Jepang: Surga Terakhir bagi Perokok


Le Japon: le dernier paradis des fumeurs?

Le Monde, 1994

Majalah Perancis pernah beretorika 16 tahun lalu: “Jepang: surga terakhir bagi perokok?” Sekarang, ia barangkali masih relevan. Harga satu pak rokok isi 20 batang di Jepang ‘cuma’ 300 yen: setengah dari harga rokok di Singapura, lebih murah juga dari harga bento. Selain relatif murah (jika dibandingkan dengan negara maju lainnya), membelinya pun mudah. Rokok dapat dibeli di mesin penjual (vending machine) yang jumlahnya setengah juta di Jepang. Hampir setiap blok ada mesin penjual – surga ‘vending machine’ juga sepertinya!

Data tahun 2009 mencatat bahwa jumlah perokok laki-laki dan perempuan masing-masing adalah 38.9% dan 11.9% dari total penduduk Jepang. Jumlah ini sebenarnya sudah turun. Tahun 2008, jumlah perokok laki-laki adalah 39.5% sedangkan perempuan 12.9%.

Tak heran bila Jepang menjadi negara nomor empat dalam jumlah perokok setelah Republik Rakyat Cina, Amerika Serikat dan Rusia.

Jumlah perokok yang turun pada tahun 2009 disebabkan beberapa hal:

  • Kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok
  • Larangan merokok di tempat-tempat umum, seperti platform Jalur Kereta Jepang Timur (Japan Railway East) di Tokyo, Chiba, Saitama dan Kanagawa (berlaku 1 April 2009)
  • Pemberlakuan Taspo, kartu identitas yang hanya bisa digunakan di mesin penjual rokok oleh seseorang yang berumur 20 tahun ke atas (berlaku 1 Juli 2009)
  • Lebih dari 70% taksi di Jepang melarang sopir dan penumpang merokok
  • Jepang menutup 30% bagian pak rokok dengan gambar pelarangan merokok, serta tulisan ‘Merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru’.

Satu tahun berlalu, jumlah perokok di Jepang masih relatif tinggi. Akibatnya, 340 ribu orang Jepang mati karena kanker. Dari angka itu, 20% meninggal karena kanker paru-paru, yang sebagian disebabkan oleh rokok.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus mengingatkan Jepang bahwa 5.4 juta orang meninggal setahunnya karena merokok. WHO bilang: “Merokok adalah satu dari sekian banyak ancaman kesehatan masyarakat yang pernah dihadapi dunia”.

Jepang bergeming. Baginya, rokok berarti perdagangan, dan pajaknya berarti pendapatan negara.

Rokok: perdagangan

Rokok di Jepang dikendalikan oleh sebuah perusahaan konglomerasi bernama Japan Tobacco (JT). Dulunya, JT murni dimiliki pemerintah Jepang sejak tahun 1898. Tanggal 1 April 1985, JT menjadi perusahaan publik. Tapi kenyataannya: 50.02% sahamnya masih dimiliki kementerian keuangan.

JT berkuasa atas 70% penjualan rokok di Jepang. Ada 105 merk rokok di bawah JT. Merk yang paling terkenal adalah Mild Seven, Caster, Seven Star, dan merk luar seperti Winston dan Camel.

Untuk melindungi perdagangannya itu, JT mengeluarkan hasil-hasil riset yang membuktikan bahwa rokok bukanlah penyebab kanker paru-paru dan gangguan pernafasan (emfisema).

JT juga baru-baru ini memenangkan kasus kasus di pengadilan distrik Yokohama atas tiga tuntutan sebesar 10 juta yen (Rp 1 milyar) yang diajukan oleh tiga penderita kanker.

Rokok: pendapatan

Enam puluh persen dari harga rokok digunakan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis ekonomi, JT merencanakan kenaikan harga rokok sebesar 110 yen hingga 140 yen satu pak-nya. Kenaikan ini diperkirakan akan berlaku tanggal 1 Oktober 2010.

Kenaikan harga rokok sebelumnya pernah diusulkan oleh sebuah kelompok yang dibentuk oleh bekas Sekjen Jiminto (Partai Liberal Demokratik atau LDP) Hidenao Nakagawa dan bekas ketua Minshuto (Partai Demokrasi Jepang atau DPJ) Seiji Maehara. Mereka mengusulkan kenaikan sebesar 1000 yen yang jelas-jelas kurang bernilai strategis dari segi dagang.

Masyarakat Jepang tahu bahwa kenaikan harga ini tidak ada hubungannya dengan kampanye anti-merokok; ini murni strategi dagang saja.

Isu rokok di Jepang tidak hanya berkenaan dengan masalah perdagangan atau pendapatan saja. Ada beberapa hal lain yang menghalangi Jepang sehingga Jepang kelihatan ketinggalan dalam kegiatan anti-merokok.

Pertama, Jepang tidak punya hukum yang tegas dalam hal merokok. Hukum Promosi Kesehatan tahun 2002 hanya menggariskan bahwa manajer sekolah, rumah sakit, teater, toserba dan restoran ‘harus berusaha melindungi perokok pasif’. Tidak ada denda bagi mereka yang melanggar.

Kedua, ada sebuah hukum yang mewajibkan bahwa saham JT harus dimiliki kerajaan Jepang. Peraturan inilah yang menyulitkan perubahan kebijakan karena rumitnya birokrasi.

Ketiga, seperti yang dibahas sebelumnya, kebijakan JT ada di bawah kewenangan menteri keuangan, bukan menteri kesehatan. Hingga alasan ekonomi-lah yang dijadikan landasan dalam hal rokok.

Karena itu, Jepang sepertinya masih surga bagi perokok.

Tapi wilayah Kanagawa berbeda. Di bawah pimpinan gubernur Shigefumi Matsuzawa, wilayah ini melarang orang merokok di rumah sakit, kantor pemerintahan, sekolah dan pantai, sejak April 2010. Seseorang yang melanggar akan dikenai denda 2000 yen (Rp 200,000), sedangkan manajer akan dikenai denda 20,000 yen jika ketahuan melanggar. Hukum ini diberlakukan untuk melindungi perokok pasif dan hutan. Kesehatan perokoknya sendiri tidak dijadikan alasan atas denda di atas.

Sekarang tinggal menunggu, seberapa agresif pemerintah Jepang mengadopsi “hukum rokok” seperti itu di masa mendatang.

*Kolom “Email dari Tokyo”, Berita Harian, Singapura, 28 Juni 2010

Leave a comment