Paguyuban


Setidaknya seseorang pasti pernah ikut “gank”. Meski terdiri dari dua orang, ini sudah gank. Ada juga yang kemudian membentuk sekian puluh orang dan memberi nama. Ada yang lebih kolosal: membentuk suatu paguyuban yang akhirnya berjumlah ribuan orang, memberi nama (kadang kocak, kadang nggilani), merancang aktivitas (kadang menyedot biaya, kadang nirguna), saling mengenal (enam bulan kemudian ingat wajah, lupa nama) dan at the end of the day menjadi kenangan; misal: Eh dulu ikut paguyuban GB alias Gendheng Bareng, gak? Eh, si Tuyul carik paguyuban Waras Dhewe di mana ya sekarang?

Fenomena kenapa membentuk paguyuban bisa dilihat dari perspektif psikologi sosial. Tapi saya ini buta psikologi sosial meski ada yang bilang “Lho, pengetahuan psikologi itu kan inheren, jadi kita hanya perlu menggali sendiri atau beli buku psikologi populer di toko buku”. Siapa bilang? Kalau begitu bisa-bisa Fakultas [waktu kecil saya ngiranya Bakul Tas] Psikologi bisa tutup ket jaman mbah buyute Sigmund Freud. Salah satu sebab orang mendirikan paguyuban atau kelompok adalah menungso kuwi sejatine ora pengen dhewean! Manusia tak ingin hidup sendiri.

Eh bentar-bentar … kok aku inget terjemahan “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam bahasa Jawa ya?? Tahu nggak? Sila siji: “Gusti Allah ora ono koncone”

Lanjut. Manusia perlu orang lain; terutama yang sehati, punya sejarah sama, latar belakang sama, bahasa sama, pokoknya serba sama (meski sulit akhirnya disama-samain gak papa). Sebab lain: menungso kuwi sejatine pengen ndue posisi dalam komunitas. Kalau punya posisi ia bisa punya ruang lebih besar untuk beraktivitas. Dalam ruang besar ini, ia memiliki kekuasaan. Walah, melip sekali sampai ke “kekuasaan”! Manusia itu unik. Salah satu aspek non-material yang selalu ia ingkari tapi terus dikejar-kejar tanpa sadar (tanpo bondho, kecuali peserta Pilkada) adalah kekuasaan. Ora percoyo? Nietzsche bilang Der Wille zur Macht (Kehendak untuk Berkuasa). Tapi jangan sampai terjebak: intinya adalah Macht atau berkuasa. Kalau dipisah antara Wille dan Macht, bisa jadi Hitler sampeyan (hehe).

Lho nglantur sampe Nietzsche!

Alasan lain kenapa orang membentuk paguyuban: cari pacar, bisa menceritakan kesuksesan (oleh sebab itu mereka yang merasa gagal kadang malas ikut paguyuban), bisa mencari pelanggan dan membangun jaringan (gaya kapitalis yang tak perlu dicemooh dan tak perlu dikuatirkan karena kita sudah terjebak di dalamnya) dan mengerjakan PR. Maksudnya mengerjakan PR? Lha iya … paguyuban kan punya cita-cita. Yang dulu tak tercapai, barangkali saat ini bersama-sama teman yang lebih banyak bisa mewujudkan cita-cita itu. Agak telat mikir? Bukan. Tapi telat bertindak karena keterbatasan resources.

Mengenai paguyuban, orang Singapura harus belajar dari orang Indonesia. Secara alami tanpa dioyak-oyak, orang Indonesia otomatis gatel bikin paguyuban di manapun mereka. Useful? Tentu to a certain extent. Jika tidak ngapain bikin? Paguyuban berarti membuat sistem. Di atas sistem ada kekuasaan. Penggerak kekuasaan hanya satu: aku.

Menungso … menungso …  guyubo!

2 thoughts on “Paguyuban

Leave a comment