Inside the Kingdom


1

Raja Arab Saudi terbiasa dengan puisi. Demikian halnya Raja Khalid bin Abdulaziz (1919-1982), raja ke-5 dinasti Al-Saud. Pada 1979, sang raja dan majelisnya mendengarkan seorang lelaki tua Beduin mengumandangkan sebait puisi dengan diksi sederhana:

Wahai cinta kami,

Wahai Khalid, raja kami,

Wahai singa gurun,

Ikrar-ikrarmu kami melantun …

Robert Lacey, sejarawan Inggris, mengutip bait itu di dalam bukunya “Inside the Kingdom” (2009) —  sebuah buku pengganti “The Kingdom” (1981) yang dulu kena cekal. Lacey seolah menulis standard operating procedure bagi diplomat Barat yang hendak dikirim ke Arab Saudi – semacam diskursus yang dikemas dalam bahasa yang apik. Esai-esai di dalamnya berisi suara ‘orang dalam’, diangkat dari konflik dan perbedaan di sebuah negeri yang eksistensinya (secara teoretik) kerap melawan logika dan historiografi. Buku itu memang mengupas konflik dan perbedaan sebagai penyebab benturan yang-religius dan yang-profan, yang kadang menumbuhkan radikalisme dan terorisme. Sebut saja kisah pengebom Masjidil Haram, Al-Qaeda, Sunni-Shia, jihad. Sebagai biografer, ia tentu juga menulis soal Raja Abdullah dan visi Saudi. Yang menarik tentunya, satu epilog dalam Inside the Kingdom yang bernafas optimisme: KAUST (King Abdullah University of Science and Technology), sebuah muara di mana dunia Barat dan dunia Timur (Tengah) bertemu.

2

Sebuah ruang baca (perpustakaan) di Baghdad itu milik Harun Al-Rashid (766-809). Orang ramai tahu bahwa Harun adalah kalifah paling terkemuka dinasti Abbasiyah (dari garis keturunan paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul Muthalib). Harun adalah diplomat prolifik yang punya koneksi luas: hubungan diplomatiknya kuat dengan Charles the Great yang mendominasi Eropa pada abad pertengahan. Anaknya, Ma’mun, menyulap perpustakaan itu menjadi bentuk yang lebih megah dan formal: Graha Kearifan (House of Wisdom; Baitul Hikmah). Graha ini menjadi forum akademik umat Muslim, Kristen dan Yahudi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan: astronomi, matematika, kimia, kartografi, biologi, farmasi. Kitab-kitab Yunani diterjemahkan, filsafat pun dipelajari. Eropa memang tak masuk hitungan — ia sedang mengarungi Abad Kegelapan, di mana konflik berdarah dan penyakit endemik melanda.

Namun, 350 tahun berlalu dan jutaan dokumen ilmu pengetahuan itu dimusnahkan oleh Mongolia pada 1258. Sebagian yang tersisa dibawa ke Eropa. Dan, kita semua tahu bahwa peradaban akhirnya bermigrasi ke Barat.

3

Kisah itu, bagi sebagian kalangan ilmuwan muslim, sungguh mengecilkan hati dan menghancurkan kepercayaan diri. Namun, kisah itu malah membuat Raja Abdullah (1924-2015) berambisi membangun kembali peradaan Islam. Lacey melihat KAUST sebagai ambisi ‘romantik’ sang raja. Tapi, sebaliknya, raja melihat bahwa Baitul Hikmah adalah episenter peradaban dengan karakteristik ‘toleransi dan ilmu pengetahuan’ yang berpadu. Lacey juga menulis bahwa KAUST merupakan respon sang raja terhadap aspek totalitarian dari paham Salafi. KAUST perlu menstimulasi perubahan Arab Saudi soal konsep pendidikan tinggi – yang kian lamban di bawah Kementerian Pendidikan.

Sebuah tempat yang sejuk tentu nyaman didiami. Raja Abdullah awalnya ingin membangun KAUST di dataran tinggi Taif, sebelah timur Mekkah yang hijau dan dingin. Namun, pelbagai pengaruh datang. KAUST akhirnya dipindah ke desa nelayan bernama Thuwal (90 km utara kota Jeddah).

Pada 2007, Raja Abdullah bersikap unik: mengunjungi KAUST dengan bus mewah bersama rombongan. Alih-alih terbang via helikopter, ia ingin menikmati tawa, canda dan nyanyian di atas jalan tol. Ini memang kerepotan tersendiri bagi protokol: penjagaan sepanjang gurun antara Jeddah dan Thuwal diperketat.

Raja Abdullah diantar terlebih dahulu ke KAEC (King Abdullah Economic City). Sesampainya di sana, sang raja sigap bertanya: “Mana universitasnya?” Ketika protokol menjawab bahwa KAEC adalah tempat transit untuk prosesi penyambutan saja, raja segera berbalik ke bus. Ia minta segera diberangkatkan ke Thuwal. Kontingen penyambutan kontan melongo – sambil diterpa sepoi-sepoi angin gurun yang kering …

Sesampainya di KAUST, raja hanya melihat perataan tanah dan pohon-pohon kurma saja. Ia kemudian melihat denah cetak biru KAUST, sambil pura-pura tertarik. Ia kemudian kembali ke bus, dan meluncur ke Jeddah. Hari itu, rute Thuwal-Jeddah sungguh muram. Anggota keluarga yang mengenalnya belum pernah melihat sang raja marah dan tertekan seperti itu – meski dalam khidmat dan santunnya. Ia hanya punya satu keinginan: profesor dan mahasiswa sudah lalu lalang pada bulan September 2009 di kampus bernama KAUST.

Raja kembali ke tempat peristirahatan di Jeddah. Matahari terbenam, dan ia sholat maghrib di sebuah masjid pribadi di tepi laut merah. Ia menyendiri malam itu. Doanya lebih lama dari biasanya.

Dua tahun berlalu. Tepat September 2009, KAUST dibuka untuk mahasiswa.

Serap ajarannya


Sebenarnya tulisan ini diturunkan supaya blog ini punya postingan pada tahun 2017 ini. Dapat dibayangkan bahwa orang itu sibuknya (atau macak sibuk?) bukan main di KAUST sehingga menulis merupakan hal “mewah”. Alasannya sederhana. Alokasi energi menulis esai dialihkan ke menulis paper ilmiah sebagai mata uang di KAUST. Seolah sudah menjadi norma bahwa orang bertanya ini secara konstan “Sudah nulis paper berapa di KAUST?”

Langsung menuju topik: “Serap ajarannya”. Dari mana topik ini berasal? Sebuah foto Gus Dur berisi hal ini. Bisa dibaca di bawah ini.

20c40-1512544_10202801974241521_1378132248_n

Ketika tinggal di Arab Saudi beberapa tahun terakhir ini saya mengoleksi thobe (mirip gamis) yang berlengan panjang dan pendek. Alasannya, kayaknya keren juga berpakaian a la Arab seperti itu ya … atau sekedar bersikap konformal dengan khalayak lelaki ketika pergi ke Mekkah. Rasanya memang sejuk memakai thobe itu. Apakah thobe itu termasuk budaya Arab? Barangkali iya. Iklim gurun yang terik ini memang membuat orang ingin pakaian yang sejuk. Itu pakaian/busana. Ada juga bahasa. Ketika di Arab Saudi, sedikit banyak kita memakai bahasa Arab untuk berkomunikasi dengan penjual setempat (meski sebenernya mereka lebih fasih berbahasa Indonesia jika kebetulan ke Mekkah atau Madinah). Tapi di kota selain dua itu, bahasa Arab rasanya jamak. Eh, Jeddah mungkin termasuk kosmopolitan, jadi Inggris adalah umum.

Sebagai orang Jawa yang hidup di Arab Saudi, saya masih resistan untuk memakai bahasa Arab yang sepotong-sepotong. Padahal bahasa Arab ini penting. Maksud saya, jika berbahasa Arab sebaiknya berbahasa Arab-lah secara penuh, tidak hanya secuil, misal memakai ana-antum. Ini semacam inferioritas bahasa yang pada gilirannya menghilangkan budaya dan bahasa sendiri. Implikasinya luas. Jika mau berbahasa Jawa, pakailah kalimat penuh dalam bahasa Jawa. Jika mau berbahasa Jerman, pakailah kalimat penuh berbahasa Jerman. Begitu seterusnya. Ini menunjukkan penguasaan bahasa, bukan penghilangan budaya. Gus Dur yang fasih berbahasa Arab tentunya tidak anti bahasa Arab. Dia hanya kuatir bahwa pemakaian yang sepotong-sepotong ini diikuti banyak orang (dimaklumi dan dipopulerkan) yang pada gilirannya menghapus kata yang tadinya milik sendiri. Milik bangsa sendiri. Seolah memberikan sepetak sawah kepada orang asing. Lama-lama satu desa mendadak etnis luar semua. Kaget gak?

Maka dari itu, jika seseorang memeluk agama tertentu, misal Islam, serap saja ajarannya. Nah ajaran ini apa saja? Tentu yang ditulis dalam kitabnya. Juga hadits (kata-kata dan perbuatan Nabi Muhammad), kitab-kitab lain. Ajaran ini tentunya bernilai universal, berlaku di mana saja, berbagai jaman. Serap ajarannya. Bukan serap budayanya. Kecuali kita sebelumnya memang tidak berbudaya lho ya …. hehe.

31 Juli 2017

 

 

Language


My son is now 9 years old, and approaching his 10th. He is in Grade 4. When I was at his age, I was in Grade 4 too. I felt it was a tough year as most subjects changed drastically from simply one-directional instruction (teacher to students) to group discussion (plus team work) and active involvement of pupils in all subjects. But that is not what I want to say here.
At 9 years old, it never occurred to me that I would leave my hometown (to go abroad is of lowest importance as to go to heaven). It is a small town; maybe one of the smallest towns in my province. It is in Java Island (densely populated island in Indonesia due to fertile soils, agricultural products, educational institutions, industry – most of all, the capital), but still … the sphere of influence from larger cities was just a minute tremor in the night: simply ignored. I love living in my hometown. No mobile phones or gadgets, no games, 1-hour TV daily. The meaning of a “day” is just school, friends (with their unique or occasionally erratic characters), playing outdoors (river, hills, mountains, beaches), parents (not sure why I put it on the last). Living in the vicinity of two 3000-m mountains with temperature range of 15-24 °C, and with a polarized vibrancy within 3 x 3 km² (2700 people), who would leave this town. Everyone recognized everyone (mostly faces, but not names – everyone is Pak, Bu, Mas, Mbak – Mr, Mrs, Bro, Sist). It is simple yet very mundane at times. Language spoken was only three: Indonesian, Java, Madura. English was just a popularized by the school and small cinema (that is now in paradise – a.k.a dead!). No one spoke in English; a few foreigners from Europe, America, Australia dropped by (and by then I realized that God really created various kinds of human – not only in the movie).
At 9 years old, it never occurred to me why I would leave my hometown. But now I realize that the reason is simple: because of the hometown itself. It would not be called “home” if you never go. You should go. Go, see the rest of the world, and come back someday. It is two directions: you call it home, and home accepts you (wherever you may be).
Unlike me, my son doesn’t have a hometown. His home is the house we rent. It is the consequence of family-traveler like us. It could be a popular culture we (the baby-boomers, 90s, millenials) follow: as popular as a trailing spouse, religion-based country (as an antithesis of the capitalist one), nuclear family, Hermes handbags, or Donald Trump. But, one thing remains: native language. It is his only home. It is the only thing that connects him to my hometown. Talking in native language to him is recently getting uneasy due to inevitable multicultural KAUST that ‘forces’ him to speak English. That is why we speak Indonesian at home. Also, luckily, Indonesians living in KAUST have makan-makan culture (it is literally ‘eating together’) that instills unconsciously native language into our children. As a family-traveler, no choice, the children needs the meaning of home, and it is through the native language. Not to an extent that we should follow Søren Kierkegaard (since we are not philosophers who should advocate the importance of language): just talk in the native language as much as you can with your children.

2016: Review dan Terget


Postingan pertama di tahun 2016! Tepat setahun lalu, saya menuliskan ‘mimpi-mimpi’ untuk tahun 2015. Apa yang ingin dicapai, dikerjakan, didapat. Sekarang saya ingin me-review mimpi atau target tersebut.

  • mendapat perpanjangan kontrak lagi √
  • menulis paper (targetnya 3 paper) √
  • mempelajari lebih dalam tentang dynamic properties of materials, viscoelastoplasticity x
  • nyicil nulis buku komposit bahasa Indonesia x
  • umroh rutin √
  • memperbanyak sholat berjamaah √
  • mendalami Qur’an √
  • sedekah, donasi √
  • belajar bahasa Arab x
  • mempunyai tabungan pendidikan dan pensiun yang cukup √
  • berinvestasi √
  • liburan musim panas √

Alhamdulillah kontrak diperpanjang lagi. Setidaknya bisa bernafas lega karena posisi kontrak memang meresahkan. Tapi ini sejalan dengan sifat kompetitif dari penelitian yang progresif dan tidak tentu (tergantung funding dan trend teknologi). Meskipun 2015 hanya terbit 1 paper (sebagai co-author), setidaknya menulis 1 paper sendiri (yang sampai hari ini masih under review), dan 3 paper lainnya (sebagai co-author). Total 5 paper. Ternyata belajar sesuatu yang baru seperti viscoelastoplasticity membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Beberapa buku sudah diunduh, tapi waktu untuk membacanya tidak ada. Nyicil menulis buku tentang komposit dalam bahasa Indonesia juga tidak sempat. Motivasi untuk menulis buku komposit memang kurang kuat karena memang tidak mengajarkan komposit di kampus. Umroh diusahakan memang rutin tiap bulan, tetapi kadang kelewatan karena kesibukan saat weekend. Eh, tapi Nabi Muhammad aja cuma pernah umroh 4 kali dan haji 1 kali semasa hidupnya (dari buku “Shahih Bukhari”). Masa melebih nabi ya? He he. Mempunyai tabungan (meskipun sedikit) dan investasi lumayan tercapai (meski masih nyicil juga). Liburan sudah terlaksana meski dekat-dekat sekitaran sini.

Target 2016

  • Mendapat promosi atau perpanjangan
  • Liburan musim semi dan panas
  • Umroh rutin dan ziarah
  • Menulis 3 paper
  • Bisnis kecil-kecilan
  • Melanjutkan investasi dan menabung
  • Menulis buku tentang Jepang atau lainnya

 

Y.A.E.


Saya ketemu Mas Yogi Ahmad Erlangga (Y.A.E.) tahun 1997. Saat itu saya masih mahasiswa baru di jurusan Teknik Penerbangan (PN) ITB. Di sela-sela penataran P4, para mahasiswa baru diberi kesempatan mengunjungi laboratorium, dan  Mas Yogi kebetulan mendampingi kami. Beliau sekilas menjelaskan tentang pesawat MIG-21 (pesawat tempur buatan Uni Sovyet yang dulunya, konon, laris manis) yang ada di lab. Beliau ngomongnya cepat – jadi orang mesti perhatian. Setelah itu, beberapa senior PN-93, termasuk Mas Yogi, menjelaskan mengenai kuliah-kuliah di Penerbangan (setidaknya memberi perspektif mahasiswa). Cerita-ceritanya terdengar menarik sekali. Tapi saat yang bersamaan kami segera sadar bahwa PN adalah jurusan (penuh) PR!

Selamat datang di PN.

***

Waktu berlalu. Pada 2008, seorang kawan dekat mengajak serta mengembangkan Waviv Technologies di Bandung. Waviv Technologies mempunyai misi untuk memberikan layanan bagi perusahaan minyak dan gas dalam hal interpretasi data geofisika – dengan cara mengembangkan program numerik 2D bikinan Mas Yogi. Saya tertarik (meski tidak yakin bisa berkontribusi), dan diberi beberapa bacaan. Salah satu bahan bacaannya adalah disertasi S3 Mas Yogi. Seperti halnya disertasi keluaran TU Delft yang lain (yang kebetulan pernah saya baca tahun 2001/2002 seperti karya Dr Erwan Karyadi dan Dr Ade Jamal mengenai sandwich structures), kualitas disertasinya mengagumkan. Yang unik dari disertasi keluaran TU Delft: adanya “stellingen” (proposisi, usulan). Disertasi TU Delft biasanya memuat kurang lebih 10 proposisi. Mas Yogi menulis 11 proposisi – dari hal teknis sampai filsafat hidup atau keseharian belaka.

Nah, saya hanya terjemahkan stellingen Mas Yogi di sini (kalau menerjemahkan semua disertasinya bisa mabok!):

  1. Kita sangat memerlukan preconditioner siap pakai (tapi isinya tidak ketahuan, alias “black box”) untuk metode iteratif Krylov subspace. Akan tetapi, supaya solusi masalah tertentu cepat konvergen (mengerucut), seseorang seyogyanya tidak mengandalkan preconditioner-siap-pakai tersebut. Seseorang mesti merancang sendiri preconditioner yang khusus dipakai untuk masalah yang tengah dihadapinya.
  2. Untuk (memecahkan) persamaan Helmholtz, preconditioning mestinya tidak hanya memberikan hasil konvergen secara cepat (efficiency), tetapi juga tidak boleh terpengaruh oleh ukuran grid dan jumlah gelombang (robustness). Saat ini preconditioning yang efisien sudah tercapai, tetapi robustness masih menjadi tantangan utama.
  3. Aplikasi metode multigrid standard untuk (memecahkan) persamaan Helmholtz (juga masalah-tak-berbatas lainnya) berujung pada sulitnya proses smoothing dan koreksi grid kasar, dua pokok utama dalam multigrid. Agar berhasil mengembangkan metode multigrid yang baik, satu langkah kunci adalah mengembangkan smoothing yang tidak pasaran dan metode diskritisasi grid kasar.
  4. Meskipun multigrid sebenarnya efisien untuk pelbagai masalah, salah satu penyebab mengapa multigrid tidak masuk 10 algoritma terbaik adalah karena multigrid seringkali dipakai untuk preconditioner metode iterasi Krylov subspace, tapi tidak sebaliknya.
  5. Menurut Maxwell, 1856, semua ilmu matematika didasarkan pada hubungan antara hukum alam dan rumus menggunakan angka, sedemikian hingga setiap masalah fisis dapat disederhanakan sebagai penentuan kuantitas dengan mengoperasikan angka-angka. Dalam konteks ini, matematika numerik adalah ilmu matematika yang mengembangkan operasi-operasi sistematik untuk menentukan kuantitas secara akurat dan secepat mungkin.
  6. Kalimat “Tidak ada itu yang namanya makan siang gratis” berlaku juga untuk matematika. Untuk masalah numerik yang rumit, seseorang harus rela melakukan sejumlah besar perhitungan per iterasi sebagai harga yang harus dibayar agar perhitungannya cepat konvergen dengan iterasi yang sesedikit mungkin.
  7. Sebagian besar ilmuwan terkemuka masa lampau meninggalkan dua hal: karya-karya besar (yang dikagumi ilmuwan-ilmuwan penerusnya) dan masalah-masalah besar (yang membuat ilmuwan-ilmuwan itu kelimpungan).
  8. Ilmuwan religius mempercayai bahwa teks yang difirmankan (kitab suci) berisikan kebenaran absolut, dan ilmu pengetahuan seharusnya tidak berlawanan dengan firman. Tetapi, ilmu pengetahuan seringkali tidak selaras dengan interpretasi dari kitab suci. Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan dan menginterpretasikan kitab suci, manusia mengandalkan otaknya. Ketika kontradiksi (antara ilmu pengetahuan dan kitab suci) itu terjadi, hal pertama yang perlu dilakukan manusia adalah mengoreksi otaknya sendiri dan membuatnya bekerja (dengan baik).
  9. Kebanyakan orang Belanda menyangka bahwa mereka adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menyajikan roti disertai mentega dan hagelslag (butiran coklat). Di Indonesia, hagelslag dikenal dengan nama meisis, yang terdengar seperti meisjes (kata Belanda yang artinya ‘gadis-gadis kecil’).
  10. Langit di Belanda selalu menampilkan ini: nuansa sehabis hujan, nuansa mau turun hujan, nuansa hujan beneran (The Holland Handbook, Nuffic, 1997).
  11. Di sebuah negara yang sepanjang tahun jarang terkena cahaya matahari, harga ‘cahaya matahari’ setara dengan (sekurangnya) satu bulan liburan di negara yang cahaya mataharinya berlimpah.

Haji dan Snouck Hurgronje


Ibrahim lahir di Babilonia (kini selatan Baghdad, Iraq) dari seorang ayah penyembah berhala (idol) yang menolak keras ketika diajaknya menyembah Allah. Ayahnya bernama Tarikh, meski ada juga yang menyebutnya Azar. Tuhan sejak awal mengetahui bahwa Ibrahim adalah sosok yang tepat sebagai nabi. Ia menikah dengan Sarah yang mandul. Oleh sebab itu, ia menikahi Hajar yang kemudian melahirkan Ismail. Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Awalnya Ibrahim menolak, tetapi kemudian yakin atas perintah itu setelah Ismail mengikhlaskan dirinya. Sejarah ini menggambarkan kepatuhan seseorang kepada Allah di atas hal duniawi yang dicintainya, misal anak.

Sejarah itu kemudian melahirkan rukun Islam bernama haji. Sejak Muhammad meninggal, orang Islam terus melakukan ibadah haji pada hari ke 8-12 bulan Dzu al-hijjah. Kata “ibadah” merupakan perspektif yang dipakai muslim untuk menamakan haji. Namun, ketika haji diteliti orientalis, seperti misalnya Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936), ia berubah nama menjadi “feest” atau semacam pesta perayaan. Esensinya tentu berbeda: yang satu melihatnya sebagai ritual suci untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang satu lagi melihatnya sebagai orang ramai yang melakukan kegiatan non-transenden (seolah tuhan tak hadir di pusaran Ka’bah, Shafa-Marwah, Mina-Muzdalifah dan teriknya Arafah).

Meskipun kebencian sudah ditanamkan kepadanya sejak SD, sosok Snouck Hurgronje sendiri sebenarnya menarik. Snouck, bagi yang awam sejarah, adalah pegawai kolonial Belanda (semacam intelijen-peneliti), profesor di Leiden University dan pionir penelitian tentang Islam.

Christiaan_Snouck_HurgronjeChristiaan Snouck Hugronje

MeccaSH1885Mekah pada 1885 (foto oleh Snouck Hurgronje)

Kebencian-yang-ditanamkan itu agaknya memang beralasan. Kerajaan Belanda yang kehabisan dana dalam memerangi suku Aceh meminta Snouck untuk meneliti kehidupan para muslim Hindia Belanda (Jawa, Aceh, dan lainnya) di Mekah. Hasil penelitian itu kemudian mendasari strategi untuk memecah belah suku Aceh. Snouck yang mempertahankan disertasi berjudul “Het Mekkaansche feest” (Pesta Masyarakat Mekah, 1879) sebelumnya tak pernah ke Mekah – dan ia sudah menulis tentang Mekah (plus belajar bahasa Arab, Hebrew, Islamologi dan muslim yang disebut “Muhammadan” ketika itu) sebelum ke sana. Ia baru ke Mekah ketika mendapat jaminan Kerajaan Ottoman (yang ketika itu menduduki Arab Saudi) agar bisa melakukan penelitian (1884-1885). Sepulang dari Mekah (agaknya ia diusir dari jazirah Arab sebelum musim haji tiba karena mungkin kedoknya ketahuan), ia menulis sebuah buku fotografi berjudul “Mekka” yang judul panjangnya menjadi “Mekka in the Latter Part of 19th Century” (Brill). Lanjutan dari buku ini terus mendasari laporan-laporannya mengenai kehidupan Muhammadan (muslim) pribumi di Mekah, Aceh, Jawa, dan wilayah kolonial Belanda lainnya.

Snouck adalah salah satu orang yang pernah merekam suara orang membaca surat Ad-Dhuha di Mekah. LINK.

Referensi:

Thailand (3)


Sewindu telah berlalu, akhirnya kembali ke Thailand lagi. Bandara Suvarnabhumi nampak lebih modern. Antrian imigrasi semakin panjang di penghujung libur musim panas ini. Wai (posisi mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada – seperti hendak berdoa) ada di mana-mana. Ia diselingi ucapan “sawadee krap” (atau “sawadee ka” untuk perempuan). Welcome to Thailand!

Dua tahun lalu (Mei 2013) literatur mengenai Thailand dibaca habis-habisan sebagai bahan penulisan buku tentang Raja Rama V (Raja Chulalongkorn). Setelah itu, semua literatur diparkir di rak buku, atau disimpan dalam folder, tak terbaca. Kepergian ke Thailand, yang tak direncanakan, dilakukan untuk reuni dengan alumni Tokyo Metropolitan University, Jepang. Tiket pesawat dibayari – tetapi sisanya (akomodasi, makan) bayar sendiri. Kesempatan emas untuk memeriksa beberapa hal tentang Raja Rama V, sekalian mencari buku yang susah ditemukan di tempat lain.

Tak disangka, beberapa buku ditemukan:

  1. Journeys to Java by Siamese King (bahasa Thai). Imtip Pattajoti Suharto.
  2. King of the Waters – Homan van der Heide and the origin of modern irrigation in Siam. Han ten Brummelhuis, ISEAS, 2005.
  3. Thailand: A short history (2nd Edition). David K. Wyatt, Silkworm Books, 2003.
  4. The Muslims of Thailand. Michel Gilquin (translated from French by Michael Smithies). Irasec & Silkworm Books, 2005.

IMG_5825

IMG_5826

Buku pertama sama sekali tak terbaca – seolah membaca buku primbon dalam aksara Jawa. Buku ini semacam memorabilia untuk bersanding dengan versi Inggrisnya. Setidaknya ada dua versi Inggris dan Thai. Sedangkan yang berbahasa Indonesia tengah digarap.

Buku kedua dibeli karena penasaran yang mendalam terhadap sosok insinyur Belanda yang akhirnya dikontrak dari Jawa oleh Raja Chulalongkorn untuk bekerja di Thailand. Homan van der Heide adalah sosok insinyur itu. Ketika mengunjungi Yogyakarta pada 1896, Raja Chulalongkorn kagum dengan perencanaan pengairan di sana. Seorang insinyur mempresentasikan sebuah peta perencanaan irigasi Yogyakarta. Tapi belum ketahuan apakah insinyur itu adalah Homan. Yang jelas, seketika itu juga, Raja Chulalongkorn memohon pihak Belanda untuk “memberinya” beberapa insinyur untuk menginisiasi proyek irigasi di Siam. Belanda tidak dapat menyanggupi karena Jawa memerlukan banyak insinyur sipil pengairan (sebagian adalah lulusan universitas terkemuka, TU Delft). Beberapa tahun kemudian, barulah Belanda dapat mengirim seorang insinyur bernama Homan van der Heide. Kisah Homan sendiri agak tragis karena setelah 8 tahun bekerja di Siam, perencanaan irigasinya sulit diimplementasikan karena perbenturannya dengan birokrasi. Ada juga sentimen kerajaan Siam terhadap sikap kolonial. Ini mempersulit perbaikan irigasi Siam. Pada akhirnya, Siam memang mengimplementasikan rencananya, tetapi itu pun setelah Homan pergi meninggalkan Siam. Homan sendiri akhirnya mati di kamp konsentrasi setelah perang dunia.

Buku ketiga belum dibaca.

Buku keempat dibaca baru separuh. Yang jelas jangan kaget kalau Thailand yang penuh dengan pemeluk Buddha Theravada punya 500 ribu warga muslim di Bangkok! Kebetulan saya sempat sholat Jumat di Masjid Chakrapong di kawasan Talat Yot tak jauh dari Bangkok National Museum. Masjid ini sederhana, dua tingkat, bersih, dan khotbah diberikan dalam bahasa Thai. Lokasinya masuk gang kecil, yang dipinggirnya banyak orang berjualan.

IMG_5668

IMG_5676

IMG_5671