang menjadi peneliti punya record yang mirip sebenarnya: mampu secara akademik, punya motivasi tinggi, produktif. Semua itu muncul dalam CV dengan deretan gelar, prestasi dan publikasi. Tapi, interview (bisa datang langsung atau via Skype) akan menentukan semuanya. Bahkan setelah interview dan diterima pun, posisi anda belum aman. Tunjukkan bahwa anda dapat mengikuti ritme kerja, visi/misi laboratorium/tempat kerja, terus produktif dan bermanfaat untuk tim. Pengalaman dari seorang teman yang diterima sebagai postdoc di KAUST dapat dibaca di sini. Pengalaman orang tentu berbeda-beda, tetapi pengalamannya dapat dijadikan referensi.

Akhir kata: terus berjuang!

Dewa Budjana dan Negarakretagama


Pada awal 1990an, nama Dewa Budjana dikenal sebagai gitaris sebuah band bernama Gigi. Meskipun Gigi pada dasarnya melantunkan lagu-lagu pop rock, ornamen musik di dalam karya-karyanya diwarnai akar jazz Dewa Budjana. Budjana (lahir di Sumba pada 1963) belajar gitar jazz dan klasik secara formal kepada Jack Lesmana (ayah Indra Lesmana) ketika ia juga sekolah di SMA 2 Surabaya.

Pada 1997, ia mengeluarkan album solo bertajuk Nusa Damai yang berisi karya-karya instrumentalnya. Lagu-lagunya memakai chord progresif jazz, rock dan diwarnai etnis Bali. Warna pop juga masih terasa. Selanjutnya, ia mengeluarkan album-album solo lainnya: Gitarku (2000), Samsara (2003), Home (2005), Dawai In Paradise (2011) dan terakhir Joged Kahyangan (2013).

Secara pribadi, saya menyukai beberapa permainan solo Budjana dalam lagu-lagunya: Wanita/Trenggono, Adikku, Kromatik Lagi, Joged Kahyangan, Caka 1922, Takana Juo, Shambala (permainan Balawan untuk pertama kalinya tampil dalam album Budjana), Bunga Yang Hilang. Budjana selalu memasukkan berbagai unsur etnis (Bali, Jawa, Minang, bahkan Jepang) ke dalam musik-musiknya. Ia juga meminta bantuan musisi jazz handal (misal: Indra Lesmana) untuk mengaransemen lagunya. Barometer jazz Indonesia kontemporer dapat diketahui dari album-albumnya yang mengawinkan unsur jazz bebop, fusion, dan etnis Indonesia.

Yang lebih menarik dari album Budjana Dawai in Paradise adalah dimasukkannya sebuah ayat dari sebuah canto kakawin Jawa kuno Negarakretagama (disebut juga Desawarnana; diterbitkan pada 1365).

Diyakini, hampir semua orang Indonesia pernah mendengar nama kitab ini, tapi hanya sebagian kecil yang pernah membaca atau melihat isinya. Alasannya sederhana: isinya memang tidak dipopulerkan dalam pelajaran sekolah. Yang dipopulerkan adalah keberadaan pujangga masa lalu bernama Prapanca yang karyanya itu jadi Memory of the World Unesco. Sebenarnya, ini sama artinya dengan tidak mengenal sama sekali kebudayaan Indonesia. Kita hanya tahu nama, tapi tidak tahu isinya. Sayang sekali. Tapi, isi Kakawin Negarakretagama memang sulit dipahami karena ditulis dalam bahasa Jawa kuno (bahkan mungkin proto-Jawa). Hanya orang Bali yang hingga kini masih melestarikan penguasaan bahasa Jawa kuno (yang digunakaan untuk keperluan ritual agama Hindu). Aksara Jawa kuno ini mungkin dekat sekali kekerabatannya dengan aksara yang dipakai orang Myanmar.

JLA Brandes, ahli bahasa asal Belanda, menyelamatkan sejumlah kitab dari Puri Cakranegara milik Raja Bali di Lombok pada 1894. Pasukan KNIL kemudian membakar puri itu. Kitab-kitab Jawa Kuno bisa sampai di Bali (atau Lombok) karena sebagian penduduk Majapahit memang sebagian bermigrasi ke sana setelah kejatuhan Majapahit pada abad 15. Kejatuhan Majapahit sendiri bukan disebabkan masuknya Islam ke Jawa, tetapi karena konflik internal Majapahit setelah Raja Hayam Wuruk mengasingkan Perdana Menteri Gajah Mada ke Madakaripura, Pasuruan. Salah satu kitab yang diselamatkan Brandes adalah Kakawin Negarakretagama.

Kakawin Negarakretagama sebagian besar berisi perjalanan religius Hayam Wuruk ke candi-candi dan desa-desa di Jawa Timur selama dua bulan. Sebagian lainnya berisi tentang silsilah semua raja jaman Singasari dan Majapahit, wilayah Majapahit, dan Hayam Wuruk sendiri. Tapi ada pula beberapa bagian yang berisi tentang penulisnya, sang pujangga bernama Prapanca.

kakawin-negarakertagama

Satu pupuh yang kemudian ‘dipinjam’ oleh Dewa Budjana untuk dicetak di sampul album Dawai in Paradise adalah Pupuh 96 ayat 2:

tan / tata tita tuten, tan tetes / tan tut iɳ tutur, titik / tantri tateɳ tatwa, tutun / tamtam / titir ttitih.

doc002

Dari buku Negarakretagama yang diterbitkan KITLV Belanda saya scan pupuh itu sebagai berikut:

Negarakertagama2

Sampul depannya:

Negarakertagama1

Dalam bahasa Inggris, ayat di atas diartikan sebagai berikut:

The order of the past is the order that should be followed; not correct is not to follow the tuturs (religious books); conscientiously mind the fables; the order of existence; to be kept down is passion; unceasingly arising.

Pertanyaannya, mengapa Budjana memasukkan ayat itu ke albumnya? 🙂

Review 2013


Hari ini mau pergi ke pertemuan teman-teman Indonesia yang kuliah di TMU (PPI-TMU). Katanya mau ngadain pemilihan ketua baru, makan-makan dan perpisahan. Akhirnya, pagi bangun dan saya mesti bikin cumi saus merah (apa aja dimasukin). Ini fotonya.

cumi-saus-tiram

Dulu awal Januari 2013 pernah nulis tentang harapan-harapan yang ingin dicapai tahun 2013. Apa aja yang tercapai ya …

1) Wisuda dan dapat kerja! (tercapai)

Akhirnya wisuda juga tanggal 25 Maret 2013, dan dapat posisi di TMU. Akhir tahun, dapat kerja lagi di universitas lain.

2) Menerbitkan buku (teknik atau humaniora) (tercapai)

Inginya sih menulis buku tentang komposit berbahasa Indonesia, atau menyelesaikan buku sejarah. Tapi tidak berhasil. Yang berhasil menulis thesis tentang komposit berbahasa Inggris. Mirip buku juga sebenernya.

Print

3) Menulis paper di jurnal (tercapai)

Bulan April 2013 memasukkan dua paper ke dua jurnal berbeda (Composites Science & Technology dan Composites Part A). Untuk CST, paper alhamdulillah akhirnya diterima (accepted). Untuk Comp A, paper mesti dirombak dan disubmit kembali beberapa hari yang lalu (sekarang masih under review). Selain itu juga mendampingi teman menulis paper (sebagai co-author). Alhamdulillah papernya diterima juga di Composites Part B. Jadi, dua paper diterima. Paper is a currency of a researcher.

S02663538

4) Beli gitar acoustic electric atau semi-hollow body (mirip punya George Benson) (tidak tecapai)

Ingin sekali main gitar lagi. Tapi berhubung tabungan tidak mengijinkan, maka tidak bisa beli gitar ini.

5) Berlibur ke luar Jepang bersama keluarga (jika masih di Jepang) (tidak tercapai)

Alasannya sama dengan di atas. Tapi alhamdulillah bulan Februari 2014, impian itu tercapai. Disebutnya libur ‘sangat’ panjang! Seperti halnya ke Jepang waktu 4 tahun lalu.

6) Menginisiasi scholarship/fellowship di kampung halaman (tidak tercapai)

Alasannya sama dengan di atas. Tapi kalau mengijinkan, tahun depan mulai diusahakan.

***

Hanya 50% yang tercapai.

Gus Dur


Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) adalah sosok yang kontroversial di Indonesia. Setelah menjadi presiden Indonesia pada 1999, mungkin hampir setiap hari media merilis berita tentang dirinya. Gaya komentarnya yang lugas dan variatif dianggap nyleneh. Opininya yang berganti-ganti mengenai apa saja sering dianggap mencla-mencle. Saya sendiri (jika harus objektif – dan seringkali sulit) merasa bahwa Gus Dur ‘harus’ menjadi seorang presiden kala itu semata untuk beberapa alasan: menghindari perpecahan karena Indonesia belum siap menerima presiden wanita (Megawati); membuka wawasan bangsa mengenai kata ‘demokrasi’; memperbaiki dan menjalin hubungan dengan berbagai negara; memberikan teladan kepada siapa saja mengenai keterbukaan, kesederhanaan, pemikiran intelektual, pembelaan kepada kaum lemah, pluralisme, dan perdamaian. Lebih dari itu, Gus Dur rasanya tidak cocok menjadi presiden. Beliau bukan tipe seorang administrator dengan konsep manajemen kenegaraan yang baik. Manajemen negara yang terencana pernah dicontohkan oleh Suharto (minus gaya represif dan korupsi tingkat tinggi).

Saya mendengar nama Gus Dur mungkin ketika masih umur belasan. Setelah membaca majalah, ayah saya tiba-tiba bilang dalam bahasa Jawa: “Gus Dur ini ketua Nahdlatul Ulama (NU) yang jelas-jelas Islam-nya kuat sekali. Tetapi pemikirannya luar biasa dan sulit dipahami orang awam. Bayangkan, dia menganggap bahwa manusia di dunia ini, meskipun agamanya beda-beda, sebenarnya menyembah satu tuhan.”

Saya ketika itu hanya manggut-manggut saja, meskipun sama sekali tidak paham!

Fast forward. Tahun 1999, saya sering mangkal di kios buku dekat masjid Salman. Sering sekali, mungkin hampir tiap hari. Saya kemudian membeli beberapa buku. Dua buku yang masih saya ingat adalah Tuhan Tidak Perlu Dibela dan Prisma Pemikiran Gus Dur. Buku pertama berisi kumpulan kolom Gus Dur di majalah TEMPO, sedangkan yang kedua dari majalah Prisma. Buku pertama terkesan lebih rileks meskipun yang dibahas adalah hal-hal serius, dan diberi komentar yang substansial. Buku kedua lebih serius (baca: akademik) karena Prisma memang nampaknya dibaca kalangan intelektual bidang sosial; jadi sudah punya segmen yang ketika itu terbatas.

Dari dua buku itu, yang kemudian saya lanjutkan ke buku-buku lain, saya menemukan pencerahan mengenai sosok Gus Dur. Bukan Gus Dur sebagai seorang presiden, tetapi seorang kyai (makna tradisionalnya adalah pengasuh atau guru di pondok pesantren) yang memiliki wawasan ilmu sosial yang luar biasa. Khazanah pengetahuan Islamnya sangat terkemuka (bahkan pemahaman tentang agama-agama lain juga); pengetahuannya mengenai filsafat dan pemikiran Barat juga sangat dalam. Tetapi Gus Dur juga sangat tradisional, sangat Jawa, sangat Indonesia.

Greg Barton kemudian menulis buku biografi mengenai Gus Dur ketika beliau menjadi presiden: Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Greg, yang seorang akademisi dari Australia, mengupas tuntas tentang sosok Gus Dur dari kecil hingga masa dilengserkannya sebagai presiden.

Gus Dur memang bukan lahir dari keluarga kebanyakan. Ia adalah anak kyai juga, yaitu KH Wahid Hasyim, yang pernah menjadi menteri agama jaman Sukarno. Wahid Hasyim punya pemikiran sangat maju sehingga mengijinkan Gus Dur mendapatkan les privat bahasa Belanda dari mu’alaf bernama Iskandar, membaca buku-buku ‘komunis’ (seperti What is to be done karangan Lenin), mendengarkan musik. Saya sendiri tidak pernah membayangkan bahwa seorang kyai akan membiarkan anaknya mendapat privilege (atau diberi ijin) semacam itu. Kakeknya adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Bahkan jika dirunut lebih jauh, Gus Dur adalah keturunan seorang darah biru keraton Yogyakarta (atau Solo ya?) yang berguru langsung kepada Sunan Kalijogo. Jadi, Gus Dur sendiri senantiasa mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa yang ‘kebetulan’ memeluk Islam, bukan orang Arab atau manapun yang memeluk Islam. Gus Dur juga selalu merasa bahwa tugas dia di Indonesia adalah mempersatukan bangsa yang majemuk dengan berpedoman kepada Al-Qur’an, hadits, filosofi Islam sebagai rahmatan lil-alamin (Islam yang membawa kebaikan bagi semua umat manusia tak membedakan agama, ras apapun), dan nilai-nilai tradisi bangsa. Mudahnya, mendekati orang Indonesia atau memecahkan persoalan di dalamnya tidak bisa memakai cara Romawi, Arab atau Galia, tetapi dengan cara Indonesia; cara, laku, tradisi dan bahasa  yang dipahami orang-orang Indonesia (bukan cara asing).

Gus Dur casing-nya kurang representatif (meskipun masa mudanya usia belasan atau 20an cukup lumayan). Penampilannya apa adanya. Tidak tampan pula. Tetapi kalimat-kalimatnya mengandung kebenaran, meski sering dicap media mencla-mencle. Matanya tidak dapat melihat dengan baik karena otot yang mengendalikan matanya tak berfungsi sempurna. Tetapi daya ingatnya yang luar biasa mengenai apa saja (dari ayat Al-Quran, kitab-kitab kuning hingga novel Satanic Verses – Salman Rushdie) hingga nomor telpon membuatnya representatif untuk sosok intelektual.

Gus Dur mencintai siapa saja, meskipun secara terbuka ia menyatakan bahwa musuhnya hanya satu, yaitu Suharto. Ini pun dia mengatakan bahwa kalau hari raya mereka tetap maaf-maafan. Jadi, intinya dia tidak punya musuh. Kalau meminjam kata-kata Emha Ainun Najib, Gus Dur mencinta pandawa dan kurawa. Dia tetap mencintai siapa saja meskipun dihina dan diolok-olok. Sosok dengan moral absolut seperti ini (menurut Gus Dur sendiri) dimiliki oleh YB Mangunwijaya, arsitek-sastrawan-rohaniwan yang terus membela orang-orang miskin di Kali Code, Yogyakarta. Mangunwijaya adalah sahabat Gus Dur dalam Interfidei.

Tradisi pesantren di Jawa menganggap bahwa ‘kelayapan’ ke pondok-pondok itu biasa. Misalnya, satu tahun di Pondok Tambak Beras, dua tahun di Krapyak, enam bulan di Gontor. Mondok atau meguru yang berpindah-pindah itu biasa. Ini adalah tradisi orang mencari ilmu sejak berabad-abad lampau. Setelah menguasai ilmu dari kyai A, pindah ke ilmu lain dari kyai B. Intinya, terus belajar kepada siapa saja dan di mana saja. Ini adalah bentuk pengembaraan intelektual yang sebenarnya. Rumah baginya adalah tempat di mana langit biru mencurahkan warnanya kepada bumi. Bukan rumah tembok yang kita huni. Dan, sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat bagi siapa saja (bahkan bagi orang yang membencinya). Ini mungkin pula substansi dari ajaran tasawuf: mempunyai akhlak yang baik dan memberikan cahaya bagi manusia. Tetapi, tentunya, tasawuf pasti lebih dari itu: amalan dan ilmunya pasti juga tinggi, terutama soal ikhlas dan kecintaan kepada tuhan (bahkan mungkin meng-ikhlas-kan tuhan untuk memasukkannya ke surga atau neraka).

Karena mengembara itu biasa, maka Gus Dur pergi ke Timur Tengah pada usia awal 20an, setelah menimba ilmu di beberapa pesantren. Sebelum ke Timur Tengah, pengetahuan bahasa Arabnya sangat baik dan memungkinkannya membaca kitab-kitab kuning yang tanpa harakat. Kitab kuning adalah kitab-kitab yang ditulis ulama atau sarjana Islam mengenai persoalan agama (intinya adalah opini). Gus Dur pergi ke Mekkah-Madinah dulu, kemudian lanjut ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Untuk masuk Al-Azhar, setidaknya seorang calon mahasiswa harus hafal beberapa juz Al-Quran (mungkin 12 juz). Setelah masuk, Gus Dur kecewa karena Al-Azhar mewajibkannya mengambil kursus bahasa Arab lagi. Sebagai bentuk protesnya, ia tidak pernah masuk kelas, dan hanya ikut ujian saja. Selama lebih dari 2.5 tahun, hidupnya diisi dengan pergi ke pusat informasi/universitas Amerika di Kairo untuk membaca buku-buku Barat, nonton film, nonton bola, ikut berdiskusi di warung kopi. Kelakarnya, selama 1000 hari di Kairo, ia menghabiskan waktu 500 hari untuk nonton film.

Abdurrahman_Wahid_youth

Karena gagal mendapatkan gelar dari Al-Azhar, ibunya mencarikan beasiswa lain supaya ia bisa lulus. Ia akhirnya berhasil ke Universitas Baghdad dan menyelesaikan sarjana selama 4 tahun. Ia kemudian pergi ke Eropa (ada kemungkinan mampir ke Moskow juga) untuk melanjutkan studi S2 atau S3. Sayangnya ijazah dari Baghdad tidak diakui. Ia akhirnya luntang lantung dari satu perpustakaan satu ke lainnya di Eropa. Ia pergi ke Belanda, Jerman dan Perancis dan membaca buku-buku di perpustakaan di universitas-universitas besar. Semua ilmu Barat dilahapnya.

Bagaimana Gus Dur mendapat uang untuk hidup selama 1.5 tahun di Eropa? Meskipun berasal dari keluarga kyai (yang mungkin berkecukupan), Gus Dur tidak mengandalkan keluarganya. Di Eropa, ia bekerja sebagai tukang setrika di sebuah binatu yang dimiliki keluarga Tionghoa. Di sana, Gus Dur belajar menyetrika baju hingga licin dan melipat hingga rapi. Di sela-sela menyetrika itu pula, ia berinteraksi dengan budaya Tionghoa; kadang juga mendengarkan musik klasik. Selain itu, Gus Dur juga bekerja sebagai tukan pel di galangan kapal. Bekerjanya dua minggu sekali, dan uangnya cukup untuk hidup. Selebihnya, ia menggunakan waktu untuk membaca buku di perpustakaan.

Sepulang dari Eropa, Gus Dur mengajar di beberapa pesantren dan universitas. Hidupnya belum berkecukupan sehingga ia harus membantu istrinya ngider untuk berjualan es lilin dan kacang. Selain itu, ia juga sering menulis untuk kolom-kolom koran dan majalah. Dari pendapatannya ini, ia akhirnya dapat hidup bersama istri dan empat anak perempuannya. Setelah Gus Dur digadang-gadang sebagai calon ketua NU, ia harus pindah ke Ciganjur, Jakarta. Di sana, ia akan lebih dekat dengan titik kekuasaan negara, sekaligus dapat sering berkunjung ke pesantren-pesantren di daerah lain dengan pesawat.

Setelah menjadi ketua NU (1984-1996), Gus Dur melakukan reformasi NU dan pesantren. Studi-studi pemikiran Islam mulai digagas di pesantren-pesantren, bahkan juga studi interpretasi Al Quran yang jaman sekarang mulai ‘diharamkan’ oleh mereka yang berpandangan sempit dan terpengaruh Wahabi). Gus Dur juga aktif membela rakyat kecil karena ikut pula dalam LSM. Protesnya cukup keras terhadap pemerintah (rezim Suharto). Karena Gus Dur semakin populer, pendukung NU semakin besar dan mencapai puluhan juta. Suharto mulai takut sehingga mendirikan ICMI yang dipimpin Habibie. Gus Dur menolak untuk ikut serta dalam ICMI karena ia ingin mengurusi orang-orang kecil, bukan elit politik. Akhirnya Gus Dur berhenti menjadi ketua NU agar dapat berdamai dengan Suharto pada 1996. Pada 1997, krisis moneter menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia, dan Suharto dilengserkan pada 1998. Selebihnya, adalah masa-masa Gus Dur menjadi presiden dan tahun-tahun terakhir hidupnya hingga wafat pada 2009.

***

Saya sering dipandang sebagai orang yang mengagumi Gus Dur (atau bahkan simpatisan). Tidak hanya oleh kawan, tetapi juga istri dan keluarganya. Saya biasanya hanya senyum-senyum saja tanpa mengiyakan atau menolak. Saya juga tidak berusaha mempengaruhi siapa-siapa. Saya sendiri bukan lulusan pesantren yang paham ilmu-ilmu agama. Saya juga bukan orang yang bergerak di bidang keagamaan atau sosial. Saya hanya menggemari pemikiran-pemikiran Islam dan Barat serta sosiologi. Keinginan saya hanya ingin memahami respon manusia terhadap suatu paham dan alasan mereka menjadi seperti sekarang. Setiap hal pasti ada alasannya. Manusia bertindak ini-itu karena suatu alasan. Alasannya boleh jadi (dan seringkali) sangat sepele dan dikendalikan hati, bukan isme. Tetapi ada juga yang murni karena isme dan pedoman hidup. Ini yang perlu dipilah-pilah, sehingga pada akhirnya kita sendiri dapat memberikan respon yang pantas. Inti dari kehidupan adalah perdamaian, bukan gontok-gontokan. Nah, sebagian besar pemikiran-pemikiran sebagai suatu respon terhadap persoalan sosial dan politik bangsa kita dapat kita temukan dari buku-buku atau tulisan Gus Dur. Jangan apriori terhadap sosoknya (yang citranya dibuat-buat oleh politicized media). Tapi bacalah dan selami pemikiran-pemikirannya, ide-idenya, referensi bacaan yang bakal membuat anda terpukau dan terus mencari asal-usulnya. Gus Dur memahami pemikiran Islam fundamentalisme, Quran, hadits, tasawuf, ilmu logika, sastra Arab, sosiologi Arab, politik dan peta pemikiran Barat, filsafat Eropa jaman pencerahan, hingga postmodernisme.

Tetapi setelah lebih dari 14 tahun saya membaca Gus Dur, baru beberapa waktu lalu istri saya bilang bahwa ia juga mengagumi pemikiran Gus Dur. Ia tidak pernah menganggap Gus Dur sebagai sosok yang saya lihat selama ini. Alasannya karena memang belum pernah membaca secara detil mengenai pemikirannya. Tanpa saya pengaruhi, ia membaca buku baru Ilusi Negara Islam. Dari situ, barulah ia memahami pemikiran Gus Dur, dan bahaya laten Islam fundamentalisme di Indonesia. Dalamnya tulisan Gus Dur (meski berbentuk kata pengantar saja) juga dapat dibaca di sana.

Link: http://www.libforall.org/pdfs/ilusi-negara-islam.pdf.

***

Hampir lupa, Gus Dur adalah mesin yang dapat mengubah soto Kudus menjadi humor. Artinya, dia gemar makan soto Kudus itu (selain yang lain-lain tentunya) dan suka sekali dengan humor. Humor diciptakan untuk siapa saja, tetapi yang dapat membawakannya hanya orang-orang tertentu. Orang yang pandai ndongeng, orang yang eloquent dalam bahasa, orang yang punya folder memori besar (dan kemampuan retrieve yang baik) khusus untuk cerita lucu. Gus Dur termasuk ketiganya.

Contoh humor Gus Dur:

Suatu hari ada seorang pastor duduk sendirian naik kereta. Kemudian, seorang kyai datang dan duduk di sebelahnya. Hari masih pagi, maka sang pastor membuka sebuah bungkusan berisi sandwich untuk sarapan. Ia menawari kyai untuk sarapan bersama.

“Ini ada sandwich kalau anda mau sarapan juga. Isinya daging babi. Eh, daging babi enak lho…”

Kyai menolak dengan halus, sambil tersenyum.

Setelah beberapa stasiun terlewati, kyai mengatakan kepada pastor: “Maaf saya harus turun di stasiun selanjutnya. Kita berpisah di sini.”

Pastor agak kaget, kok baru duduk sudah mau turun.

“Lho kok buru-buru turun. Mau ke mana?”

“Oh saya mau pulang, mau ketemu istri dulu,” kata kyai.

Kyai lalu melanjutkan sambil senyum-senyum, “Eh iya, kumpul sama istri lebih enak lho …”

Handphone


Handphone (HP) Jepang saya (dengan merk Amadana dan provider Docomo) akhirnya almarhum. Tidak sepenuhnya wafat karena data masih bisa diakses, layar masih bisa menampilkan gambar dengan sedikit bayangan air. HP itu tidak sengaja tercuci pagi ini karena lupa mengeluarkannya dari jaket. HP Amadana adalah gadget komunikasi terlama yang pernah saya pakai. Sebelum kedatangan iPhone, HP Jepang rata-rata modelnya klasik, clamshell atau slide. Isinya luar biasa. Generasinya mungkin lebih dari 3G. Berbagai macam feature ada, dan akses ke internet sudah ada sejak lama. Bahkan e-Money pun ada. Artinya, kita bisa membayar kereta dan makan dengan menempelkan HP ke sebuah tapping panel.

Membeli HP di Jepang dan Singapura mirip. Biasanya orang langsung ditawari 2-year plan, atau kontrak dua tahun. Artinya, kita akan diberi HP dan membayar uang abonemen bulanan. Di Indonesia, ini dinamakan pascabayar. Tambahan fitur, misalnya email atau telpon bebas hambatan, bisa juga dipilih. Tapi biayanya nambah. Harga kontrak HP dua tahun bermacam-macam. Mulai dari 0 yen sampai puluhan ribu yen, tergantung jenis HP dan fitur yang diinginkan. Per bulan, harga abonemennya mulai dari ratusan hingga ribuan yen (1 yen = Rp 110). Ketika membeli HP pertama di Jepang, saya memilih yang “zero yen”. Artinya, kita tidak perlu membayar uang HP; hanya membayar uang bulanan saja. Tapi HP yang diberikan juga HP lama; misalnya, Amadana itu. Di Jepang, Blackberry tidak sepopuler di Amerika atau Indonesia. Orang Jepang jaman sekarang kebanyakan memakai smartphone model iPhone atau Samsung.

Di Jepang, orang jarang sekali memakai sistem prabayar. Kemungkinan karena jatuhnya jadi lebih mahal daripada pascabayar. Lagipula, untuk prabayar kita selalu kerepotan mencari HP sendiri, membeli pulsa setiap bulan. Banyak repotnya, dan lebih mahal.

Kalau hanya sementara di Jepang, misalnya sehari dua hari, orang bisa juga menyewa HP di kounter-kounter bandara. Sewanya agak mahal, tapi lumayan berguna jika hanya beberapa hari, dan perlu cepat menghubungi orang. Daripada memakai telepon umum, lebih baik menyewa HP. Jatuhnya mungkin sama.

***

Setelah kejadian HP tercuci itu, sempat terbayang-bayang HP lama yang pernah dipakai:

  1. 1999 Nokia 5110 (bekas)
  2. 2000 Motorola V8088 (bekas)
  3. 2001 Nokia 3330 (bekas)
  4. 2002 Ericsson T68i
  5. 2003 Nokia 3530
  6. 2005 Nokia 3100
  7. 2006 Motorola RAZR V3
  8. 2007 Nokia E71
  9. 2009 Blackberry Bold 9000
  10. 2009 Amadana
  11. 2013 Sony Ericsson (bekas)

Mobile phones come and go; just like people.

Diponegoro


Meskipun membacanya sepotong-sepotong, buku The Power of Prophecy (Peter Carey, 2007) memang menarik. Buku ini sudah habis cetakannya, tapi bisa didonlod di sini: http://www.kitlv.nl/book/show/1204

Tidak ada orang Indonesia yang tak mengenal Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830) yang termasyhur itu. “Perang Jawa” atau Java War sendiri mungkin nama pemberian sarjana Barat untuk menetralisir nasionalisme atau mitos. Di Indonesia, kita dengan bangga menyebutnya Perang Diponegoro. Buku dengan judul lengkap The Power of Prophecy – Prince Dipanagara and the end of an old older in Java 1785-1855 ini bukan sembarang buku. Ia merupakan turunan disertasi doktoral yang kemudian ditambah-tambahi berbagai informasi dan diceritakan dengan lebih luwes – tidak terlampau akademik (meskipun pada akhirnya jargon-jargon historiografi berserakan di mana-mana). Tetapi buku ini sungguh lengkap menceritakan Pangeran Diponegoro sebagai lelaki biasa, sebagai keturunan darah biru, sebagai pemeluk Islam yang taat, sebagai orang Jawa yang halus dan harmoni, sebagai pejuang yang membenci Barat (plus orang-orang inlander yang sok ke-Barat-an).

Perang antara kolonial Belanda dan rakyat Jawa ini memang legendaris. Ia menghisap finansial Belanda sampai ke kerak-keraknya. Penyebabnya berentet: jatuhnya Jawa ke Inggris pada awal 1800an, Perang Aceh, kemudian disusul Perang Diponegoro. Belanda mesti mencari cara supaya Perang Diponegoro selesai. Tipu muslihat? Tentu. Tetapi Belanda benar-benar mengetahui bahwa Keraton Yogyakarta kurang bersatu. Ada konflik internal yang kemudian dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, pasukan Diponegoro juga kehabisan “nafas”.

Diponegoro

Diponegoro digambar dengan arang oleh seorang tukang gambar keraton Yogyakarta saat beliau akan menikahi istri pertamanya; ini merupakan gambar satu-satunya di mana beliau memakai beskap (dari buku Peter Carey)

Buku ini juga mengupas Babad Diponegoro, sebuah buku harian yang ditulis selama tiga tahun oleh Pangeran Diponegoro sendiri dalam bahasa Jawi (bahasa Jawa dalam huruf hijjaiyah gundul). Babad Diponegoro ditulis selama beliau menjalani hidup sebagai eksil di Makasar. Buku ini juga berisi gambar sketsa dan lukisan yang apik. Yang lebih kontroversial mungkin “skandal” Pangeran Diponegoro dengan seorang tukang pijat warga keturunan. Cerita ini ditulisnya sendiri dalam nada yang menyesal; meski pada akhirnya Carey mesti melakukan interpretasi sendiri terhadap makna di balik itu.

Perang Diponegoro memang berakhir dengan kekalahan Diponegoro, dan kembalinya Jawa secara penuh kepada Belanda. Tetapi Diponegoro menyiratkan (bahkan menyuratkan) persona yang dualis (seorang Jawa yang kebetulan memeluk Islam); seseorang yang mempunyai kharisma, daya, dan dana untuk menghancurkan musuh; seorang yang berperangai tenang tapi juga strategis dan heroik; seseorang yang menjadi eksil tanpa perlawanan.

Akhir dari Perang Diponegoro bukan akhir yang tragis. Tapi akhir yang menyebabkan Yogyakarta tak lagi disebut sebagai Versailles of Java, sebuah kota indah dengan ornamen serta langgam penduduk yang sophisticated.

***

Intermezzo: sejumlah lukisan menyerahnya Pangeran Diponegoro menurut beberapa versi dan interpretasi.

1) De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal De Kock (Menyerahnya Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal De Kock), 28 Maret 1830, yang disimpan di Rijksmuseum Amsterdam,  karya Nicolaas Pieneman (yang tidak pernah menjejakkan kaki ke jawa)

Nicolaas_Pieneman_-_The_Submission_of_Prince_Dipo_Negoro_to_General_De_Kock

2) Penangkapan Pangeran Diponegoro, 1857 (Raden Saleh)

capture7126

3) Indieguerillas atau Gerilyawan di Hindia Belanda, 2013 (Santi Ariestyowanti) – dengan meminjam gaya komik Tintin karya Hergé

diponegoro-herge